Medan (ANTARA News) - Nama wartawan H. Mohammad Said (almarhum) bagi sejumlah warga Aceh sudah tidak asing lagi. Hal itu berkat mata penannya yang tajam menentang penindasan penjajah Belanda sejak tahun 1938. M. Said, yang juga pendiri Surat Kabar Harian Waspada Medan Sumatera Utara (Sumut), merupakan saksi sekaligus pencatat sejarah. Semasa hidupnya, ia juga menulis buku berjudul "Aceh Sepanjang Abad" yang pertama kali diterbitkan pada 1961. Buku tersebut kini menjadi salah satu referensi bagi sejarahwan untuk mengetahui secara rinci tentang pergolakan di Aceh. Atas jasa-jasanya itu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat memberi penghargaan kepada Mohammad Said di sela-sela acara Kongres XXII PWI di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yang berlangsung 28-29 Juli 2008. Penghargaan itu diserahkan oleh Ketua Umum PWI Pusat, Tarman Azam, yang diterima oleh putra keenam almarhum M. Said, H. Prabudi Said, yang kini menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Harian (Pemred SKH) Waspada. Tarman menyatakan, almarhum M. Said semasa hidupnya sangat idealis dan umurnya dihabiskan semata-mata untuk kepentingan bangsa dan rakyat. Hasil karya M. Said, menurut Tarman, menunjukkan bahwa ia seorang tokoh pers yang sangat nasionalis dan mengutamakan kepentingan rakyat. "Bangsa Indonesia, khususnya rakyat Aceh, sangat bangga memiliki tokoh seperti Mohammad Said yang memiliki semangat juang yang tinggi," ujarnya. Untuk itu, ia berharap agar insan pers Indonesia, khususnya anggota PWI harus bisa mengikuti jejak M. Said. Perjuangan dan idealisme M. Said ternyata ditularkan kepada anak-anaknya yang hampir seluruhnya berkecimpung dalam dunia pers. Hal itu terlihat dari pemberitaan yang ditulis di SKH Waspada yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat. "Jadi, kehadiran Waspada hingga saat ini merupakan refleksi dari dedikasi orang tua kami ketika masih menjadi jurnalis yang selalu memperjuangkan kepentingan rakyat," ujarnya. M. Said dilahirkan di Labuhan Bilik, dipinggir Sungai Aek Panai, Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara pada 17 Agustus 1905 dan meninggal di Medan, pada 26 April 1995 dalam usia lebih 89 tahun. Karir jurnalistiknya dimulai akhir 1927 sebagai penulis di beberapa media sejumlah kota, termasuk mingguan Soeara Indonesia, Surabaya. Tahun 1927 itu juga, dia menjadi reporter dan korektor di surat kabar Tjin Po di Medan. Periode September 1928 dan pertengahan 1929, ia menjadi redaktur pertama di Oetoesan Sumatra, Medan. Tahun 1937, ia menulis di surat kabar Sinar Deli, Medan. Kemudian, bersama Abdul Karim Ms memimpin berkala politik Penjebar. Berikutnya, ia memimpin mingguan Penjedar, disusul Seroean Kita (1938-1939) bersama Hajjah Ani Idrus, yang kemudian menjadi istrinya. Antara September 1945 hingga awal 1946, M. Said memimpin Pewarta Deli, Medan, menggantikan Djamaluddin Adinegoro yang pindah ke Bukittinggi, Sumatera Barat. Pada 11 Januari 1947, ia bersama Ani Idrus menerbitkan harian Waspada. Sementara itu, Said juga terlibat dalam organisasi politik adalah sebagai komisaris Partai Syarikat Islam Indonesia (PSI) Cabang Medan pada tahun 1932. Antara 1950-1956, dia menjadi Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk Sumut dan Aceh. Sebelumnya, (27 April-1 Mei 1950), Said adalah Ketua Kongres Rakyat se-Sumatra Timur yang menuntut pembubaran negara federal Negara Sumatera Timur (NST), dan kembalinya daerah ini ke dalam Negara Kesatuan RI. Dalam PWI, Mohammad Said pernah menjadi salah seorang Ketua Pengurus pusat (hasil Kongres ke-7) di Denpasar, Bali, pada 16-19 Agustus 1953 dan hasil Kongres ke-8 Medan, 31 Oktober hingga 2 November 1955. Dia juga pernah menjadi panitia ad hoc perumus Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI yang diketuai oleh Suardi Tasrif SH (almarhum), pemimpin redaksi harian Abadi, Jakarta. Tahun 1959 bersama rekan-rekan wartawan Medan, Said mendirikan Akademi Pers Indonesia di Medan sebagai sekolah jurnalistik pertama di luar pulau Jawa. Kemudian, dia pada 1967 sempat menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) atas rekomendasi PNI Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja (Osa-Usep). Said menerima tanda penghargaan Satya Penegak Pers Pancasila dari PWI (1985), dan berikutnya Peniti Emas dari Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat atas jasanya ikut mendirikan SPS di Solo pada tahun 1946 dan membantu pembentukan SPS Cabang Sumut. (*) (Foto: "Aceh Sepanjang Abad", salah satu buku legendaris Aceh karya H.M. Said)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008