Jakarta (ANTARA News)- Seorang pelukis nasional, sekaligus pejuang kemerdekaan, Salim, tidak banyak dikenal di Indonesia, apalagi di tempat kelahirannya, namun lukisannya sangat terkenal di belahan Eropa. Salim, kata Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Toeti Heraty, di Jakarta, Senin, seorang pelukis yang gigih memperjuangkan profesinya dengan integritas yang tinggi. Salim adalah putera dari Medan yang lahir pada 3 September 1908, kemudian pergi sekolah ke Belanda bersama rekan-rekannya. Bersama Bung Hatta dan Syahrir, ia terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di Belanda, tetapi Salim tidak mau pulang seperti tokoh-tokoh lainnya. Meskipun Salim tidak pulang ke Indonesia, semangat perjuangan terus ditunjukkan ke publik Eropa. "Pada tahun 1948 ketika Belanda melakukan agresi ke Indonesia kedua, Salim membatalkan pameran lukisannya di Belanda, sebagai bentuk protes kepada pemerintah Belanda yang melakukan penyerangan itu," kata Toeti Heraty, dalam kata sambutannya, pada pameran lukisan Salim/Siapa Salim, di Galeri Nasional Indonesia - Jakarta itu. Setelah membatalkan pameran sebagai simbul protes itu, Salim merasa tidak nyaman tinggal di Belanda, dan hijerah ke Paris pada 1928 saat rakyat Indonesia memeperjuangkan kemerdekaannya. Salim memang seorang yang pemberani, karena pada tahun itu, tidak banyak orang Asia, termasuk Indonesia yang tinggal di sana. Tetapi Salim dapat bertahan tinggal di Paris hingga sekarang dan berkarya, melukis hingga lukisannya terkenal di manca negara. "Banyak orang Perancis, Belanda dan Jerman mengenal lukisan Salim, tetapi anehnya tidak banyak kolektor nasional atau pengamat seni rupa Indonesia tidak menganalnya," katanya. Pameran lukisan yang dibuka Gubernur DKI Fauzi Bowo, dan dihadiri para pelukis, pengamat dan tokoh pers seperti Pia Alisabana dan Rosihan Anwar tersebut, memamerkan lebih dari 50 lukisan karya Salim. Menurut Toeti, Salim menghabiskan waktunya di negara Seberang. Tetapi ia banyak andil dalam memberikan arti perjuangan kemerdekaan bangsanya. Ia berjuang tidak dengan cara politik praktis, tetapi melalui karya-karya yang cukup memikat bagi bangsa lain. Suatu ketika, kata Toeti, ketika Presiden RI I Soekarno melakukan kunjungan kenegaraan ke Paris, ketika kembali ke hotelnya, di Place de la Corcode, turun dari mobilnmya, karena Presiden Soekarno melihat Salim berjalan di trotoar. Tanpa mengindahkan protokol, Presiden Soekarno mengejar Salim, seraya mengatakan, "Salim, kau pulang lah, Mengapa mati di sini," kata Soekarno. Salim langsung menjawab, "Saya disini tidak akan mati, tetapi akan hidup." Perkataan Salim itu ternyata betul adanya, sampai usai 100 tahun, ia masih dapat berkarya sementara hampir semua teman seperjuangannya, Hatta dan Syahrir, termasuk Roeseno, tidak sampai usia 100 tahun, katanya. Sementara itu, Ketua Bidang Pers dalam Panitia pameran itu, Linda Djalil menjawab pertayaan, ia mengatakan, lukisan Salim dapat di beli oleh masyarakat. "Kalau ada anggota masyarakat yang berminat tentu akan dijual, karena jangan sampai terkesan ada monopoli dari kolektornya. Namun pembelian itu tentu harus seijin yang melukis. Ia mengatakan, lukisan Salim pernah dibeli salah seorang pengusaha Indonesia Rp80 juta per lukisan. Untuk harga pasaran di Eropa berkisar sekitar 5-7 ribu euro.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008