Surabaya (ANTARA News) - Kelangkaan pupuk sudah bukan lagi realitas sesaat, tapi sudah terjadi sejak musim tanam Maret 2008 atau sudah berjalan lebih dari setengah tahun. Tentu, pertanyaan yang timbul adalah siapa yang "bermain" sampai terjadi kelangkaan yang "mencekik" para petani, yang merupakan "pahlawan" dalam penyediaan pangan pokok nasional itu? Betapa tidak, Departemen Pertanian pada 2008 mencatat kontribusi petani dalam negeri yang mampu memproduksi sekitar 36,75 juta ton beras, sehingga mereka sukses dalam menjaga kondisi aman untuk ketersediaan pangan nasional. Hal itu sejalan dengan kuantitas kebutuhan pangan sebesar 32,62 juta ton yang berarti ada surplus sekitar 4,13 juta ton, sehingga kaum petani mampu menghemat anggaran untuk impor beras yang kini harganya "melangit" itu. Harga beras internasional saat ini naik 250 dolar AS per ton, dari 2.850 dolar AS per ton pada Januari 2007 dan kini menjadi 3.100 dolar AS per ton. Artinya, kaum petani layak mendapat gelar pahlawan devisa. Namun, mereka justru menerima ketidakadilan dalam bentuk nasib yang tak kunjung beranjak selama setengah tahun lebih akibat kelangkaan pupuk bersubsidi. Oleh karena itu, Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Bojonegoro berkirim surat kepada Kapolri untuk mendesak agar penyimpangan harga jual pupuk dimasukkan sebagai kejahatan ekonomi tingkat satu. "Bagaimanapun masalah pupuk membawa dampak bagi petani di pedesaan, kalau di lapangan terjadi penyimpangan," kata Ketua KTNA Bojonegoro, Sarif Usman, di Bojonegoro (15/10). Dasar permintaan KTNA itu, kata Sarif Usman, karena pupuk merupakan barang bersubsidi, sehingga sudah sewajarnya kalau peredaran di lapangan harus mendapatkan pengawasan ekstra. Dia menjelaskan, permasalahan pupuk yang terjadi selalu tidak pernah berubah dari tahun ke tahun. Petani selalu kesulitan mendapatkan pupuk ketika masa tanam dimulai, dan pada masa seperti itu harga pupuk akan melonjak jauh dari harga eceran tertinggi (HET). Permasalahan tersebut, katanya, sejauh ini tidak pernah diusahakan diselesaikan secara tuntas oleh Pemerintah. "Petani selalu mengalami kepanikan ketika membutuhkan pupuk, dan harganya tinggi, padahal pupuk merupakan barang yang disubsidi Pemerintah," katanya. HET yang ditetapkan pemerintah, pupuk phonska Rp86.000 per sak, tapi di kios resmi harga jualnya mencapai Rp87.000, bahkan di tingkat petani ada pupuk phonska yang harganya mencapai Rp95.000 hingga Rp110.000 per zak. Lain lagi untuk pupuk urea yang HET-nya Rp58.500 per zak, tapi harga jual di kios resmi mencapai Rp60.000, sedangkan di tingkat petani mencapai harga jual sebesar Rp101.000 hingga Rp110.000. "Sudah harga jauh di atas HET, barangnya selalu langka ketika dibutuhkan," katanya. Siapa Bermain Kelangkaan pupuk bersubsidi dan harganya yang melambung di atas HET itu agaknya memunculkan spekulasi kemungkinan adanya "permainan" yang menyebabkan kelangkaan itu. Spekulasi itu agaknya beralasan, buktinya Kepolisian Wilayah (Polwil) Kediri Jawa Timur, telah menetapkan seorang jaksa bernama Yuni SH sebagai tersangka dalam kasus penjualan sembilan ton pupuk sebagai barang bukti (BB) di Kejaksaan Negeri (Kejari) Nganjuk. "Keterlibatan Yuni dalam penjualan barang bukti itu sangat jelas berdasarkan keterangan Susianto (tersangka lain) bahwa orang yang menawarkan dan mengantarkan pupuk itu kepada dirinya adalah Yuni," kata Kepala Polwil Kediri, Kombes Polisi Sukamto Handoko (10/10). Yuni yang saat itu bertugas di bagian administrasi Kejari Nganjuk menerima uang pembelian pupuk dari Susianto Rp12 juta, namun saat Susianto tertangkap pada 17 September 2008 dan menjalani pemeriksaan di Mapolres Nganjuk justru Yuni memanggilnya keluar ruangan pemeriksaan untuk mengembalikan uang sebesar Rp10 juta. Setelah kasus penjualan pupuk itu terungkap, Yuni ditugaskan sebagai jaksa di Kejari Tabanan, Bali dan akhirnya Yuni mendatangi Mapolwil Kediri setelah sebelumnya menerima dua kali surat panggilan pada 9 Oktober 2008. Dalam pengakuannya, Susianto membeli pupuk barang bukti itu dari Yuni di kantor Kejari Nganjuk. Awalnya pupuk yang ditawarkan sebanyak sembilan ton, namun ternyata hanya 7,1 ton. "Karena itu, kami hanya membayar Rp12 juta," kata warga Desa Kecubung, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk itu. Anehnya, katanya, dalam kuitansi tertera nama Suwanto, padahal namanya Susianto. "Tapi saya tetap saja tanda tangan," katanya. Selain Yuni dan Susianto, Polwil Kediri sebelumnya telah menetapkan Kasubag Pembinaan Hukum Kejari Nganjuk, Budi Santoso, S.H. Tindakan Yuni itu menyeret Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Nganjuk yang akhirnya dimutasi menjadi Kepala Bagian (Kabag) TU Kejati Bali. "Kami tidak segan-segan mengambil tindakan tegas jika ada pelanggaran, seperti yang dijatuhkan kepada Kajari Tilamuta, Baelamo, Gorontalo karena terbukti melakukan tindak pemerasan. Kajari Tilamuta menjadi fungsional Kejati Gorontalo," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Jasman Pandjaitan, di Jakarta (15/10), Agaknya, siapa yang "bermain" dalam kelangkaan pupuk bersubsidi itu benar adanya, kendati mungkin bukan hanya jaksa saja yang terlibat di dalamnya, bahkan di Manado juga dikabarkan keterlibatan anggota DPRD setempat, sehingga Badan Kehormatan DPRD Manado bertindak. "Rasanya memang sulit dipercaya kalau tidak ada permainan, karena kelangkaan itu bukan satu-dua bulan, tapi sudah terjadi sejak musim tanam pada Maret lalu dan mendekati musim tanam pada Oktober-Desember," kata petani Jember, Badriyah. Hanya saja, petani yang mampu menyekolahkan dua anaknya hingga sarjana itu mengaku tidak tahu, namun ia menduga adanya ketrlibatan distributor, pengecer, spekulan, oknum aparat pengawas, penegak hukum, dan mereka yang berhubungan dengan kebijakan pertanian. (*)

Oleh Oleh Edy M Ya`kub Dan M Irfan
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008