Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah menyatakan optimis dapat menekan cost recovery lebih dari satu miliar dolar AS selama tahun 2009 dari semula 11,05 miliar dolar AS menjadi 10,00 miliar dolar AS.

"Pengalaman menunjukkan adanya kemungkinan itu," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Depkeu, Anggito Abimanyu di Jakarta, Minggu.

Cost recovery merupakan pengeluaran negara untuk membiayai investasi pengembangan lapangan migas di Indonesia. Pembayaran cost recovery oleh pemerintah adalah untuk mengganti semua biaya yang telah dikeluarkan oleh semua kontraktor bagi hasil migas yang beroperasi di Indonesia untuk memproduksi lapangan migas yang dikelolanya.

Ia menyebutkan, pada tahun 2007, semula alokasi dana untuk cost recovery mencapai 11 miliar dolar AS namun kemudian realisasinya mencapai 10,00 miliar dolar AS.

Sebelumnya Panitia Kerja (Panja) Asumsi Dasar, Pendapatan, Defisit, dan Pembiayaan Panitia Anggaran DPR meminta pemerintah melakukan upaya maksimal untuk menekan cost recovery. Permintaan itu dalam rangka pengamanan resiko harga minyak yang kemungkinan masih akan berfluktuasi.

Panja juga menyepakati asumsi harga minyak untuk RAPBNP 2009 sebesar 61 dolar AS per barel dari semula di APBN 2009 (dengan stimulus fiskal) sebesar 45 dolar AS per barel. Sementara lifting/produksi minyak sebesar 960 ribu barel per hari.

Menurut Anggito, jika harga minyak turun maka cost recovery juga akan turun. Namun pada tahun 2009 ini, banyak proyek-proyek baru yang belum menghasilkan secara maksimal sehingga hal itu menjadi tantangan untuk menekan cost recovery.

Menanggapi permintaan Panja agar pemerintah segera menyelesaikan peraturan pemerintah (PP) tentang Cost Recovery dalam tahun 2009 ini juga sehingga dapat digunakan sebagai perhitungan RAPBN 2010, Anggito mengatakan, PP itu memang akan menjadi panduan dalam penetapan cost recovery di masa yang akan datang.

"PP isinya menyatakan eligibilitas/kelayakan dari suatu biaya yang bisa di-claim sebagai cost recovery, pihak Ditjen Pajak membuat benchmarking yang bersifat universal," katanya.

Ia menyebutkan, pembuatan benchmarking didasarkan kepada penetapan hal serupa di sejumlah negara sehingga nantinya dapat dideteksi jika ada upaya mengurangi kewajiban atau penghindaran pajak.

"Itu tidak tidak akan mempengaruhi kontrak lama, karena hanyak untuk kelayakannya saja atau biaya yagn pantas diajukan sebagai cost recovery. Kita akan mengacu kepada best practice internasional," katanya.

Sementara itu mengenai permintaan agar pemerintah mempertimbagnkan pengenaan bea keluar (BK) atas ekspor batu bara, Anggito mengatakan, itu merupakan sinyal pemerintah dapat mengambil keuntungan jika harga batu bara internasional di atas situasi normal.

"Itu sinyal jika ada situasi abnormal, maka pemerintah bisa ambil keuntungan dari situ. Dulu kita kenakan pungutan ekspor (PE) dan masuk sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP), sekarang bukan PNBP tetapi penerimaan yang masuk melalui Ditjen Bea dan Cukai," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009