Surabaya (ANTARA News) - Pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat melibatkan kalangan nirmiliter (nonmiliter) sebagai kekuatan pertahanan cadangan, karena mereka memiliki potensi tinggi dalam memperbesar kekuatan pertahanan militer.

"Keterlibatan nirmiliter itu berasal dari pertahanan sipil," kata Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Departemen Pertahanan, Budi Susilo Supandji, di Surabaya, Selasa.

Menurut dia, sumber daya nasional dari kalangan nirmiliter harus segera diberdayakan agar memiliki kesiapan dalam mengatasi ancaman yang mengganggu keamanan nasional.

"Mereka bisa juga dioptimalkan dalam memelihara keamanan nasional, khususnya mengatasi ancaman yang berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi," ujarnya.

Sementara itu, Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Lukman Edy, menyatakan, dalam menjaga keamanan nasional perlu percepatan pertumbuhan ekonomi daerah perbatasan dan daerah rawan konflik yang harus menjadi prioritas.

"Ini karena, kawasan perbatasan adalah kawasan strategis nasional yang memiliki pengaruh sangat penting dalam kedaulatan negara dan keamanan bangsa dari berbagai ancaman," katanya.

Ia menyebutkan, hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang wilayah perbatasan. Indonesia berbatasan dengan 10 negara, untuk itu perlu mengubah arah kebijakan terkait daerah perbatasan.

"Di sisi lain, secara nasional ada 26 kabupaten di daerah pinggiran yang rentan konflik sosial. Ini karena, keterbatasan sumber daya alam, infrastruktur yang minim, tingginya tingkat pengangguran, kurangnya sarana pendidikan, kesehatan, dan air bersih," katanya.

Mengenai daerah rawan konflik, terang dia, itu juga paling rentan dengan guncangan ekonomi akibat konflik yang terjadi di daerah tersebut, misalnya yang terjadi di Maluku.

Akibat konflik yang terjadi di sana, kini semua infrastrukturnya hancur, mulai dari bangunan pemerintah, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur sosial lainnya ikut hancur.

"Padahal, dalam membangun fasilitas itu dibutuhkan waktu minimal delapan tahun, apalagi hal itu perlu didukung dana yang besar," katanya.

Terkait realisasi percepatan pertumbuhan ekonomi daerah perbatasan dan rawan konflik, tambah dia, ada empat tahapan yang akan dilakukan, di antaranya membentuk kelompok di daerah tersebut yang disesuaikan dengan profesi mereka dan memberikan pengetahuan dan perencanaan kerja sesuai profesi tersebut.

"Bahkan, kami juga akan melakukan intervensi yang bersifat stimulan kepada kelompok yang telah dibentuk. Setelah itu, baru dilakukan pendampingan yang bertanggung jawab, sehingga kondisi ekonomi bisa meningkat," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009