Jakarta (ANTARA News) - Belakangan ini di kalangan ekonom negeri ini muncul polemik mengenai pro dan kontra neo-liberalisme dan saling mengarahkan tudingan siapa saja penganut/pengagumnya, dan siapa pula yang kontra neo-liberalisme.
Inti neo-liberalisme merupakan referensi/landasan dari Konsensus Washington (Washington Consensus) yang mencuat tahun 1980an dan tidak lama kemudian gagal.

Adam Smith (1776) selaku pencipta teori ekonomi terkenal, yang dasar-dasarnya selama ini dipelajari dan ditekuni kalangan ekonom. Teorinya yang dalam perjalanan waktu berkembang menjadi fundamentalisme pasar dengan kebebasan seluasnya dalam berinisiatif individual dengan campurtangan minimal pemerintah.

Kapitalis besar Barat, terutama Amerika Serikat (AS), apalagi sejak eranya Ronald Reagan (kini almarhum, mantan Presiden AS) dan Margaret Thatcher (mantan Perdana Menteri Inggris) pertengahan 1970an, makin menguasai perekonomian dunia. Ternyata, anutan fundamentalisme pasar yang disebut neo-liberalisme, dalam perjalanan waktu menjadi tidak diterima (acceptable) dalam kenyataan, terutama di negara-negara berkembang Amerika Selatan dan Asia.

Anthony Giddens, profesor dari London School of Economics (LSE) London, Inggris, dalam “The Third Way: The Renewal of Social Democracy” (1999), menguraikan inti-inti neo-liberalisme tersebut dengan menunjuk visi filosofis, kedua tokoh itu saat menjadi pucuk pemerintahan AS dan Inggris dikenal mampu mengenalkan kaidah Reaganism dan Thatcherism, yang intinya:

1.Peranan/keterlibatan pemerintahan se-minimalnya,
2.Masyarakat sipil otonom,
3.Fundamentalisme pasar,
4.Otoriternisme bermoral plus individualisme ekonomi yang kuat,
5.Pasar tenaga kerja yang transparan,
6.Diterimanya ketidaksetaraan,
7.Nasionalisme tradisional,
8.“Welfare state” sebagai jaringan keselamatan,
9.Modernisasi secara linier,
10. Kesadaran ekologi rendah,
11. Pendukung dunia bipolar.

Neo-liberalisme sebagai kebijakan kedua pemimpin negara berpengaruh tersebut, yang disuguhkan ke seluruh dunia dalam dekade 1970an, dalam perjalanan waktu sejak tahun 1997/1998 makin tidak dapat diterima di berbagai penjuru dunia, terutama Amerika Selatan dan Asia.

Awal abad 21, Joshua Cooper Ramo, anggota The Foreign Policy Centre, London, melalui berbagai penelitian pada akhirnya tahun 2004 mempublikasikan buku “The Beijing Consensus: Notes on the New Physics of Chinese Power”. Konsensus Beijing (Beijing consensus) sejak munculnya karya Ramo makin dapat diterima pelaku pasar sebagai alternatif dari wujud Washington Consensus (1980an) yang gagal sejak krisis ekonomi, di Asia khususnya. Makin banyak kalangan ekonom menjuluki Washington Consensus sebagai berakhirnya sejarah kecongkakan" (end of history arrogance), karena Washington Consensus meninggalkan beban kehancuran ekonomi Asia yang "dibantunya",bahkan berujung ada perasaan tidak nyaman di seluruh negara berkembang.

Beban apa saja? Mantranya Washngton Consensus adalah pasar bebas neo-liberal yang dirumuskan oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), Bank Dunia dan US Treasury dan disodorkan (setengahnya dipaksakan) kepada negara=negara berkembang seolah "kebijakan yang tepat" alias obat mujarab atasi krisis ekonomi. Washington Consensus mencirikan pendekatan yang secara radikal berbeda dengan pembangunan ekonomi dan stabilisasi.

Washington Consensus sebagai resep untuk negara-negara berkembang mencakup liberalsasi pasar modal, privatisasi, penentuan harga atas dasar pasar bebas (market-based pricing), pengentasan kemiskinan melalui perdagangan bebas. Pemaksaan itu sebagai resep yang generik ternyata menjurus pada kegagalan di pihak negara berkembang.

Ramo menyebut Beijing Consensus tidak hanya berintikan wacana perekonomian, tapi juga perpolitikan, mutu kehidupan, dan keseimbangan kekuatan global. Ia tidak menghadirkan status quo, tetapi justru mengarahkan kekuatan perpolitikan (power politics) ke perpolitikan bermoral. Berbagai kegagalan AS dalam menduni , justru mempercepat diterimanya gagasan riil Beijing Consensus oleh negara-negara lainnya.

Bejing Consensus mencakup tiga kerangka wawasan, yakni:

1.Pembangunan negara berlandaskan inovasi,
2.Keberhasilan eknomi tidak melulu dengan ukuran pertumbuhan PNB (GDP) per kapita, tetapi dengan kesinambungan (sustainability) dan tingkat mutunya,
3.keteguhan diri (self-determination) bagi China dan untuk diadaptasi negara non-Barat/AS lainnya dengan menerapkan a) Menolak (oppose) warisan ajaran Washington Consensus; b) Globalisasi menurut tafsiran masing masing negara; c) Menelah pengaruh teladan China yang bukan pamer kekuatan senjata untuk ber-hegenomi; d) meningkatkan kapabilitas yang masih asimetris untuk mengimbangi AS.

Para pemimpin China sejak tahun 1990an menunjukkan keteguhan sikap bahwa dua dasa warsa sejak itu sebagai suatu era strategis yang penting (great strategic importance) dan tidak berhasrat membuat rencana menantang (challenge) hegemoni AS. Makin nyata bahwa yang China paling butuhkan adalah peningkatan mutu bangsa secara damai (peaceful rise) dalam keberadaannya sebagai bangsa di dunia. Inilah yang para elite China juga rumuskan sebagai soft power diplomacy.

Ke dalam sikap pandang dalam mendunia ditegaskan oleh Presiden China, Hu Jintao, dengan ungkapan “tiada sosialisme tanpa demokrasi, dan tiada demokrasi tanpa sosialisme“ (no socialism without democracy, and no democracy without socialism). Ini jelas bukan neo liberalisme dan bukan sosialisme Marx konservatif.

Dalam perjalan sejarah dan ketika kongres Rakyat yang berlangsung sejak 5 Maret (2007) selama beberapa hari, di Beijing, Pimpinan Negara melalu Hu Jinyao , Presiden China menegaskan yakni “ san ge tiejin (close to reality, close to the peole, and close to life): dekat dengan realita, dekat dengan rakyat dan dekat dengan kehidupan.

Dalam proses meningkatkan mutu kehidupan banyak dipakai, termasuk perlunya jaminan hak kepemilikan individu (property right) untuk kepentingan kemandirian anggota masyarakat dalam berperan sebagai pelaku ekonomi. Artinya, hukum harus menjamin hak tersebut yang diiperoleh secara legal, dan konsekuensinya semua sektor ekonomi harus menikmati perlakuan yang setara (equitable treatment).

Masyarakat China sendiri tanpa mengungkapkan secara eksplisit menyerap Beijing Consensus sebagai visi yang mendasari perubahan sosial, yang di dalamnya perubahan ekonomi secara gradual (gradualisme), menerapkan pembangunan ekonomi dan ‘governance’ untuk meningkatkan mutu kehidupan masyarakat, yang sejatinya merupakan tujuan pembangunan ekonomi yang berkesinambungan.

Bagi kalangan elite dan masyarakat Indonesia, maka saatnya mulai berstrategi dalam membangun “road map", sambil konsisten menyerap inti Beijing Consensus dengan ‘sikap pandang’ nyata menatap ke Utara“ (look North) ke China, Jepang , Korea Selatan dan juga ke India sebagai kekuatan baru Asia, dengan menanggalkan pasti bertahap cara “menatap ke Barat” (look West) yang selama ini menjadi panutan kita. (*)

Bob Widyahartono (bobwidya@cbn.net.id) adalah Pengamat Ekonomi dan Studi Pembangunan Asia Timur; Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar).

Oleh Bob Widyahartono
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2009