Kupang (ANTARA News) - Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Jakarta berpendapat, pasal-pasal yang mengatur tentang perzinahan, kumpul kebo, dan pelacuran harus dihapus dari RUU KUHP.

Alasannya, karena memberi potensi yang besar dalam melahirkan pelanggaran HAM, kata Fauzi dari LBH Apik Jakarta ketika menghubungi ANTARA, Selasa.

Di sisi lain, pasal-pasal tersebut seakan mengukuhkan kontrol negara yang semakin kuat terhadap kehidupan warga negaranya, sehingga harus dihapus dalam RUU KUHP, katanya.

Menurut dia, RUU KUHP itu telah dipersiapkan oleh pemerintah sejak 1982, namun hasilnya masih belum mampu menjawab kebutuhan publik akan keadilan dan kepastian hukum, terutama kepada kelompok perempuan, sehingga masih menimbulkan perdebatan hingga sekarang.

Ketentuan RUU KUHP tentang konsep kesusilaan di muka umum (pasal 467) mengalami pengurangan dari KUHP yang sekarang sedang berlaku (KUHP pasal 281), yaitu dengan menghilangkan kata "unsur kesengajaan".

Namun demikian, kata Fauzi, dengan dihilangkannya kata "unsur kesengajaan" pada tindak pidana kesusilaan dimuka umum dalam RUU KUHP justru akan menyebabkan tidak adanya batasan yang jelas, sehingga semua hal yang dianggap melanggar kesusilaan, baik disengaja maupun tidak disengaja akan dianggap sebagai tindak pidana.

RUU KUHP Bab Kesusilaan ini memayungi isu penting di antaranya perzinahan (pasal 485-489), perkosaan (pasal 490), dan percabulan (pasal 491-489).

Dalam pencermatan LBH Apik Jakarta, kata Fauzi, ada kekacauan paradigmatik dalam struktur RUU KUHP yang menempatkan isu perkosaan dan pencabulan ke dalam Bab Kesusilaan, padahal isu tersebut merupakan kejahatan seksual (sexual violence) yang menyerang langsung integritas tubuh dan nyawa korban.

"Ini bukan persoalan moral sehingga harus dianulir sehingga menjadi tidak jelas batasannya," katanya dan mencontohkan, di RRC, isu-isu tersebut telah dimasukkan ke dalam Bab Kejahatan Terhadap Orang (crime againts person).

Menurut Fauzi, RUU KUHP tersebut sistematikanya masih tumpang tindih karena menganut sistem campuran (hibryd sistem) antara Belanda dan Amerika sehingga masih terus menimbulkan perdebatan sejak dimunculkan RUU KUHP pada Februari 2008.

RUU KUHP tersebut, tambahnya, juga tidak mengakomodir istilah pelecehan seksual padahal perempuan sangat rentan mengalami pelecehan seksual di berbagai tempat, namun tidak mampu ditangkap sebagai produk hukum dalam RUU KUHP.

Ia menambahkan, semangat yang dibangun dalam RUU KUHP tersebut sangat didominasi oleh kepentingan moral yang bersifat partikular yang berlawanan dengan nilai-nilai HAM yang bersifat universal sebagaimana dianut oleh konstitusi UUD 1945 sebagai hukum tertinggi di Indonesia.

Dalam hubungan dengan itu, pihaknya mendesak DPR dan pemerintah untuk segera merevisi RUU KUHP tersebut, terutama mengeluarkan kejahatan seksual berupa perkosaan, pencabulan, pelacuran dari Bab Kesusilaan, dan mengatur kejahatan tersebut sebagai kejahatan terhadap tubuh dan nyawa orang.

Selain itu, memperberat ancaman hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual dengan ancaman hukuman seumur hidup, mengatur pelecehan seksual dalam RUU KUHP untuk melindungi perempuan korban pelecehan seksual.

Menurut dia, perlu juga diatur kekerasan seksual dalam perkawinan dalam RUU KUHP untuk memberikan perlindungan hukum bagi perempuan yang sudah menikah maupun yang belum menikah, mengatur tentang umur anak 18 tahun dengan mengacu kepada Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi melalui Keppres No.36 Tahun 1990.

Pasal-pasal yang mengatur tentang perzinahan (pasal 485), kumpul kebo (pasal 487), dan pelacuran (pasal 488) harus dihapus dari RUU KUHP tersebut, karena berpotensi besar melahirkan pelanggaran HAM serta mengukuhkan kontrol negara yang semakin kuat terhadap kehidupan warga negaranya.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009