Jakarta (ANTARA News) - Wakaf mempunyai sejarah yang panjang dalam instrumen sosial dan ekonomi masyarakat Islam. Keberhasilan perwakafan dalam sejarah Islam membuktikan bahwa Islam mampu memberi solusi jaminan sosial dan kesejahteraan bagi pemeluknya.

Wakaf dalam sejarah Islam tidak hanya menjadi pilar kesejahteraan masyarakat atau perorangan, lebih dari itu wakaf telah menjadi pilar ekonomi negara dalam membangun infra struktur, ekonomi dan ketahanan.

Sebagaimana spirit perwakafan yang ditunjukkan oleh Sayidina Umar bil al-Khaththab pada saat mewakafkan tanah yang paling baik dan subur di Khaibar adalah untuk turut andil untuk memecahkan masalah pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rashid. Puteri Zubaidah (istri Khalifah) pernah membangun jalan raya dari Baghdad di Irak sampai ke Mekkah. Jalan itu dibangun untuk memperlancar perjalanan jamaah yang akan menunaikan ibadah haji di Makkah.

Seluruh biaya pembangunan berasal dari harta wakaf yang dikelola oleh Puteri. Pada masa pemerintahan Utsmaniah di Turki, dana wakaf berhasil meringankan perbelanjaan negara, terutama untuk menyediakan fasilitas pendidikan, sarana perkotaan dan fasilitas umum lainnya.

Wakaf di Mesir dan berhasil membangun dan mengelola Universitas Al-Azhar (Universitas tertua di dunia). Seluruh biaya operasional kegiatan Universitas mulai dari biaya mahasiswa (seluruhnya berbeasiswa), staf pengajar, pimpinan dan pengembangan Universitas berasal dari harta wakaf.

Pada era perdagangan global, perwakafan telah memasuki wilayah investasi dan perdagangan multinasional di bidang wakaf bergerak maupun tidak bergerak. Islamic Development Bank (IDB) yang membentuk Badan Wakaf Dunia pada 2001.

Badan ini mengembangkan perwakafan produktif disektor riil dan perdagangan saham. Investasi dilakukan di beberapa negara seperti di Qatar, Kuwait, Malaysia dan beberapa negara lainnya berupa perhotelan, perkantoran dan pertanian.

Demikian juga Kuwait Public Waqf Foundation (al amanah al-aamah li al-awqaf) menempatkan perwakafan sebagai instrumen ekonomi dan jaminan sosial. Penerima wakaf dari masyarakat dilakukan dengan cara yang mudah, di antaranya melalui Mobil Banking, Short Massege Service (SMS) dan kios wakaf, lalu dikelola secara profesional melalui beberapa sektor pengembangan ekonomi.

Pengelolaan wakaf juga terjadi di negara sekuler Singapura. Negeri berpenduduk muslim minoritas (lebih kurang 453.000 orang saja) berhasil membangun harta wakaf secara inovatif.

Melalui WARESS Investment Pte Ltd telah berhasil mengurus dan membangun harta wakaf secara profesional, di antaranya, membangun apartement 12 tingkat bernilai sekitar S$62.62 juta. WARESS juga berhasil membangun proyek perumahan mewah yang diberi nama The Chancery Residence.

Keberhasilan perwakafan dalam sejarah Islam dulu dan kini tidak terlepas dari pemahaman waqif tentang harta yang diwakafkan dan kepandaiannya dalam memilih Nazhir (pengelola) wakaf. Sebab, dalam upaya memelihara harta wakaf agar tetap terpelihara pokoknya dan manfaatnya terus mengalir selamanya hanya dapat ditentukan dari cara Waqif mengeluarkan hartanya untuk diwakafkan dan memilih Nazhir untuk mengelola dan mengembangkannya.

Prinsipnya, Nazhir menjadi kunci keberhasilan dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf agar hasilnya dapat dinikmati oleh mauquf alaih (peruntukannya).


Nazhir Wakaf

Nazhir unsur penting dalam perwakafan, meskipun ulama fiqh tidak menyebutnya termasuk salah satu rukun wakaf. Tanpa nazhir, harta wakaf tidak dapat terjaga kelestariannya dan tidak dapat dikembangkan apalgi untuk diambil manfaatnya.

Artinya, tujuan wakaf dapat tercapai jika ada nazhir yang mampu melestarikan harta pokok wakaf, mengembangkanya dan mendistribusikan hasil pengelolaan wakaf sesuai dengan peruntukannya.

Karena Nazhir menjadi kunci tercapainya tujuan wakaf sehingga penentuan Nazhir harus memenuhi syarat-syarat yang dapat mengembangkan harta wakaf dan mendistribusikannya agar harta wakaf terus produktif dan mencapai tujuan wakaf.

Tidak ada ketentuan yang jelas dalam ilmu fiqh tentang siapa yang berhak menunjuk nazhir, sehingga penunjukan nazhir di beberapa negara berbeda-beda tergantung kemaslahatan harta wakaf, seperti di Sudan penujukan Nazhir dilakukan oleh hakim.

Di Kuwait penujukan Nazhir dilakukan oleh wakif tetapi Kementerian wakaf berhak untuk mengganti nazhir jika ada alaran yang kuat, seperti tidak cakap dalam mengembangkan sesuai dengan peruntukan.

Di Indonesia, Nazhir wakaf dapat ditunjuk oleh wakif yang kemudian dilegalkan oleh pemerintah. Sebagaimana Undang-undangn Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf tidak secara eksplisit menjelaskan siapa yang mengangkat nazhir wakaf.

Hanya saja pada Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Wakaf, pasal 6 ayat 4 dijelaskan, bahwa Nazhir dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejan Akte Ikrar Wakaf (AIW) dibuat tidak melaksanakan tugasnya, maka kepala KUA baik atas inisiatif sendiri maupun atas usul wakif atau ahli warisnya berhak mengusulkan kepada BWI untuk pemberhentian dan penggantian nazhir.

Pasal 6 ini menunjukkan bahwa penunjukan nazhir dapat diusulkan oleh wakif, baik dalam penunjukan awal saat pendaftaran akte ikrar wakaf maupun pada saat Nazhir tidak lagi memenuhi kewajibanya mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan peruntukannya.

Dalam UU Nomor 41 tentang Wakaf Pasal 9, Nazhir meliputi perseorangan, organisasi atau badan hukum. Tugasnya, mengelola dan mengembangkan wakaf sesuai dengan peruntukannya, yaitu berkenaan dengan melakukan pengadministrasian harta benda wakaf; mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya; mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

Tugas Nazhir yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan ini membutuhkan kemampuan yang sesuai dengan potensi dan peruntukan wakaf. Dalam hal pengadministrasian menuntut kecakapan hukum dari seorang nazhir, tugas pengelolaan dan pengembangan menuntut ketrampilan (skill) dan kemampuan manejerial Nazhir untuk mencapai tujuan wakaf, sedangkan pengawasan dan pelaporan menuntut kemampuan audit dari seorang Nazhir agar dapat menghitung dan mengkalkulasi hasil pengelolaan harta wakaf.

Untuk memenuhi tujuan wakaf yang berdimensi ibadah, ekonomi dan sosial, UU Nomor 41 tentang Wakaf Pasal 10, mensyarakan Nazhir harus memenuhi enam syarat, di antaranya amanah, mampu secara jasmani dan rohani dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

Syarat Nazhir seperti ini bukan sesuatu yang sulit untuk didapat, sebab sekarang ini telah banyak lembaga profesi dan pendidikan yang berwawasan syari?ah menyediakan Sumber Daya Manusia yang terampil sehingga mampu mengembangkan perwakafan.

Persoalannya, adakah dari pihak waqif memilih Nazhir yang sesuai dengan visi kesejahteraan di samping kebutuhannya terhadap dimensi ibadah, dan apakah ada kepedulian orang yang terampil dan terdidik untuk melihat perwakafan sebagai potensi ekonomi yang akan mampu menjadi pilar ekonomi masyarakat dan negara?

Di sinilah perlu adanya kesatuan visi antara Waqif dan Nazhir untuk menciptakan perwakafan yang profesional berwawasan ekonomi dan kesejahteraan.


Nazhir Professional


Nazhir wakaf adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Waqif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Kata profesional dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya.

Artinya, profesional adalah orang yang menyandang suatu jabatan atau pekerjaan yang dilakukan dengan keahlian atau keterampilan yang tinggi. Hal ini juga berpengaruh terhadap penampilan atau performance seseorang dalam melakukan pekerjaan di profesinya.

Ungkapan profesional biasanya berkenaan dengan profesi utama yang paling banyak digeluti, mempunyai keahlian dan mendapat imbalan (bayaran) yang tinggi. Berarti ungkapan Nazhir profesional adalah pengelola wakaf yang dikerjakan penuh waktu, berkemampuan untuk mengelola dan mengembangkan harta wakaf serta mendapat bayar yang sesuai dengan kerja kerasnya.

Nazhir profesional menempatkan pengelolaan wakaf sebagai profesi utama dan bukan sampingan dan manfaatnya menjadi tumpuan dalam membiayai kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya.

Di Indonesia, Nazhir wakaf belum banyak dilakoni secara profesional, karena kebanyakan Nazhir wakaf hanya kerja sampingan.

Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2006, terhadap 500 responden nazhir di 11 Propinsi, menunjukkan bahwa harta wakaf lebih banyak bersifat diam (77 persen) daripada yang menghasilkan atau produktif (23 persen).

Temuan umum lainnya juga menunjukkan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid (79 persen) daripada peruntukkan lainnya, dan lebih banyak berada di wilayah pedesaan (59 persen) daripada di perkotaan (41 persen).

Para nazhir juga tidak terfokus dalam mengelola, mereka mayoritas bekerja sambilan dan tidak diberi upah (84 persen), dan yang bekerja secara penuh dan terfokus ternyata amatlah minim (16 persen). Selain itu, wakaf di Indonesia lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66 persen) alias tradisional, dibandingpada organisasi profesional (16 persen) dan berbadan hukum (18 persen). Ironis.

Data ini menjadi pijakan untuk meningkatkan perwakafan di Indonesia. Artinya, meningkatan pengelolaan wakaf harus dimulai dari meningkatan kualitas sumber daya manusia Nazhir, sehingga mampu melaksanakan tugas sesuai dengan tujuan wakaf dan memenuhi peruntukan wakaf.

Nazhir profesional disyaratkan untuk memiliki pola pengelolaan yang amanah, bisa mempertanggungjawabkan secara administrative kepada public dan dikelola oleh pemimpin yang mempunyai kemampuan human skill, human tehnical dan human relation.

Human skill berkenaan dengan keahlian Nazhir dalam bidang tertentu yang berkenaan dengan amanah untu mengembangkan harta wakaf. Secara personal Nazhir haruslah orang-orang yang mempunyai reputasi dan kredibilitas moral yang baik, yaitu bersifat Jujur, adil dan amanah.

Pada tataran kompetensi keilmuan, seorang nazhir harus menguasai ilmu-ilmu syari?ah, juga mesti menguasai materi-materi fikih muamalah, khususnya yang berhubungan dengan wakaf. Selanjutnya, pemahaman terhadap ilmu ekonomi, seperti keuangan, manajeman, akutansi, dan ilmu ekonomi islam adalah suatu keharusan yang tidak bisa tidak harus dimiliki oleh Nazhir. Karena dengan pemahaman yang baik terhadap ilmu-ilmu tersebut seorang Nazhir mampu merealisasikan maksud dan tujuan dari wakaf produktif.

Kecerdasan Nazhir dapat diberi standar, seperti standar pendidikan yang tinggi (terdidik) sehingga seluruh proses yang dilakukan dapat menghasilkan produk yang baik dan tidak merugikan orang lain. Nazhir juga harus memiliki ketrampilan lebih, sehingga dapat memberikan produk yang berkualitas dan memiliki kelebihan dibandingkan orang lain

Dia juga harus memiliki kemampuan "human technical" berkenaan dengan kemampuan mengelola harta wakaf, yaitu pengelolaan dengan prinsip keterbukaan (transparansi). Nazhir harus membeberkan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat, dan dapat dibandingkan.

Nazhir juga harus memegang prinsip akuntabilitas, yaitu menetapkan tanggung jawab yang jelas dari setiap komponen organisasi selaras dengan visi, misi, sasaran usaha, dan strategi lembaga. Pada prinsip tanggung jawab (responsibility), seorang Nazhir harus memegang prinsip manajerial yang transaparan dan responsif.

Prinsip tersebut harus dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tetap terjaga kelangsungan usahanya. Pada prinsip independensi, seorang Nazhir harus mampu menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh "stakeholders". Nazhir tidak boleh terpengaruh oleh kepentingan sepihak. Ia harus bisa menghindari segala bentuk benturan kepentingan (conflict of interest).

Misalnya, dalam mengelola wakaf secara produktif, maka harta benda wakaf khususnya benda bergerak pasti mengandung risiko kerugian, bahkan kegagalan. Investasi dana wakaf di instrumen-instrumen investasi Islami seperti obligasi syariah ataupun pada saham-saham perusahaan Islami yang tergabung dalam Jakarta Islamic Index, mengandung market risk, yakni turunnya market value dari investasi tersebut.

Penanaman modal langsung di sektor produksi, seperti agribisnis, real estate, perindustrian, perdagangan dan pertambangan, masing-masing memiliki karakteristik risiko yang berbeda, baik dari segi risiko usahanya maupun risiko yang terkait dengan proses bisnis dan produksinya.

Namun risiko bukan harus dihindari, justru harus dikelola agar potensi pengembangan dapat direalisasikan dengan memeperhitungkan dan mengendalikan risiko-risiko yang mungkin terjadi.

Dengan kata lain, nazhir berkewajiban menjalankan pengelolaan risiko (manajemen risiko) terhadap harta benda wakaf yang dipercayakan wakif kepadanya. Manajemen risiko merupakan pilar penting dalam tata kelola organisasi yang baik atau "Good Corporate Governance", yang mutlak harus diterapkan dalam pelaksanaan pengembangan wakaf benda bergerak

Seorang nazhir juga harus memiliki "human relation" yang baik dalam membangun jaringan untuk kepentingan pengelolaan dan pengembangan wakaf. Pengembangan jaringan menjadi sesuatu yang asasi dalam mencapai tujuan produktif wakaf. Sebab, tanpa jejaring maka prinsip permintaan dan penyaluran (suply and demand) tidak dapat berjalan dengan stabil.

Jaringan dapat dibangun melalui kerja sama dengan pihak ketiga. Kerja sama dapat juga diberbentuk kemitraan yang dibangun atas dasar saling menguntungkan, seperti investasi, membuka badan usaha, menggalang swadaya umat dan cara lainnya yang dapat membangun jaringan pengembangan wakaf.


Khatimah


Perwakafan yang telah menjadi tradisi Islam sebagai instrumen keuangan yang bersifat "tabarru" (kedemawanan) untuk tujuan ibadah dan kepentingan kesejahteraan telah terbukti dalam sepanjang sejarah. Hanya saja perwakafan di Indonesia masih belum maksimal dalam mencapai spirit disyariatkannya wakaf.

Banyak faktor yang menyebabkan makna wakaf terdistorsi. Di antaranya adalah kurang pemahaman wakif dalam mewakafkan hartanya dan menunjuk Nazhir. Nazhir dipahami sebagai pemelihara harta warta dan dipahami sebagai pengelola pengembang. Ternyata mayoritas Nazhir bekerja untuk wakaf hanya sekedar kerja paru waktu atau sampingan saja dan memelihara kelestariannya.

Perubahan makna paradigma kearah untuk meningkat nilai ekonomi wakaf perlu dimulai dengan mengubah pemahaman Nazhir dan melatih kemampuannya, sehingga harta wakaf yang di jaga dapat dikelola dan dikembangkan untuk tujuan ibadah, ekonomi dan kesejahteraan. (*)

*Penulis Wakil Sekretaris Badan Wakaf Indonesia.

Oleh Oleh HM Cholil Nafis*
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009