Tulungagung (ANTARA News) - Mendengar kata batik tentunya bukan hal yang asing terutama bagi warga Indonesia, khususnya Tulungagung. Terlebih, batik Tulungagung mempunyai ciri khas yang berbeda ketimbang batik dari daerah lainnya.

Pesona batik Tulungagung terletak pada tingkat keberanian memadukan warna untuk menghasilkan batik dengan warna yang berbeda. Dari yang kebanyakan berwarna coklat maupun hitam, kini lebih berani dengan memainkan warna yang lebih cerah.

M. Anies Muchsan (64), perajin batik dengan nama "Barong Gung" ini mengatakan, membuat batik bukanlah proses yang cukup mudah. Selain memerlukan ketelatenan, juga membutuhkan kesabaran karena harus teliti.

Membuat batik, baginya merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Selain dapat melanjutkan usaha keluarga yang didapat secara turun temurun, juga sebagai upaya untuk melestarikan tradisi.

"Nama batik itu yang mempunyai hanya Indonesia. Tidak ada bahasa lain yang bisa menggantikan nama batik itu sendiri," kata pria yang menekuni usaha membuat batik sejak tahun 1978.

Menurut pria yang beralamat di Desa Mojosari, Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung, batik Tulungagung berani dalam membuat perpaduan warna ketimbang batik dari daerah lainnya. Bahkan, karena berani memadukan warna tersebut, batik dari Tulungagung mampu bertahan hingga sekarang dan menjadi batik andalan.

"Kalau dulu, batik hanya digunakan untuk `nyamping` (untuk dibuat jarit sebagai bawahan dari baju) dan warnanya masih klasik. Namun, untuk saat ini sudah ada perubahan, dengan berani memadukan warna, sehingga dapat berubah untuk keperluan sektor lain," katanya mengungkapkan.

Menurut dia, batik Tulungagung tidak berbeda jauh dengan batik dari daerah lainnya. Yang membedakan adalah motif, serta kekuatan warna yang merupakan ciri khas dari daerah tersebut. Beberapa motif yang paling banyak dibuat di Tulungagung antara lain "buket ceprik gringsing","buket ceprik pacit ungker", serta "lereng buket". Ketiga motif tersebut merupakan satu di antara 86 motif yang dimiliki para perajin di Tulungagung.

Beberapa sektor yang saat ini menjadi perhatian antara lain penggunaan kain batik untuk bahan konveksi. Dengan itu, praktis usaha pembuatan batik mampu bertahan dan akan tetap diminati, terutama generasi muda.

Untuk mengembangkan hal tersebut, pihaknya harus sering untuk melihat pangsa pasar serta keinginan pasar tentang berbagai model pakaian yang diminati. Karena dengan hal tersebut, akan terus membuat usaha yang dirintisnya berjalan.

Anis mengatakan, mempertahankan usaha batik memang cukup berat. Namun, ia mengaku berbagai kesulitan tersebut merupakan ujian dan cobaan untuk tetap bertahan menjalankan usaha ini. Karena, dengan modal tekun, keuletan, serta bantuan dari pemerintah, industrinya tersebut mampu bertahan.

Hal tersebut terbukti, dari masih produksinya usaha tersebut dan omzet yang terus lancar. Hingga kini, usaha tersebut dibantu oleh sekitar 15 orang tenaga baik yang membatik maupun tenaga untuk pewarnaan.

Dari jumlah tenaga kerja tersebut, setiap bulan setidaknya pihaknya mampu menghasilkan hingga 5.000 meter kain batik dengan model printing, serta 500 potong kain batik dengan model cap (per potong sekitar 2,5 meter), serta 25 potong kain batik tulis.

"Barong", menurut suami dari Suswanti (52) ini, diambil lantaran nama barong sendiri merupakan sebuah motif batik. Sementara, nama "gung" merupakan nama daerah yang merupakan penggalan dari kata Tulungagung, dimana dengan nama tersebut, pihaknya berharap dapat mengangkat potensi serta kekayaan asli daerah.

Sementara itu, Danu Mulya (55), perajin lainnya mengemukakan, pihaknya mempunyai trik untuk tetap melanjutkan usaha tersebut. Selain mengandalkan dari pewarnaan yang alami, juga memilih menggunakan warna yang menggunakan bahan kimia.

Ia menilai, perlu melihat permintaan pasar, agar usaha batik yang dirintisnya tersebut tetap berjalan. Beberapa daerah mempunyai ciri khas akan permintaan bahan baku, seperti pasar luar negeri yang lebih memilih corak yang alami, maupun pasar dalam negeri yang lebih memilih warna yang berani.

"Untuk itu, kami harus memperhatikan kondisi pasar, serta permintaan konsumen. Dengan itu, kami bisa bertahan untuk terus membuat batik," kata Danu Mulya.

Permintaan akan kain batik tidak akan habisnya. Selain mempunyai ciri khas tersendiri, batik juga harus memperhatikan permintaan pasar. Untuk itu, pihaknya juga menerapkan berbagai strategi untuk meraih pasar.

Selain mempertahankan warna, baik alami maupun kimia, juga membuat beberapa toko yang menjual kain maupun baju dari batik yang diproduksi dengan nama "Gajah Mada" . Saat ini, ia mempunya tiga toko yang khusus menjual produksi batik miliknya. Sayangnya, toko miliknya tersebut masih berada di lokal Tulungagung dan belum ke luar daerah.

"Untuk luar daerah, kami memenuhi pesananan baik dari instansi maupun pesanan toko. Untuk di Tulungagung, kami cukup mendirikan toko menjual produksi kami," tuturnya.

Hasilnya pun cukup lumayan. Dari tiga toko yang ia dirikan, setidaknya mampu meraih pendapatan sekitar Rp2-Rp3 juta selama satu bulan. Jumlah tersebut juga bisa lebih tinggi jika mendekati banyak kegiatan seperti lebaran.

Menyinggung UNESCO yang memberi pengakuan terhadap batik sebagai warisan budaya Indonesia, Danu mengaku sangat bangga. Hal tersebut menunjukkan perhatian dunia bahwa Indonesia mempunyai produksi asli yang merupakan warisan budaya dari zaman dahulu.

"Kami sangat bangga sebagai perajin, karya kami diakui. Selain itu, pengakuan terhadap batik tersebut merupakan bagian dari bentuk perhatian dunia kepada warisan leluhur Bangsa Indonesia," kata Danu mengungkapkan.

Ia berharap, dengan pengakuan tersebut, bangsa lain tidak akan berusaha untuk menjiplaknya, karena batik sudah resmi merupakan warisan leluhur dari Indonesia.

Perlu regenerasi

Rumitnya proses pembuatan batik, seperti mulai dari menggambar pola, menutup dengan malam (bahan baku dari lilin untuk keperluan pewarnaan) serta proses pemberian warna itu sendiri, dan bahkan memerlukan waktu hingga berhari-hari, membuat kalangan generasi muda enggan untuk menekuni seni pembuatan batik.

Praktis, dengan itu, saat ini sedang terjadi krisis generasi muda yang mampu melanjutkan warisan kebudayaan berupa batik tersebut.

"Saat ini sedang krisis generasi muda untuk mau mengembangkan usaha membuat batik ini," kata Danu Mulya.

Ia mengatakan, minat generasi muda harus ditumbuhkan untuk cinta kepada produk dalam negeri berupa batik. Salah satunya dengan memasukkanya kepada kurikulum sekolah, agar mereka juga mengerti serta memahami proses pembuatan batik.

"Generasi muda itu penuh dengan imajinasi. Diharapkan, dengan imajinasi yang masih tinggi, dapat melanjutkan serta menciptakan berbagai motif batik dalam negeri," ucap Danu berharap.

Kepala Bidang Industri Logam dan Aneka Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kabupaten Tulungagung, Budi Siswantoro mengatakan pihaknya mempunyai rencana untuk memasukkan pembuatan batik sebagai kegiatan ekstrakurikuler sekolah, dan hal tersebut pernah dibicarakan dengan salah satu sekolah menengah umum (SMU) di Kecamatan Gondang, sekitar tahun 2007 lalu.

"Kegiatan ini mendapat sambutan sangat menarik dari pihak sekolah. Kami menginginkan agar kegiatan itu tetap menjadi ekstrakurikuler sekolah dan bisa bertahan. Merupakan kebanggan tersendiri, jika mampu membuat desain serta motif baru berdasarkan imajinasi anak-anak," katanya mengungkapkan.

Sayangnya, hal tersebut belum begitu maksimal. Terdapat beberapa kendala dan masalah teknis, sehingga kegiatan itu belum berjalan. Namun, pihaknya berjanji, akan segera mengkomunikasikan hal ini dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Tulungagung, agar pelajaran membatik dapat dijadikan kurikulum sekolah.

Di Kabupaten Tulungagung, usaha batik kembali menggeliat setelah sebelumnya kurang maksimal dan kesulitan untuk memasarkan produksinya. Hal tersebut ditandai dengan perhatian pemerintah yang dimulai sejak tahun 2006 tepatnya tanggal 8-9 Mei dengan menyelenggarakan pameran gebyar batik dan peragaan busana batik dengan motif asli Kabupaten Tulungagung.

Dalam kesempatan tersebut, sebanyak 86 motif asli langsung didaftarkan hak cipta ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman melalu prona.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemkab Tulungagung, Wahyu Adji Gunawan mengatakan, pemkab juga mempunyai berbagai strategi untuk meningkatkan industri tersebut, di antaranya dengan membuat beberapa kebijakan.

Kebijakan itu antara lain membentuk paguyupan perajin batik, menjadikan batik sebagai salah satu oleh-oleh bagi tamu resmi, undangan, maupun tamu wisata yang dipadukan dengan makanan khas Tulungagung.

"Selain itu, kebijakan pemkab juga mencarikan pemodal yang dapat dijadikan sebagai tumpuan untuk memperluas bisnis tersebut, serta aktif melakukan berbagai kegiatan pameran," tutur Wahyu.

Lebih lanjut, ia mengatakan, pihaknya juga sudah berupaya untuk mengenalkan batik terhadap para siswa sekolah baik melalui kegiatan lomba membatik maupun membatik bersama. Diharapkan dengan kegiatan ini, dapat melestarikan serta mengembangkan industri batik.

Di Kabupaten Tulungagung terdapat beberapa daerah yang menjadi sentra industri batik, di antaranya di Kecamatan Sendang dengan batik makmur, Kecamatan Kedungwaru denagn batik satrio manah dan batik majan, dan terakhir di Kecamatan Kauman dengan batik barong gung, gajah mada, serta sinar bintang.

Jumlah industri batik sesuai dengan data Disperindag Kabupaten Tulungagung mencapai leih dari 50 industri. Namun, karena masalah modal akhirnya mereka gulung tikar dan kini hanya tinggal sekitar 10 industri saja.

Untuk tetap membuat industri tersebut bertahan, Wahyu mengatakan, pihaknya juga sudah mengalokasikan bantuan kredit untuk UMKM baik dari daerah maupun provinsi. Dengan itu, pihaknya berharap, industri tersebut mampu bertahan dan menjadi ikon Tulungagung.(*)

Oleh Asmaul Chusna
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009