Jambi (ANTARA News) - Sebanyak 30 persen penduduk Indonesia saat ini masih melakukan kegiatan buang air besar sembarangan (BABS), baik langsung maupun tidak langsung, 18,1 persen di antaranya ada di wilayah perkotaan.

Pernyataan tersebut dikemukakan Kasubdit Pengembangan Sistem Air Limbah, Direktorat Penyehatan Lingkungan Permukiman, Ditjen Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum, Handy B. Legowo di Jambi, Rabu.

Ketka ditemui di sela pembukaan diskusi media tentang "City Summit", Handy menjelaskan, saat ini penduduk yang memiliki akses terhadap prasarana sarana sanitasi setempat (on-site) yang aman dengan menggunakan tanki septik baru sekitar 71,06 persen untuk di perkotaan, sedangkan di pedesaan baru sekitar 32,47 persen.

"Data tersebut diperoleh berdasarkan pendataan tahun 2007. Hal ini juga disebabkan masih kurangnya anggaran untuk sektor sanitasi yakni di bawah rata-rata satu persen APBD/APBN," ujarnya.

Idealnya, anggaran di sektor sanitasi minimal Rp47 ribu per kapita per tahun, namun kenyataannya selama kurun waktu 30 tahun yakni sejak tahun 1974-2004 hanya berjumlah Rp200 per kapita per tahun.

Handy mengatakan, akibat kondisi dan minimnya anggaran di sektor sanitasi tersebut, sebanyak 53 sungai di Jawa, Sumatra, Bali dan Sulawesi, 73,3 persen tercemar berat oleh bahan organik dan 11 sungai utama tercemar berat oleh zat amonium.

Selain itu juga terjadi berbagai dampak lainnya, seperti, genangan di pemukiman dan wilayah strategis di perkotaan menjadi semakin sering terjadi.

Kondisi tersebut diperburuk dengan pola hujan yang tidak teratur sehingga terjadi berbagai kasus kejadian luar biasa (KLB) di beberapa daerah seperti KLB diare, muntaber dan lain sebagainnya.

Begitu juga degradasi lingkungan, serta potensi adanya kerugian ekonomi Rp58 miliar pertahun yang didasarkan pada studi penelitian tahun 2007.

"Banyak penyebab terjadinya kondisi tersebut, yang paling utama kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pola hidup sehat. Hal ini juga didukung masih rendahnya prioritas pemerintah dan legislatif untuk pembangunan sanitasi," tuturnya.

Selain itu, kata dia, masih ada beberapa penyebab lainnya seperti, pelayanan sanitasi saat ini masih dianggap hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar semata. Padahal, juga untuk menunjang pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing kota.

Beberapa daerah perkotaan juga masih tidak didukung dengan rencana strategis, master plan dan dokumen proyek untuk peningkatan pelayanan sanitasi, sehingga hal tersebut mengakibatkan terbatasnya akses ke sumber-sumber pendanaan.

"Untuk segera menanggulangi hal tersebut perlu diwujudkan adanya terobosan yang harus segera dilakukan," ujarnya.

Salah satu terobosan dalam pembangunan sanitasi dengan program percepatan pembangunan sanitasi perkotaan (PPSP) tahun 2010-2014. Kegiatan tersebut dimulai dengan memunculkan prinsip bahwa sanitasi urusan bersama yang di dalamnya terdiri dari pemerintah baik pusat, provinsi, kota/kabupaten, swasta lembaga donor serta masyarakat umum.

Oleh karena itu, "city summit" menjadi salah satu bentuk bagaimana melakukan percepatan dengan tujuan mendorong pemerintah di kota dan kabupaten untuk belajar bersama menyusun suatu perencanaan strategis di sektor pembangunan sanitasi," tambahnya.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009