Medan (ANTARA News) - Permintaan Polri agar media tidak menggunakan istilah "cicak dan buaya" menjadi pelajaran bagi pejabat negara untuk tidak sembarangan mengeluarkan pernyataan yang dapat menjadi "bumerang" dan kontraproduktif.

"Itu menjadi pelajaran agar pejabat negara tidak sembarangan menggunakan istilah yang bisa menimbulkan polemik," kata pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU), Drs M. Ridwan Rangkuti, MA di Medan, Selasa.

Sebenarnya, kata M. Ridwan, keluarnya istilah "cicak dan buaya" itu bukan terjadi begitu saja melainkan untuk menggambarkan kondisi yang sesungguhnya.

Digunakannya istilah itu bertujuan untuk memberitahukan keberadaan Polri sebagai institusi negara yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, khususnya dalam penegakan hukum.

Istilah itu dipergunakan untuk menunjukkan bahwa pihak-pihak lain yang akan berhadapan dengan Polri harus berpikir dua kali karena institusi penegak hukum itu memiliki kekuasaan.

Namun, kata dia, fenomena tentang pola pikir dan indikasi arogansi terhadap kekuasaan itu bukan hanya terjadi di kalangan Polri tetapi juga lembaga lain seperti legislatif dan yudikatif.

"Fenomena itu merupakan refleksi keadaan secara nasional," kata Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisipol) USU tersebut.

Tanpa sadar, kata dia, rasa kebanggaan itu sering menyebabkan para pejabat negara menggunakan istilah-istilah untuk menggambarkan kekuasaan yang dipegangnya, termasuk istilah "cicak dan buaya" tersebut.

Namun, para pejabat negara tidak menyadari bahwa penggunaan istilah justru menjadi bumerang dan dapat kontraproduktif, khususnya dalam proses penegakan hukum.

"Kalau KPK selaku institusi negara saja dianggap cicak, bagaimana dengan rakyat, mungkin dianggap semut," katanya.

"Karena itu, istilah `cicak dan buaya` itu menjadi pelajaran bagi pejabat negara," katanya menambahkan.

Ridwan menilai, untuk merubah dan mencegah terjadinya hal itu lagi, dibutuhkan perubahan pola pikir para pejabat negara mengenai jabatan dan kekuasaan yang sedang diembannya.

"Jabatan dan kekuasaan itu hanya amanah yang harus dipertanggungjawabkan terhadap rakyat," katanya.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri meminta maaf kepada masyarakat atas penggunaan kata "cicak dan buaya" yang disampaikan seorang pejabat Polri dalam menyikapi kasus hukum yang berujung pada penahanan dua pimpinan KPK non-aktif, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.

Dalam pertemuan dengan pimpinan media massa yang difasilitasi Menkominfo Tifatul Sembiring di Jakarta, Senin (2/10) itu, Kapolri mengatakan, penggunaan kata "cicak dan buaya" tersebut tidak tepat, karena Polri merupakan bagian dari unsur KPK sejak awal.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009