Yogyakarta (ANTARA News) - Malam tahun baru Jawa 1 Sura atau tahun baru Islam 1 Muharam bagi sebagian masyarakat Jawa diisi dengan melakukan ritual "tapa bisu mubeng beteng" Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Ritual berjalan keliling benteng tanpa berbicara yang dilakukan ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya, Jumat dini hari, merupakan momentum untuk perenungan diri atau refleksi terhadap hidup dan kehidupannya dengan melakukan tirakat atau "lelaku".

Tirakat yang dilakukan dengan hening itu sebagai bentuk refleksi manusia atas eksistensi dirinya. Eksistensi diri manusia yang mengada karena adanya Sang Pencipta.

"Melalui perenungan diri dengan tirakat atau lelaku, masyarakat dapat melakukan evaluasi dan introspeksi diri, serta sadar bahwa manusia ada yang menghidupkan, yakni Tuhan," kata sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Purwanto.

Dengan tirakat atau lelaku, masyarakat dapat melakukan evaluasi terhadap segala perilaku atau perbuatan di tahun lalu untuk introspeksi diri di tahun baru, serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan.

Tirakat atau lelaku mengelilingi benteng keraton dalam keheningan total itu merupakan simbol keprihatinan sekaligus kesiapan masyarakat untuk menghadapi tahun yang akan datang.

Dengan sikap prihatin diharapkan masyarakat dapat mawas diri dan tidak berpuas diri terhadap segala sesuatu yang telah diraih pada tahun-tahun sebelumnya.

"Perilaku atau perbuatan yang dinilai negatif di masa lalu berusaha ditinggalkan, sedangkan perilaku atau perbuatan yang positif akan dipertahankan bahkan ditingkatkan, dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan dengan meningkatkan amal ibadah," katanya.


Terbuka

Ritual "tapa bisu mubeng beteng" merupakan tradisi yang terbuka untuk masyarakat dari berbagai kalangan yang berlangsung setiap malam 1 Sura. Pada malam 1 Sura ribuan warga berjalan keliling benteng sejauh lima kilometer tanpa berbicara, merokok, makan atau minum.

Kegiatan budaya itu dilepas oleh adik Sri Sultan Hamengku Buwono X, GBPH Joyokusumo dari Bangsal Ponconiti, Keben, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada pukul 24:00 WIB. Sebelum prosesi dimulai dilakukan pembacaan macapat atau tembang berbahasa Jawa.

Prosesi arak-arakan dimulai dari Keben melewati Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, Suryowijayan, Pojok Beteng Kulon, Jalan Letjen MT Haryono, Jalan Mayjen Sutoyo, Pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan dan berakhir di Alun-alun Utara.

Arak-arakan peserta ritual membentuk barisan sepanjang sekitar 500 meter, dan mereka memadati sepanjang jalan yang dilewati. Meskipun berjalan dalam barisan yang cukup panjang, sepanjang perjalanan mereka hanya diam.

"`Tapa bisu mubeng beteng` itu untuk memeringati tahun baru Islam 1 Muharam atau 1 Suro bagi masyarakat Jawa. Tujuannya mengajak masyarakat untuk bersyukur kepada Tuhan, memohon keselamatan dan kesejahteraan," kata kerabat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Gunokadiningrat.

Meskipun berlangsung di sekitar Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, secara resmi pihak keraton tidak melakukan ritual tersebut. Kegiatan itu hanya dilakukan para abdi dalem keprajan dan punokawan yang mengabdi di keraton.

Ketika menjalani ritual tersebut seluruh abdi dalem mengenakan busana adat Jawa peranakan warna biru tua tanpa membawa keris dan tidak beralaskan kaki dengan membawa sejumlah bendera atau panji.

"Semua bendera atau panji merupakan lambang lima kabupaten dan kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yakni Kabupaten Sleman, Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, dan Kota Yogyakarta, serta panji abdi dalem juga dibawa. Di depan barisan pembawa panji ada pembawa bendera negara RI yakni Merah Putih," katanya.

Selama menjalani ritual tersebut mereka memanjatkan doa memohon keselamatan lahir dan batin serta kesejahteraan bagi diri pribadi, keluarga, bangsa, dan negara. "Jadi, saat berjalan membisu itu, mereka berdoa kepada Tuhan agar diberi keselamatan dan kesejahteraan," katanya.


Memusat

Pada awalnya "tapa bisu mubeng beteng" adalah tradisi asli Jawa yang berkembang pada abad ke-6 sebelum Mataram-Hindu. Tradisi asli Jawa itu disebut "muser" atau "munjer" (memusat) yang artinya mengelilingi pusat.

Semula yang dimaksud adalah pusat wilayah desa. Ketika pedesaan kemudian berkembang menjadi kerajaan, muser pun menjadi sebuah tradisi mengelilingi pusat wilayah kerajaan.

"Sumber sejarah lain menyebutkan `mubeng beteng` merupakan tradisi Jawa-Islam yang dimulai ketika Kerajaan Mataram (Kotagede) membangun benteng mengelilingi keraton yang selesai pada 1 Suro 1580," kata KRT Gunokadiningrat.

Para prajurit keraton pada saat itu rutin mengelilingi (mubeng) benteng untuk menjaga keraton dari ancaman musuh, yakni Pajang. Setelah kerajaan membangun parit di sekeliling benteng, tugas keliling dialihkan kepada abdi dalem keraton.

Menurut dia, agar tidak terkesan seperti militer, para abdi dalem itu dalam menjalankan tugasnya dengan membisu sambil membaca doa-doa di dalam hati agar mereka diberi keselamatan.

Tradisi mubeng atau mengelilingi itu sebenarnya tidak hanya berada di seputar benteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tetapi juga terdapat tradisi mubeng kuthanegara dan mubeng mancanegara.

Keraton sebagai pusat negara dikelilingi oleh kuthanegara, dan kuthanegara dikelilingi oleh mancanegara. Mancanegara yang dimaksud adalah daerah-daerah di luar wilayah keraton tetapi berada dalam kekuasaannya.

"Berhubung tradisi `mubeng beteng` lebih mudah diikuti oleh masyarakat secara luas, maka tradisi itulah yang kemudian paling terkenal dan berlangsung sampai sekarang setiap malam 1 Sura," katanya.

Purwanto mengatakan, tirakat atau lelaku yang dilakukan sebagian masyarakat Jawa pada malam 1Suro itu hanya salah satu sarana untuk memahami hidup dan kehidupan sehingga semakin yakin bahwa semua sudah ada yang mengatur, yakni Tuhan.

Dengan demikian, manusia akan "narimo" (menerima dengan ikhlas) hidup dan kehidupannya. Dalam arti, tidak iri dengan keberhasilan orang lain, tidak ingin memiliki sesuatu yang menjadi hak orang lain, dan tidak serakah, tetapi tetap berusaha untuk memperoleh hidup dan kehidupan yang baik.

"Jika semua orang bisa `narimo` dalam hidup dan kehidupannya, saya yakin bangsa ini akan aman, tenteram, sejahtera, dan terbebas dari korupsi," katanya.(*)

Oleh Oleh Bambang Sutopo Hadi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009