Jakarta (ANTARA News) - Menara Burj Dubai dibuka secara resmi kemarin, enam tahun sejak dimulainya pembangunan konstruksi bangunan bernilai 4,1 miliar dolar AS (Rp38,5 triliun) dan bertinggi hampir sekilometer itu.

Dirancang sebagai monumen perlambang ambisi ekonomi dari negara kota di Arab tersebut, Burj Dubai adalah versi modern dari Menara Babel (seperti ditulis Alkitab).

Dubai baru saja diganyang krisis utang sehingga gedung tertinggi dunia itu hampir kosong tanpa penghuni dan tidak diinginkan para penyewa internasionalnya kepada siapa sebenarnya gedung itu dibangun dan diperuntukkan.

Argumen dasar dari pembangunan monumen-monumem tidak pernah sepenuhnya bermotif ekonomi.

Pada awal abad ke-20 di New York, para konglomerat saling berlomba membangun gedung tertinggi dunia, hingga membuat Manhattan menjadi kawasan gedung pencakar langit yang ikonik.

Baik General Motors maupun Chrysler di masa itu merasa bisa membangun testamen untuk memaklumatkan kekuatan ekonomi mereka dengan membangun menara-menara tinggi.

Kemudian, para dewa keangkuhan berlayar ke Timur Jauh, manakala Menara Petronas di Malaysia dan kemudian baru-baru ini Taipei 101 di Taiwan berlomba guna menjadi yang tertinggi di dunia. Kini setengah lusin gedung pencakar langit di Asia membuat Menara Sears di Chicago (kini Menara Willis) tidak ada apa-apanya.

Seperti halnya kota Dubai itu sendiri, Burj Dubai hanya pernik baru dari upaya perburuan mencari ketidak berbatasan, termasuk pulau buatan manusia terluas di dunia, pusat belanja dan resor ski indoor terbesar di dunia.

Dubai bahkan mengukuhkan diri sebagai pemilik cincin emas terberat di dunia, yang kira-kira beratnya 60 kg.

Teori ekonomi di balik ini adalah, menjadi tanah super memberi keunggulan komparatif kepada satu tempat yang sejatinya tidak begitu elok dan kekurangan sumber daya manusia, kendati kita menjadi bertanya siapa yang dilamar untuk mengenakan cincin emas seberat itu.

Jika abad silam lalu mengajarkan kita akan sesuatu, maka bakal ada gedung lain yang lebih tinggi dibangun di luar sana, dan Dubai tidak bisa berharap mempertahankan reputasinya.

Berbeda dari itu, di kota-kota seperti Houston dan Hongkong, gedung-gedung pencakar langit bukanlah penyebab makmurnya ekonomi kota-kota itu, namun sebaliknya menjadi satu manifestasi yang mengejawantah dari kemakmuran itu.

Yaitu kemakmuran yang dibangun bertahun-tahun di atas landasan-landasan lama; kemerdekaan ekonomi, aturan hukum, kerja keras dan manajemen yang benar.

Tanpa semua landasan itu, bangsa-bangsa dan kota-kota dibangun tanpa fondasi apa-apa, kecuali pasir semata. (*)

Sumber: The Wall Street Journal

Oleh
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010