Jakarta (ANTARA News) - "Saya pernah mendapat tugas pukul dua malam ke Papua tanpa pemberitahuan sebelumnya sesuai dengan motto pasukan Gultor Siap, Setia, Berani," kata Wisnu Djoko Hadianto (28) kepada ANTARA News, Kamis, usai Latihan Gabungan Antiteror TNI/Polri di Monas, Jakarta Pusat.

Wisnu (28) adalah anggota Satuan Anti Teror 81 Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Pangkatnya Sersan Satu. Bergabung dengan kesatuan ini pada 2004.

Wisnu adalah seorang dari sekelompok orang-orang sangat terlatih dari TNI dan Kepolisian, yang menjadi pemukul pertama manakala negeri dan rakyat harus menghadapi pengacau dan peneror kedaulatan, keutuhan dan keamanan negara ini.

Sebagaimana rekan-rekannya di satuan elite itu, dan juga satuan-satuan anti teror lainnya, pria berdarah jawa yang mulai berkarir di Satuan 1 Kopassus, Serang, tahun 2002 ini, harus selalu siap melawan dan menaklukan teror dalam bentuk apapun, serta tentunya menjaga stabilitas nasional.

"Menjadi prajurit Komando merupakan panggilan jiwa dan saya terinspirasi dari ayah saya yang juga ABRI," kata Wisnu.

Kepada ANTARA News, Wisnu berbagi satu cerita yang membekas pada dirinya, yaitu selama tujuh bulan mengikuti pendidikan di Pusat Pendidikan Pasukan Khusus (Pusdikpassus), Batujajar, Jawa Barat.

"Jika saja saya disuruh mengulangi lagi hari-hari pelatihan tersebut, saya tidak akan mau," katanya, menggambarkan sangat beratnya latihan yang harus dijalani seorang yang akan menjadi anggota unit elite Kopassus itu.

Bukan hanya keterampilan tempur serta siap fisik dan mental, para elite ini diajarkan kedisiplinan amat tinggi.

"Kira-kira beberapa hari sebelum pelantikan Baret Merah, dua teman saya yang melanggar perintah diberhentikan dari pendidikan dan kembali ke kesatuannya, hanya karena jalan-jalan keluar," katanya.

Wisnu melanjutkan, ada beberapa kata yang terus terngiang di telinganya ketika memulai pendidikan, "Kalau ragu, kembali sekarang juga."

Wisnu pernah ditugaskan di Aceh pada 2004 dan Papua pada 2007-2009 dalam operasi berbeda-beda.

Pada 2004, dia pernah ngobrol dengan salah seorang anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di kedai kopi. Di jam lainnya, ketika mereka bertemu lagi, ceritanya pasti akan lain. "Dalam perang ada dua pilihan menembak atau ditembak," katanya.

Sewaktu bertugas di Papua dalam operasi tertutup, dia ditugasi mengubah opini masyarakat agar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Warga sudah terkontaminasi dengan Bintang Kejora (gerakan separatis) dan kami berupaya bagaimana mereka kembali ke Merah Putih," katanya.

Satuan Anti Teror Gultor adalah pasukan antiteror pertama Indonesia yang diilhami oleh keberhasilan operasi anti pembajakan Garuda Woyla di Dong Muang, Thailand.

Satu grup pasukan elite ini terdiri dari sepuluh prajurit berketerampilan berbeda-beda. Ada penembak jitu, pelempar granat, penjinak bom, pemukul, pendobrak pintu dan ahli teknik.

"Setelah pendidikan usai, ada ujian psikotes untuk mengetahui spesifikasi keterampilan kita," kata Wisnu yang ternyata ahli matra udara, sebagai penerjun payung.

Pasukan elite Jerman CSG 9 bisa disebut "benchmark' Kopassus. Setelah Gultor, menyusul lahir satuan antiteror lain, Detasemen Jala Mengkara (AL), kemudian Den Bravo (AU), terakhir Detasemen Khusus 88 (Polri).

"Kami mempunyai tanggungjawab yang besar akan nama yang disandang dan menginspirasi pasukan antiteror yang lain," kata Wisnu bangga.

Pada beberapa kesempatan, prajurit komando ini juga berlatih dengan pasukan khusus negara asing. Sebut saja Navy SEAL Amerika Serikat atau dengan SASR Australia.

Reputasi Kopassus telah mendunia dan mengundang decak kagum dunia.

"Ada dua hal yang saya takuti dari Kopassus, pertama sejarah, kedua 'crazy', berani mati semua!" kata Wisnu sambil menyilangkan jarinya di jidatnya, menirukan ucapan seorang anggota pasukan khusus Australia SASR, ketika Kopassus dan SASR, berlatih bersama. (*)

adam rizal/jafar sidik

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010