Jakarta, 6/4 (ANTARA) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan perkara korupsi pajak yang melibatkan petugas Ditjen Pajak Gayus Tambunan dibongkar dan pihak-pihak yang terlibat ditindak sesuai dengan ketentuan hukum.

Dalam pengantar sebelum memulai sidang kabinet, di Jakarta, Senin, Presiden mengatakan dirinya terusik atas kejahatan `kongkalikong` aparat pajak dan penegak hukum yang penanganannya sedang berlangsung di kepolisian, kejaksanaan dan Ditjen Pajak tersebut.

Komentar keprihatinan atas masih maraknya korupsi di Indonesia serta tawaran berbagi ide dalam upaya pemberantasannya bermunculan dari berbagai kalangan, termasuk ide pemberian pengampunan sebelum menerapkan hukuman berat terhadap pelakunya.

Pemerintah, setelah menerapkan bermacam metoda pemberantasan korupsi, mungkin dapat mempertimbangkan pemberlakuan `masa pengampunan` sebagai alternatif bagi upaya mengeliminir terus berkembangnya kasus korupsi di Tanah Air.

Masa pengampunan itu dapat saja ditetapkan misalnya selama enam bulan bagi para pelaku tindak pidana korupsi dalam upaya `membersihkan dosa-dosa` mereka dengan mengembalikan `hasil jarahannya` selama ini kepada negara, sehingga mereka dibebaskan dari tuntutan hukum.

Selanjutnya, aturan tegas dan tindakan keras tanpa pandang bulu, -- mungkin penerapan hukuman mati bagi koruptor kelas tertentu, misalnya dengan nilai kerugian negara Rp10 miliar ke atas -- dipersiapkan bagi yang terbukti secara hukum menyelewengkan uang negara setelah masa berlaku pengampunan berakhir.

Tindakan keras tersebut harus diatur oleh Presiden dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara -- mungkin perlu campur tangan DPR -- sehingga konsekuensi tindakan keras, seperti mengisolasi (memenjara) orang dalam waktu tertentu sebelum diproses lewat pengadilan, atau tersangka langsung dikirim ke penjara Nusa Kambangan sebelum atau ketika mengikuti proses sidang, tidak bermasalah dari perspektif penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi.

Melalui tindakan tegas seperti yang diterapkan di China tersebut, diharapkan ada tiga aspek positif yang diraih, masing-masing, faktor `penjera` sehingga para `calon` pelaku yang ingin coba-coba berbuat, akan berpikir 100 kali terlebih dahulu, karena tindakan penyelewengannya mengancam mati jiwanya, bila kasusnya terungkap.

Dalam masa `toleransi` itu, diharapkan banyak pelaku korupsi akan mengembalikan harta haramnya kepada negara, karena `dosa-dosanya` akan diampuni dan ia terbebas dari jeratan hukum sehingga para pelaku akan menjadi manusia `fitri` dan memulai kehidupan baru yang bersih setelah `tobatnya` diterima.

Faktor positif lainnya adalah, nama harum pemerintah akan dikenang sebagai pelaku sejarah -- sama seperti Nelson Mandela di Afrika Selatan yang berhasil menghapus sistem politik apartheid (pembedaan warna kulit) dengan komentar utamanya, "To forgive yes, but to forget no" (Dapat memaafkan, tapi tidak melupakan).

Di samping itu, langkah lanjutnya setelah usai masa `pengampunan`, adalah proses pembuktian terbalik dalam penyidikan kasus korupsi, pencucian uang, penggelapan dan sejenisnya, sudah selayaknya diterapkan.

Sesuai dengan kadar penyakit korupsi yang telah bersifat `kronis` dan pada stadium yang dapat mengganggu kehidupan program berbangsa dan bernegara, serta pemulihan nama baik Indonesia yang selalu berada di peringkat tak terpuji secara internasional dalam hal korupsi, maka memang telah diperlukan tindakan bersifat `luar biasa` tersebut, karena penegakan hukum berlaku alami saja seperti `business as usual` tak lagi menjadi resep mujarab.

Masyarakat kini sedang mendambakan ada lompatan terapi berupa tindakan bersifat `kolosal` pemerintah bagi pembersihan bangsa ini dari `manusia-manusia kotor` tak beradab.



Retorika

Derajat keparahan sikap koruptif di Indonesia tak perlu diperdebatkan lagi, karena baik dari perspektif masyarakat secara horizontal maupun vertikal, semua telah merasa maklum, karena dari urusan di kelurahan mengurus KTP dan KK di tingkat pemerintahan yang paling rendah, sampai Korupsi, Kolusi dan Nepotisem (KKN) di tingkat peluang penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pilihan di jabatan `basah`, wabah itu terasa, tapi tak pernah nyata terwujud.

Contoh kadar stadiumnya jelas tercermin dari kasus Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak itu, yang telah menggambarkan dengan seksama keadaan lapangan.

Pada kasus itu tampak `bermain` kalangan pimpinan aparat penegak hukum berpangkat jenderal polisi, personil kejaksaan dan penegak hukum lainnya seperti advokat, serta kemungkinan juga sejumlah hakim.

Sulit dipungkiri bahwa indikasi `permainan` penyalahgunaan wewenang terkait korupsi itu telah merambah ke hampir semua sisi kehidupan dari pembelian ATK (alat tulis kantor) sampai sogok-menyogok bagi kemudahan mendapat jabatan di satu instansi.

Getolnya pemerintah membentuk lembaga pemberantas korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), agaknya tidak otomatis berdampak positif bagi terciptanya kondusivitas suasana bersihnya mekanisme birokrasi.

Bahkan `faktor deterrence` yang diharapkan dari kebijakan menghukum terdakwa dengan menjatuhkan vonis berat, juga tak membuahkan hasil.

Buktinya, korupsi berjamaah di DPRD Sumatera Barat, pemberian `fee` ratusan juta kepada anggota DPR saat pemilihan calon Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom, dan kasus Suyitno Landung di Polri serta Jaksa Urip Tri Gunawan di Kejaksaan Agung, semua tak memberi efek jera bagi yang lain sehingga terus muncul `muka-muka` baru jadi `aktor` sinetron berjudul `korupsi` di sejumlah media elektonik dan cetak.

Ketika Presiden Republik ini -- representasi dari seluruh rakyat Indonesia -- telah menyatakan `terusik` dari kasus-kasus korupsi yang terungkap, maka saatnyalah seharusnya momen pemuliaan harkat dan martabat bangsa itu dibenahi dan ditata ulang dengan semangat serta langkah nyata memupuk harapan, bukan lagi retorika. (Disarikan dari berbagai sumber)

(J003/H-KWR)

Oleh Johnny Tarigan
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010