Jakarta (ANTARA News) - "Mari menanam pohon". Itu ajakan vokalis band Nidji, Giring Ganesha, pekan lalu di Demak, Jawa Tengah. Giring bersama beberapa artis memang sedang giat-giatnya untuk menanam pohon demi lingkungan yang semakin sejuk.

Bergabung dengan program Djarum Trees For Life, secara bergelombang sejak Maret, penyanyi Nugie, selebritas Luna Maya dan kelompok band Nidji, melakukan penanaman pohon Trembesi di daerah Karang Anyar, Demak. Acara puncak akan menghadirkan Iwan Fals pada 27 Mei mendatang di Demak.

"Menanam pohon adalah upaya awal mengurangi pemanasan global," kata Direktur Public Affairs PT Djarum Suwarno M Serad pada acara penanaman pohon Trembesi di Kecamatan Karang Anyar, Kabupaten Demak, Rabu (12/3) lalu.

Lewat program ini akan ditanam 2.767 pohon Trembesi di sepanjang turus jalan Semarang-Kudus, Jawa Tengah. Setelah ini selesai akan dilanjutkan di daerah lain kawasan Pantai Utara Jawa.

Pohon Trembesi dipilih selain karena memiliki kemampuan sebagai peneduh, juga merupakan pohon dengan serapan CO2 tertinggi. Hasil penelitian Dr. Ir. H. Endes N. Dahlan, dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) satu batang pohon Trembesi (diameter tajuk 15 meter) mampu menyerap 28,5 ton gas CO2 setiap tahun.
Dengan penanaman pohon jenis ini secara luas dapat menurunkan konsentrasi gas CO2 secara efektif dalam waktu yang lebih singkat.

Sementara itu dipilihnya jalan raya sebagai lokasi penanaman pohon atas dua pertimbangan, yang pertama bahwa jalan raya merupakan kawasan emisi CO2 yang besar karena banyak kendaraan bermotor yang lalu lalang, sehingga tumbuhnya pohon Trembesi di sepanjang jalan akan efektif menyerap CO2 buangan kendaraan bermotor tersebut.

Yang kedua kampanye perang melawan pemanasan global. Dengan menanam pohon Trembesi di pinggir jalan raya, diharapkan semakin banyak orang yang peduli dan melakukan hal serupa untuk memerangi pemanasan global.

Lalu bagaimanakah kaitan antara penanaman pohon dengan mengurangi pemanasan global?

Pemanasan global adalah kenaikan suhu udara rata-rata di seluruh permukaan bumi. Kenaikan suhu udara ini terjadi karena semakin banyak gas-gas rumah kaca di atmosfer bumi.

Gas-gas ini antara lain uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), nitrous oksida (N2O), dan gas metana (CH4), bersama dengan gas-gas lain menyelimuti bumi yang disebut dengan udara.

Gas-gas ini memiliki efek rumah kaca, sehingga sinar matahari bisa masuk menembus kaca, namun panas dari rumah kaca tidak bisa keluar karena tertahan oleh kaca, sehingga udara di dalam rumah kaca lama-kelamaan menjadi lebih panas.

Hal seperti ini dilakukan petani di daerah beriklim dingin untuk meningkatkan dan menjaga kestabilan suhu di daerah pertaniannya.

Demikian pula gas-gas rumah kaca di atmosfer bumi. Sinar matahari mampu menerobos lapisan gas ini sehingga mencapai permukaan bumi. Sebagian sinar itu diserap bumi, lainnya dipancarkan kembali ke atmosfer (udara) dalam bentuk panas.

Panas ini akan diserap gas-gas rumah kaca, kemudian dipancarkan kembali ke segala penjuru arah, termasuk sebagian besar ke arah bumi. Panas yang dipancarkan kembali ke arah Bumi inilah yang menyebabkan suhu udara di permukaan Bumi menjadi lebih tinggi.

Sesungguhnya keberadaan gas-gas rumah kaca ini sangat elementer sehingga bumi bisa dihuni mahluk hidup termasuk manusia, sebab kalau gas-gas ini tidak ada maka suhu permukaan bumi akan sangat dingin dan tidak memungkinkan mahluk hidup bertahan hidup.

Peningkatan konsentrasi (jumlah) gas-gas rumah kaca ini di atmosfer dengan sendirinya akan meningkatkan jumlah panas yang terperangkap di lapisan udara permukaan bumi. Dalam jangka panjang hal inilah yang menyebabkan pemanasan global.

Di antara gas-gas rumah kaca, jumlah gas karbon dioksida adalah yang meningkat signifikan, terkait dengan peningkatan aktivitas penggunaan bahan bakar fosil (gas, minyak dan batubara) untuk berbagai keperluan seperti transportasi, industri dan rumah tangga, dari zaman pra-industri hingga zaman modern saat ini.

Jumlah gas metana juga meningkat karena aktivitas pertanian, namun jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding gas karbon dioksida.

Setiap pembakaran bahan bakar fosil akan melepas CO2 ke udara sebagai sisa pembakaran dalam jumlah yang sebanding.

Pemantauan di observatorium Mauna Loa, Hawaii, konsentrasi CO2 meningkat secara konsisten dari sekitar 318 ppm pada 1957 menjadi sekitar 387 ppm pada tahun 2010.

Sementara itu, panel ahli antarpemerintah mengenai perubahan iklim (IPCC) mengungkapkan bahwa suhu permukaan bumi meningkat 0,6 derajat Celcius dari tahun 1861 hingga pada tahun 2001, dan saat ini diperkirakan suhu permukaan bumi meningkat sekitar 0,74 derajat Celcius.

Dampak negatif dari pemanasan global ini sudah disuarakan banyak kalangan sejak beberapa dekade lalu, namun komunitas dunia terutama kalangan industri baru sadar dalam beberapa tahun terakhir setelah lapisan es di kutub mulai mencair.

Pencairan es itu dikhawatirkan akan menaikkan muka air laut, yang bisa menenggelamkan pulau dan sejumlah kota di tepi pantai, serta segala aktivitas masyarakat di kawasan pesisir.

Dampak lain dari pemanasan global yakni terganggunya pola iklim. Pola iklim yang tidak teratur membuat pola tanam pertanian menjadi kacau, bahkan bisa berakibat pada gagal panen yang bisa mengakibatkan kelaparan bagi manusia.

Sebagai contoh, selama ini musim hujan di Indonesia dikenal pada periode September hingga Februari, dan musim kering (panas) pada Maret hingga Agustus. Dengan pola ini, biasanya petani menanam padi pada Desember (puncak musim hujan) dan rencana panen pada Maret atau April (awal musim kering).

Karena perubahan iklim, musim hujan berlangsung hingga Maret, maka padi tersebut akan hancur dan tidak bisa dipanen.

Selain itu, meningkatnya suhu udara bisa memunculkan berbagai penyakit baru yang sulit ditangani, karena belum sempat dilakukan penelitian.

Para ahli memperkirakan apabila suhu udara meningkat dua derajat Celcius, maka perubahan ekosistem bumi yang terjadi tidak akan bisa dipulihkan (ir-reversible), mahluk hidup banyak yang akan punah.

Oleh karena itu, untuk menghindari malapetaka karena kenaikan suhu tersebut bangsa-bangsa di dunia sepakat untuk mengurangi emisi karbon ke udara mulai tahun 2020.

Ada beberapa cara untuk mengurangi jumlah gas CO2 di udara, antara lain mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan menanam pohon/tumbuhan/tanaman untuk menyerap CO2 dari udara.

Mengurangi penggunaan bahan bakar fosil bisa dilakukan dengan efisiensi penggunaan energi dan atau menggunakan sumber energi lain seperti energi nuklir, tenaga matahari, tenaga air dan lain-lain.

Sementara itu penyerapan CO2 dari udara dilakukan tumbuhan (pohon) melalui proses fotosintesis di dalam daun. Atas bantuan energi dari sinar matahari, air yang diserap tumbuhan dari tanah akan bercampur dengan CO2 yang diserap dari udara untuk menghasilkan gula, yakni bahan organik yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang.

Semakin banyak tumbuhan (pohon) akan semakin banyak pula daun yang menyerap CO2, sehingga konsentrasi CO2 di udara bisa berkurang. Demikianlah proses penanaman pohon bisa mengurangi pemanasan global.

Proses fotosintesis sesungguhnya merupakan salah satu mekanisme alam untuk menjaga kesetimbangan konsentrasi CO2 di atmosfer, selain larutnya CO2 di lautan karena terbawa angin dan hujan, serta karena proses pendinginan udara. Di sinilah fungsi hutan menjadi penting.

Berkurangnya areal hutan karena pembabatan dan konversi untuk kepentingan lain seperti pemukiman dan kawasan industri, menjadi faktor yang mempercepat peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer dalam beberapa dekade terakhir.

Oleh karena itu penanaman pohon dan penghutanan kembali areal kritis merupakan langkah penting mengurangi pemanasan global.

Gencarnya pemberitaan mengenai fenomena pemanasan global dan dampaknya telah memunculkan kesadaran di berbagai kalangan masyarakat di dunia untuk berpartisipasi melawan kenaikan suhu bumi ini.

Pemerintah Indonesia mengadakan program penanaman satu miliar pohon untuk mencapai target pengurangan emisi CO2 sebesar 26 persen pada tahun 2020.

Kebijakan ini ditanggapi Pemerintah Kota Bekasi dengan menanami pohon di sepanjang jalan raya, serta meminta setiap pelajar di daerah ini menanam satu pohon produktif di areal sekolahnya.

Di Missisippi, Amerika Serikat, masyarakat berlomba-lomba menanam bambu, selain untuk mengurangi pemanasan global juga untuk menghasilkan bahan bangunan dan kerajinan. Bahkan kelompok masyarakat ini melakukan berbagai penelitian yang menghasilkan jenis bambu dengan umur panen lebih pendek.

Di tingkat korporat, kegiatan produksi yang ramah lingkungan banyak dijadikan sebagai keunggulan bersaing dengan menghasilkan produk-produk berlabel ramah lingkungan (eco-labelling).

Walaupun masih dipersoalkan, baru-baru ini perusahaan produsen barang-barang konsumen terbesar di dunia, Unilever, menolak minyak sawit produksi salah satu anak perusahaan Sinar Mas Group karena dinilai proses pertanamannya merusak lingkungan.

PT Djarum sadar bahwa perang melawan pemanasan global bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau para pemilik modal, melainkan tugas bersama seluruh umat manusia. Oleh karena itu harus semakin banyak orang yang diajak berpartisipasi.

Oleh karena itu, dalam rangkaian program penanaman pohon Trembesi ini PT Djarum melibatkan banyak kalangan, mulai dari pemerintah daerah Jawa Tengah, Kepolisian, kelompok tani, artis, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi, blogger, dan pelajar.

"Kami ingin menularkan kepada semakin banyak orang keinginan untuk menanam pohon. Kami ingin agar semakin banyak orang yang berpartisipasi melawan pemanasan global," kata Suwarno M Serad di hadapan ribuan warga masyarakat yang menantikan aksi kelompok band Nidji, di Karang Anyar, Demak, pekan lalu.

Sesungguhnya penanaman pohon tidak sekadar membuat udara menjadi lebih sejuk, seperti diungkapkan Giring, tetapi lebih dari itu, secara tidak kita sadari tindakan itu berkontribusi terhadap perang melawan pemanasan global sehigga bumi dengan segala mahluk di dalamnya terhindar dari kepunahan.
(B012/B010)

Pewarta: Oleh Biqwanto Situmorang
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010