Padang (ANTARA News) - Ahli Odontologi Forensik Polri, Drg Sindhy R Malingkas mengungkapkan, sebanyak 113 orang atau 56,5 persen dari 202 korban meninggal dunia pada kasus bom Bali 2002, berhasil diidentifikasi melalui gigi.

"Petugas Disaster Victim Identification (DVI) yang dikerahkan pada peristiwa itu berhasil mengidentifikasi sebagian besar korban tewas melalui susunan gigi," kata Sindhy, yang juga anggota Komite DVI Nasional Indonesia, di Padang, Sumatra Barat, Sabtu.

Ia menyampaikan itu saat tampil sebagai pemakalah dalam seminar ilmiah bertema "Dokter Gigi Berperan Dalam Evakuasi Bencana Massal".

Seminar dua hari di Hotel Pangeran Beach itu diselenggarakan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Cabang Padang, diikuti sedikitnya 450 perserta dari berbagai provinsi di Nusantara.

Sindhy mengatakan, odontologi forensik berkembang seiiring dengan pelaksanaan operasi DVI di Indonesia sejak kasus bom Bali pada 2002, hingga bom Bali berikutnya, 2005.

Jadi, keberhasilan identifikasi melalui gigi --merupakan salah satu metode `primary indentifiers`-- pada proses DVI tersebut, dapat terwujud apabila tersedia data.

Data yang dimaksud, yaitu berupa data gigi ante mortem serta dimilikinya standar pemeriksaan kedokteran gigi forensik yang baku.

Namun, di Indonesia yang menjadi salah satu hambatan di dalam pelaksanaan proses DVI pada aspek gigi, karena hampir seluruh penduduk Indonesia belum memiliki catatan data gigi ante mortem.

Hal ini, katanya, disebabkan karena pada umumnya orang di Indonesia jarang pergi ke dokter gigi karena kurang memahami pentingnya kontrol rutin ke dokter gigi.

"Kalau pun ada yang mengerti, kadang-kadang mereka memilih prioritas yang lain, seiring dengan keterbatasan keuangan mereka," ujarnya.

Selain itu, katanya, kebanyakan para dokter gigi di Indonesia belum membuat dan memiliki catatan gigi yang baik. Meskipun ada, tapi pada umumnya mereka tidak menyimpan dengan cara yang tepat.

Bahkan, pada 2003 Kemenkes RI telak melaksanakan beberapa kali pertemuan untuk mencoba menyusun standarisasi tentang catatan gigi, serta menyiapkan sistem pencatatan yang lebih baik.

Anggota Komite DVI Nasional itu mengatakan, ketika dilakukan indentifikasi bagi korban bencana di Indonesia, data post mortem gigi yang telah terkumpul tidak dapat dibandingkan karena kurangnya data ante mortem gigi.

Oleh karena itu, tambahnya, dalam kondisi tersebut seorang ahli odotologi forensik harus mampu mendapatkan informasi lebih lanjut tentang gigi.

Selain itu, tempurung kepala dan menggali informasi yang berharga dari anggota keluarga korban, juga sangat penting untuk keperluan indentifikasi.

"Di samping belum adanya catatan data gigi ante mortem penduduk Indonesia, kendala lain dari upaya identifikasi juga disebabkan oleh belum dimilikinya suatu standar operasi prosedur (SOP) yang baku dalam bidang penanganan pemeriksaan kedokteran gigi forensik pada operasi DVI di negeri ini," kata Sindhy di hadapan peserta seminar.(*)
(T.KR-SA/P004/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010