Yogyakarta (ANTARA News) - Muhammadiyah sebagai organisasi pembaru tampaknya masih menghadapi hambatan dalam melakukan perubahan sosial yang lebih asasi dan lebih luas, kata cendekiawan Muslim Dawam Rahardjo.

"Pada tataran fundamental, faktor penghambatnya adalah ketegangan teologis. Sebagaimana dipersepsikan umum, berdirinya Muhammadiyah diilhami oleh dua aliran pemikiran, yakni wahabisme dan modernisme," katanya, di Yogyakarta, Kamis.

Menurut Dawam pada diskusi buku karyanya berjudul "Satu Abad Muhammadiyah: Mengkaji Ulang Arah Pembaruan", wahabisme adalah aliran yang dikembangkan Muhammad bin Abdul Wahab, sedangkan modernisme dikembangkan Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha.

Kedua aliran itu bertolak belakang. Inti dari ajaran Wahabi adalah doktrin tauhid yang komprehensif yang bersumber pada pemikiran Ibnu Taimiyah yang mengacu pada mazhab Hambali yang fundamentalis, sedangkan paham modernisme berorientasi pada aliran rasional Mu`tazilah.

Ia mengatakan dalam kategori Hassan Hanafi, wahabisme adalah aliran kanan, sedangkan modernisme adalah aliran kiri. Berhadapan dengan dua arus pemikiran itu, Muhammadiyah selalu berada di persimpangan jalan.

"Sebenarnya tidak menjadi masalah jika Muhammadiyah terinspirasi oleh ajaran atau teori tauhid tertentu. Namun, sebagai organisasi pembaru, mestinya teori tauhid itu diterima secara kritis," katanya.

Menurut dia, ada dua jalan yang terbuka di hadapan Muhammadiyah, yakni mempertahankan puritanisme Wahabi yang mengarah kepada fundamentalisme atau menuju pembaruan.

"Bagi saya, Muhammadiyah akan menapak ke arah pembaruan jika `kembali ke khittah 1912` dengan mengembangkan teologi al-Ma`un yang merupakan tauhid sosial," katanya.(*)
(U.B015/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010