Yogyakarta (ANTARA News) - Sandal jepit dan songkok masih tetap melekat bagi warga Muhammadiyah yang ikut muktamar seabad organisasi Islam besar di Tanah Air tersebut.

Coba lihat, betapa bersahajanya peserta muktamar ketika menghadiri pembukaan kegiatan tersebut.

Bagi para pengembira, masih banyak yang datang dengan mengenakan sandal jepit, pakaian sederhana. Berbaju batik dan songkok hitam lusuh, membawa plastik kresek berisi minuman air putih dalam plastik kemasan menjadi pemandangan menarik sepanjang hari pertama dan kedua pada pelaksanaan Muktamar Seabad Muhammadiyah di Yogyakarta.

Sejumlah bus pariwisata penuh ikut memacetkan sejumlah ruas di kota Yogyakarta . Sampai-sampai sidang pleno di kampus Univeristas Muhammadiyah Yogyakarta pun sempat tertunda.

Semula panitia ingin melakukan efesiensi waktu, siding pleno dimajukan sehari lebih cepat. Nyatanya, setelah ditunggu lebih dari dua jam, ruang siding melompong alias kosong.

Kalaupun ada peserta yang datang, itu memaksakan diri setelah berjuang melawan kemacetan dan hujan deras.

Haedar Nashir, pimpinan sidang pleno, akhirnya memutuskan sidang tersebut dikembalikan seperti jadwal semula. Pelaksanaannya tetap berlangsung pada Ahad pagi, jam 08.00 WIB untuk memberi kesempatan kepada peserta siding agar seluruhnya datang.

"Karena tak memenuhui kuorum, dua pertiga dari seluruh peserta tak datang, sidang ditunda hingga esok?," katanya memberi penjelasan di atas podium.

Efek kemacetan di jantung kota Yogyakarta selain dirasakan bagi warga setempat juga bagi muktamirin yang ikut kegiatan mata acara pokok yang digelar di berbagai tempat di kota tersebut.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsudin, mengklaim ada sekitar sejuta warga Muhammadiyah tumplek ke Yogyakarta .

Hal itu sungguh luar biasa, karena jumlah penggembiranya jauh lebih besar ketimbang pesertanya sendiri. Lebih-lebih, pada saat pembukaan bertepatan dengan libur sekolah, yakni Sabtu dan Minggu.

Pada muktamar yang berlangsung pada 3 hingga 8 Juli 2008 memang bertepatan dengan liburan panjang anak sekolah. Banyak orangtua mencari sekolah bagi putra-putrinya di kota Gudeg yang juga dijuluki sebagai kota pelajar.

Oleh karena itu, jadilah warga kota Yogyakarta seolah dikejutkan dengan rezeki baru, dan sejumlah pebisnis ojek laris keras, walau kota tersebut termasuk daerah tujuan wisata populer di negeri ini.

Tarif ojek pun mendadak mahal. Tukang becak pun tidak mau kalah, menetapkan besarnya ongkos seenaknya. Sementara itu, bagi warga Muhammadiyah itu sendiri, utamanya wong cilik, Jogja merupakan arena rekreasi baru.

Menikmati pemandangan kemacetan kota dan banyaknya penggembira warga Muhammadiyah menjadi sesuatu hal yang mengasyikan.

Bagi alumni Universitas Gajah Mada (UGM), yang juga ikut kegiatan tersebut, maka muktamar dapat sekaligus dijadikan momen silaturahim. Beberapa tempat rumah makan pun diserbu menjadi tempat berkumpul, bernostalgia.

Selain itu, para pengembira muktamar juga terlihat berjalan bergerombolan di terotoar memberikan gambaran bahwa mereka adalah umat Muslim yang antusias memberi perhatian terhadap organisasi Islam tertua di Indonesia itu.

Dengan terseok-seok sambil menggendong anak, mengenakan sandal jepit, songkok dikenakan miring, mereka pun berjalan bergerombol di tepi jalan.

Kadang berhenti di tempat agak lapang, kadang ada pula meneruskan berjalan, dan sejumlah di antara mereka membicarakan pidato Din Syamsudin.

Mengenakan bahasa daerah, para penggembira itu ada yang merasa kagum dengan pidato Din Syamsudin. Ketika pembukaan, Din berpidato yang menurut para penggembira muktamar tidak kalah penampilannya dengan seorang menteri. Ada pula yang menyebut, itu pidato orang gedean sehingga memang harus begitu.

Para penggembira itu agaknya tidak paham secara persis substansi pidato ketua umum PP Muhammadiyah. Namun, di antara mereka para orangtua terlontar ucapan rasa kagum bahwa pemimpin Muhammadiyah, yang ketika berpidato mengenakan songko hitam, punya daya pikat lataknya Presiden RI pertama, Ir. Soekarno.

Terperangah

Di kampus Universitas Muhammadiyah (UMY), Sabtu petang, segerombolan ibu baru saja turun dari kendaraan keliling kampus. Bagi anak kampus, kendaraan derek kecil yang ditarik sebuah mobil induk seperti lokomotif dan dijuluki trans UMY itu, menjadikan sesuatu yang menarik bagi para penggembira.

Terutama para ibu. Di antara kelompok kaum hawa itu ada seorang ibu mengenakan kain kebaya sambil menggendong anaknya nampak lama memandangi kendaraan tersebut.

Setelah itu, matanya menatap lama gedung UMY yang berdiri di ruas jalan Lingkar Barat kota Yogyakarta itu. Gedung megah itu seolah dikaguminya dan beberapa kali menunjuk ke arah keliling gedung sambil bicara kepada anak yang berada di pelukannya.

"Gedungnya tinggi, tinggi," katanya berulang-ulang.

Tidak lama, datang rekannya menghampiri. Mereka pun meninggalkan halaman luas kampus tersebut.

Bagi warga Muhammadiyah yang memiliki uang, maka kehadirannya di kota pelajar itu dimanfaatkan sebagai ajang silaturahim.

Ibu Yetti, misalnya, yang datang mengenakan pesawat dari Kalimantan. Setibanya di Bandara Adi Sucipto langsung dijemput dan kemudian diantar ke salah satu hotel berbintang.

Setelah melakukan kontak bertelepon, sejumlah perjanjian pertemuan pun dengan cepat dijadwalkan. Usai menghadiri pembukaan, ia melakukan pertemuan dengan korps alumni yang sama-sama juga warga Muhammadiyah.

Usai acara tersebut, ia melakukan pertemuan dengan anggota keluarga di Yogya di salah satu rumah makan. Kemudian sejumlah acara telah menunggu, mulai pertemuan bisnis hingga kegiatan social yang harus diselesaikan sebelum bulan Ramadhan tiba.

"Saya berada di Bantul sekarang. Nanti kita ketemu lagi," katanya.

Berbeda dengan Muhammad Zainuri, salah seorang pengurus Muhammadiyah di bilangan Pulo Gadung Jakarta, kedatangan ke Yogyakarta selain untuk mengikuti kegiatan inti dari keseluruhan acara muktamar itu sendiri, disisi lain dijadikan ajang silaturahim.

Harap dimaklumi pula, pensiunan pegawai negeri dan alumni Univeritas Gajah Mada (UGM) ini kini banyak mengeluti dunia pendidikan. Tak heran pula, Zainuri banyak bertemu dengan rekan-rekannya untuk membahas dunia pendidikan dan dakwah.

Bagi Zainuri, isi pidato Din Syamsudin tak perlu dikomentari berlebihan. Apakah retorikanya seperti penampilan Presiden RI atau bukan.

Namun, baginya, yang penting bagaimana memajukan pendidikan di bawah panji-panji, bendera, Muhammadiyah yang belakangan ini mengalami tantangan cukup besar.

Tantangan

Bagi Muhammadiyah tantangan ke depan memang harus dijawab, seperti tatkala organisasi ini berdiri menghadapi sejumlah persoalan dari sekitarnya pada saat itu.

Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912, dalam prespektif sejarah, persyarikatan ini didirikan untuk mendukung usaha memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik.

Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha.

Organisasi ini sangat berperan dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu`allimin khusus laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu`allimaat Muhammadiyah khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta ).

Pada masa kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan- karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta , Pekalongan, dan Pekajangan, daerah Pekalongan sekarang.

Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam.

Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah makin bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.

Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia.

Kini, dalam memperingati seabad berdirinya organisasi Islam tertua di Tanah Air itu, sudah saatnya Muhammadiyah membuat cetak biru, bagi sejumlah program kerjanya ke depan.

Kaum "sandal jepit", bersongkok hitam yang masih setia menjadi anggota harus menjadi bagian perhatian untuk disejahterakan.

Terlebih, Muhammadiyah pun sudah harus menyiapkan buah pikiran yang sejalan dengan perkembangan zaman, arus globalisasi.
(T.E001*A025/P003)

Oleh Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010