Jakarta (ANTARA News) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta pemerintah dan DPR meninjau ulang Undang Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air atau lebih dikenal sebagai undang-undang privatisasi air karena dinilai tidak adil bagi masyarakat.

"Demi keadilan kita minta undang-undang privatisasi air ditinjau ulang," kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj usai membuka rapat kerja Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) NU sekaligus seminar bertajuk "Perubahan iklim, Penanggulangan Bencana dan Lingkungan di Indonesia" di Jakarta, Jumat.

Sebelumnya, di dalam forum tersebut, yang dihadiri antara lain Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim Rachmat Witoelar, CEO WWF Indonesia Efriansyah, Deputi Badan Penanggulangan Bencana Nasional Sugeng Tri Utomo, Direktur Bappenas Suprayoga Hadi, dan Ketua LPBINU Avianto Muhtadi, Said Aqil menyoroti privatisasi dan monopoli terhadap sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Padahal, lanjutnya, konstitusi negara, UUD 1945, mengamanatkan cabang-cabang produksi yang yang menguasai hajat hidup orang banyak, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Islam, kata Said Aqil, juga melarang keras penguasaan sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak oleh orang atau kelompok tertentu sehingga menyengsarakan yang lain.

"Dalam sabda Nabi disebutkan air, api, rumput atau kalau konteks sekarang air, energi, dan hutan dilarang dikuasi atau dimonopoli kelompok tertentu, dan kalau itu dilanggar maka akan timbul bencana," kata Said Aqil.

Menurutnya, sangat ironis jika masyarakat kesulitan mengakses air bersih, sementara ada kelompok tertentu yang menangguk keuntungan dari penguasaannya terhadap sumber air yang sejatinya menjadi milik bersama masyarakat.

"Jadi, imbauan kami untuk meninjau ulang aturan privatisasi air ini sama sekali bukan politis atau karena kepentingan tertentu, tetapi murni demi keadilan dan kepentingan masyarakat luas," kata Said Aqil.(*)

(S024/A041/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010