Surabaya (ANTARA News) - "Istilah 'Merdeka atau Mati' itu Bung Tomo yang pertama kali menyerukannya," begitu kata salah seorang pengamat sejarah dan sekaligus ketua Pancasila Center, Syafaruddin.

Begitu semangatnya istilah tersebut, sehingga menjadikan Bung Tomo adalah sosok yang tidak bisa ditawar, memiliki sifat tegar, keras, dan punya kepribadian yang kuat.

Bung Tomo yang lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920 pantas mendapatkan gelar pahlawan, karena memang dialah yang tampil sebagai pemimpin perlawanan terhadap Ultimatum Tentara Sekutu (Inggris) yang dikeluarkan Mayor Jenderal Mansergh dan memicu pertempuran selama lebih kurang satu bulan (27 Oktober ? 20 November 1945)

Perang yang sebagaimana diketahui tidak dapat dipisahkan dari asal usul dijadikannya 10 November sebagai Hari Pahlawan Nasional. Perang yang menimbulkan korban tidak sedikit di kedua belah pihak, Indonesia 16.000 dan Inggris 2.000.

Dalam perang tersebut ada seorang tokoh yang tentunya semua mengetahui mempunyai peran yang sangat penting membakar semangat para pemuda (arek-arek Suroboyo) saat itu, membakar semangat juang para pejuang untuk mempertahankan Tanah Air tercinta, Indonesia.

Menurut salah seorang pengamat Politik dan Sosial Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Airlangga Pribadi, ada beberapa hal yang menarik dari figur Bung Tomo yang patut diteladani oleh semua orang.

"Pertama, Bung Tomo adalah sosok yang memiliki karakter nasionalis religius yang sangat kuat, bahwa pembelaan beliau untuk berjuang mempertahankan keutuhan republik adalah manifestasi dari keimanannya kepada keyakinan agama," paparnya.

Faktor ini, lanjut dia, patut diteladani ketika saat ini mulai muncul fenomena fanatisme keagamaan yang antinasionalis dan eksklusif. Kedua, figur Bung Tomo adalah elite politik yang sangat dekat di hati rakyatnya, ada interaksi yang intens antara Bung Tomo dan rakyat, di mana hal ini terlihat mulai menghilang dalam perilaku elite politik saat ini.

"Terakhir adalah kesederhanaan hidupnya dan keluarganya, yang khas dari banyak karakter para pendiri republik, patut diteladani di tengah maraknya budaya koruptif di kalangan elit politik saat ini," ucapnya.

Hal sama juga diungkapkan pengamat komunikasi politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Suko Widodo. Ia mengatakan bahwa Bung Tomo, adalah sosok yang langka khususnya pada saat membebaskan belenggu kolonialisme pada saat penjajahan Belanda dan Jepang.

"Keberaniannya menentang kolonialisme patut diacungi jembol. Bahkan dia juga mampu menggerakkan arek-arek Suroboyo (para pemuda, red) untuk bersama-sama melawan penjajah," ujarnya.

Sifat kesederhanaan dan kesalehan Bung Tomo patut ditiru oleh generasi muda saat ini, yakni tidak memilih hidup di istana layaknya para presiden dan pejabat pemerintahan lainnya. Padahal Bung Tomo sendiri merupakan pahlawan besar yang sudah sepantasnya mendapatkan penghargaan yang layak.

"Namun, Bung Tomo lebih memilih untuk hidup sederhana di Surabaya berkumpul dengan masyarakat," katanya.

Sikap egaliternya tersebut yang jarang ditemukan pada saat ini. Bahkan rasa memahami dan menghargai sesama manusia saat ini sudah mulai menurun.

"Kalau di Surabaya, urusanmu, ya, urusanmu. Urusanku, ya, urusanku. Faktor `fair` sudah tidak ada," katanya.

Nyaris Tanpa Pahlawan
Meskipun sejak 10 November 1945 Surabaya terkenal sebagai Kota Pahlawan, tidak banyak yang tahu bahwa kota ini tidak mempunyai pahlawan nasional yang diakui pemerintah.

Setidaknya, ketiadaan pahlawan itu berlangsung sampai 7 November 2008, ketika pada akhirnya pemerintah mengakui dan menyatakan bahwa Bung Tomo, tokoh penting perlawanan arek-arek Suroboyo melawan Sekutu, adalah pahlawan nasional.

Sungguh penantian amat lama. Dengan demikian, sekarang Surabaya sempurna disebut sebagai Kota Pahlawan karena sudah memiliki pahlawan nasional yang diakui pemerintah.

Proses untuk bisa mendapat gelar pahlawan nasional bagi Bung Tomo cukup lama. Lebih terasa aneh karena untuk mendapat gelar pahlawan nasional harus ada "yang meminta" atau mengajukan dengan sejumlah prosedur yang ruwet.

Tampaknya, para birokrat di Departemen Sosial (saat ini Kementerian Sosial) yang dipimpin Menteri Bachtiar Chamsyah saat itu berpendapat, semakin sulit dan rumit semakin baik. Akibatnya, Bung Tomo yang peranannya dalam berjuang melawan sekutu sudah sangat jelas kesulitan mendapat pengakuan tersebut.

Di zaman Presiden Soeharto, pengajuan pengakuan kepahlawanan Bung Tomo pernah ditolak karena syarat-syarat "administratifnya" tidak lengkap. Namun, akhirnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan pengakuan kepada Bung Tomo sebagai pahlawan nasional.

Memang, di Indonesia ini sangat aneh. Untuk diakui sebagai pahlawan nasional perlu "sponsor". Tim yang menjadi sponsor inilah yang mengurus segala macam tetek bengek agar tokoh yang disponsorinya diakui sebagai pahlawan.

Dengan demikian, memang bukan urusan mudah untuk memperjuangkan gelar kepahlawanan nasional, meski perjuangannya sudah sangat terang benderang seperti Bung Tomo.

Misalnya, perlu ada seminar, penerbitan buku hasil penelitian bahwa seseorang yang diusulkan itu mempunyai nilai kepahlawanan dalam perjuangannya. Selain itu, harus mampu meyakinkan DPRD setempat agar mengeluarkan rekomendasi kepahlawanan seseorang.

Namun semua itu akhirnya bisa dilalui, sehingga warga Kota Surabaya pantas bersyukur dan bergembira dengan keputusan pemerintah itu. Sebab, dengan demikian, perjuangan berdarah yang penuh pengorbanan dan air mata almarhum Bung Tomo secara resmi diakui negara.

Biografi
Sutomo pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, ia menjadi staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahaan ekspor-impor Belanda.

Ia juga pernah bekerja sebagai polisi di kota Praja dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan menjadi distributor untuk perusahaan mesin jahit "Singer".

Pada usia 12 tahun, Sutomo meninggalkan pendidikannya di MULO karena ia harus melakukan berbagai pekerjaan untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga. Kemudian ia menyelesaikan pendidikan HBS melalui korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.

Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Pada usia 17 tahun, ia berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat "Pandu Garuda".

Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis. Kemudian ia bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Ia terpilih pada tahun 1944 menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru.

Bulan Oktober dan November 1945, ia berusaha membangkitkan semangat rakyat pada saat Surabaya diserang oleh tentara NICA dengan seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radio yang penuh dengan emosi.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Sutomo pernah aktif dalam politik pada tahun 1950-an. Namun pada awal tahun 1970-an, ia berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Ia berbicara keras terhadap program-program Presiden Soeharto sehingga pada 11 April 1978 ia ditahan oleh pemerintah selama setahun karena kritik-kritiknya yang keras.

Pada tanggal 7 Oktober 1981, Sutomo meninggal dunia di Makkah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke Indonesia dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel, Surabaya.
(A052*C004/Z002)

Oleh Abdul Hakim
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010