Jakarta (ANTARA News) - Sejarawan JJ Rizal menilai, terlalu banyak otobiografi maupun biografi yang beredar di toko buku lebih menampilkan sifat narsis atau memuja diri sendiri secara berlebihan dari sosok yang ditulis, karena hanya menampilkan satu sudut pandang untuk banyak hal.

"Sifat narsis ini di satu sisi dapat dianggap bagus karena memang penulisan biografi cenderung hanya bercerita satu sisi saja, tetapi narsis bercerita dan foto yang ditampilkan bisa merusak rekonstruksi sejarah," katanya dalam diskusi serial bulanan (Diserbu) "Afternoon Tea - Indonesia Spirit" tentang "Kebudayaan Merdeka, Beretika Nasional" di Canteen, Plaza Indonesia, Jakarta, Jumat.

Dalam acara yang diprakarsai Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) bersama Metro TV dan Djarum Bakti Budaya itu, Rizal yang alumni Universitas Indonesia (UI) Depok itu mencontohkan, sangat banyak biografi yang selama ini beredar menampilkan foto sosok arau figur seseorang secara berlebihan.

"Banyak yang fotonya ditampilkan ibarat para pahlawan atau mitos dewa, yang bagian wajah dan sekitarnya dibuat terang, sehingga terkesan ada aura tertentu. Banyak juga yang mengaku sebagai pelaku sejarah, namun detil ceritanya sulit dikonfirmasi sebagai catatan bersejarah. Ini bisa menjerumuskan kesejarahan, tapi ini pula risiko sejarah," ujar pendiri Komunitas Bambu yang banyak bergerak di dunia sastra dan penerbitan.

Pendiri penerbitan Masup Jakarta, yang sebagian besar mengenai referensi dan catatan sejarah tentang kota Jakarta, ini berpendapat bahwa perlu ada rekonstruksi penulisan sejarah yang lebih komprehensif dari berbagai sudut pandang, dan jujur dalam mengungkapkan fakta sesungguhnya yang juga dari banyak sisi.

"Hanya saja, saya merasakan di kalangan sejarawan sendiri tidak kompak karena masing-masing ingin mengklaim sejarah dari sudut pandangnya sendiri. Padahal, sejarah yang ditafsirkan keliru bisa berakibat terhadap karakter berbangsa dan bernegara yang keliru pula," ujarnya menambahkan.

Ayu Utami, novelis yang mengawali karir sebagai wartawan, menimpali pendapat Rizal dengan komentar bahwa sejarah yang berkembang di Indonesia lebih banyak menghasilkan makna hanya ada dua pihak saja, yakni pihak pemenang melawan yang kalah, atau pihak benar melawan yang kalah.

"Misalnya, babak sejarah nasional kita hanya dibagi dua, yakni babak pra-kemerdekaan dengan pasca-kemerdekaan. Penjajah, seperti Belanda adalah penjajah yang salah, sedangkan pejuang Indonesia adalah penegak kebenaran hakiki," katanya.

Penulis novel "Saman", "Bilangan Fu" dan "Larung" itu menegaskan, "Hal ini berakibat seakan-akan Belanda membawa semua pengaruh buruk di negeri ini. Akibatnya, kita menjadi bangsa yang hanya menyalahkan pihak lain, dan kurang berani mengakui kebaikan pihak yang dianggap berseberangan."

Oleh karena itu, Ayu mengemukakan, mengajukan telaah dalam berbagai hal secara kritis. "Saya ajukan telaah spiritual kritis, berpikir kritis, dan bersikap pun harus kritis. Kita harus akui pula hidup dalam bagian sejarah. Tapi, sejarah pun harus dimaknai secara kritis karena kita hidup dalam kekinian dan menuju masa depan," katanya.

Ayu pun berargumentasi, setiap generasi pola berpikirnya juga sulit dilepaskan dari temuan teknologi informasi dalam aktivitas sosialnya. "Saat ini cermin budaya dan etika dalam generasi muda adalah tidak pernah mau sepakat untuk hanya di satu sisi. Mereka kritis, berani berdu pendapat, namun berani untuk saling menghormati," ujarnya.

Dalam hal ini, menurut Ayu, konstruksi kebudayaan dan etika harusnya ibarat bermusik yang harus disadari semakin indah dengan melibatkan banyak alat musik, namun iramanya fokus pada nada-nada yang disepakati bersama.

"Filosofi bermusik ini jauh lebih mencerahkan dibanding sedikit-sedikit membuat produk hukum untuk mengatasi masalah," demikian Ayu Utami.

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010