Kupang (ANTARA) - Anggota DPD RI Abraham Paul Lyanto mengatakan, sikap Persiden Susilo Bambang Yudhoyono yang lebih memilih diplomasi ketimbang konfrontasi terbuka dalam menyelesaikan konflik di perairan Selat Malaka antara Indonesia-Malaysia merupakan pilihan yang tepat.

"Pilihan tersebut tepat karena sudah dipertimbangkan secara matang dengan prinsip dan komitmen dalam kerangka ASEAN termasuk dunia internasional," katanya ketika dihubungi dari Kupang, Kamis, malam, terkait pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Mabes TNI Jakarta, Rabu malam.

Menurut dia, apabila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus memilih solusi konfrontasi terhadap Malaysia seperti yang diinginkan sebagian masyarakat Indonesia, maka ke depan sikap serupa juga harus dilakukan terhadap Singapura, Philipina, Papua Newguine dan Timor Leste yang saat ini masih dalam proses perundingan batas wilayah, apabila tidak mencapai kata sepakat.

"Sebagai negara yang cinta akan perdamaian dunia, pilihan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah tepat, meskipun tidak menyenangkan banyak komponen anak bangsa di Republik ini, tetapi itulah yang terbaik untuk saat ini, sehingga sebagai warga negara yang baik harus berbesar hati untuk menerima dan menghormati putusan tersebut," katanya.

Ia menegaskan tidak sulit untuk melakukan konfrotasi terbuka dengan negara asing di dunia ini, apalagi dengan negara-negara ASEAN, karena dari berbagai perhitungan kekuatan apabila harus perang melawan Malaysia, Indonesia unggul dalam hal jumlah dan kekuatan personil TNI, peralatan perang dan lainnya, namun bukanlah yang mendesak dan bukan pula satu-satunya solusi terakhir.

Karena masih ada jalan lain terbaik yang harus ditempuh seperti perundingan dan diplomasi yang lebih keras terhadap siapapun dari negara manapun yang mencoba menganggu kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Secara pribadi saya harus jujur mengakui bahwa pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kurang tegas dan kurang berani berdiplomasi untuk bergaining dengan Malaysia, sehingga martabat kita dimata Malaysia tambah puruk, terutama TKI/TKW yang mengadu nasib di negeri Jiran itu, pasti lebih tidak dihargai lagi di mata masyarakat Malaysia," katanya.

Namun Lyanto yang juga Ketua Asosiasi Jasa Pengusaha tenga Kerja Indonesia (APJATI) Nusa Tenggara Timur ini, mengatakan martabat dan harga diri sebuah bangsa tidak sekedar diukur dengan memilih konfrontasi terbuka untuk menelesaikan sebuah permasalah serumit apapun.

"Martabat dan harga diri sebuah bangsa juga dapat diukur melalui sikap simpati terhadap setiap bangsa dalam menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi termasuk dengan menghadapi Malaysia saat ini," katanya.

Dan menurut Lyanto Indonesia harus menunjukkan kepada dunia internasional bahwa meskipun sudah sering disakiti pihak asing seperti Malaysia, namun pilihan perundingan dalam menyelesaikan setiap sengeketa batas wilayah darat dan laut merupakan pilihan bangsa yang bermartabat untuk saat ini.

"Sebagai bangsa yang bermartabat, kita harus menunujukkan kepada dunia luar bahwa Indonesia adalah bangsa yang komitmen dengan berbagai kesepaktan yang telah dibuat bersama untuk kepentingan yang lebih besar lagi pada waktu-waktu yang akan datang," katanya.

Ia mengatakan sependapat dengan Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, yang menepis anggapan sementara kalangan di dalam negeri bahwa menempuh jalur diplomasi formal untuk mengentaskan perselisihan dengan Malaysia adalah kelemahan.

Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, pada kesempatan memimpin gelegasi Indonesia dalam Pertemuan Bersama Menteri Ketujuh Indonesia-Thailand, di Nusa Dua, Bali, Kamis, mengimbau semua pihak terutama yang berada di dalam negeri Indonesia untuk tidak dicampuradukkan seolah dengan menempuh diplomasi itu kita lemah, justru itu menunjukkan kekuatan kita dengan argumentasi yang kuat," katanya.

Pada situasi ini memerlukan kebersamaan sehingga semua pihak merasakan hal sama, atau tidak ada perbedaan sama sekali. Akan tetapi, semua itu harus dikanalisasi menjadi energi positif.

"Diplomasi bukan bentuk kelemahan, justru kekuatan argumentasi kita. Perbedaan pandangan lumrah, tapi jangan diwujudkan dengan cara yang tidak bersahabat," katanya.

Dia menjelaskan beberapa langkah yang dibebankan negara kepada kementerian luar negeri diantaranya agenda perundingan di Kota Kinabalu, Negara Bagian Sabah, Malaysia, pada 6 September nanti akan membahas lagi masalah perbatasan kedua negara. (ANT-084/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010