Jakarta (ANTARA News) - Pakar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana mengatakan, keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membatalkan kunjungan kenegaraan ke Belanda bisa menjadi preseden buruk bagi pemimpin Indonesia di masa depan.

"Penundaan (kunjungan-red) ke Belanda merupakan preseden buruk, tidak hanya untuk SBY yang saat ini menjadi kepala negara, tetapi juga mereka yang akan menjabat di kemudian hari," kata Hikmahanto di Jakarta, Selasa.

Hikmahanto menjelaskan, penundaan kali ini bisa dimaknai sebagai pesan bagi para pemberontak untuk menggunakan instrumen hukum dalam menyatakan sikap atau pemikiran mereka.

"Para pemberontak saat ini tidak lagi menggunakan kekerasan tetapi menggalang simpati, menggunakan proses hukum dan lain-lain yang bersifat non-kekerasan dalam memperjuangkan ide-idenya," kata Hikmahanto.

Menurut Hikmahanto, jika presiden tetap berkunjung ke Belanda dan akhirnya ada putusan hukum, maka yang dipermalukan adalah pemerintah Belanda.

"Bahkan publik Indonesia akan membela presiden yang dipermalukan oleh pemerintah Belanda karena gagal menjamin kekebalan dan keselamatan tamunya," kata Hikmahanto.

Seperti diberitakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan untuk membatalkan berangkat Belanda untuk melakukan kunjungan kenegaraan yang direncanakan berlangsung sejak 5-9 Oktober 2010, dan menundanya sampai waktu yang belum bisa ditentukan.

"Sebelum saya berangkat, saya memantau hari-hari terakhir ada semacam pergerakan di Den Haag yang akan mengajukan tuntutan pengadilan di Den Haag untuk permasalahan HAM di Indonesia dan bahkan untuk menuntut penangkapan Presiden Indonesia ketika di Belanda," katanya Yudhoyono dalam pernyataan resmi di ruang VIP Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa.

Menurut Presiden, penundaan itu adalah upaya menjaga harga diri bangsa.

"Bagi Indonesia, bagi saya, kalau sampai seperti itu, digelar pengadilan saat saya berkunjung ke sana, itu menyangkut harga diri kita sebagai bangsa, menyangkut kehormatan kita sebagai bangsa," kata Presiden.(*)
(F008/R009))

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010