Auckland (ANTARA News) - Jumat (8/19) itu kami seharian berjalan kaki di Auckland, kota besar di Selandia Baru selain ibukota Wellington, mengurus beberapa keperluan berkait rencana putra tercinta, Fikar Rizky Mohammad alias Ikang, sekolah di sini. Mengunjungi kampusnya dan memeriksa beberapa apartemen bakal tempat dia tinggal.

Semua pasti tahu bagaimana kasih Ibu sepanjang masa, dan itu pula yang dilakukan Mamanya Ikang yang sangat perlu memastikan soal kenyamanan dan keamanan puteranya mau sekolah jauh dari rumah di Jakarta.

Akumulasi jarak yang kami tempuh mungkin sekitar 15 kilometer berjalan kaki, namun nyaman sekali. Hanya terasa berat kalau menempuh jalan berbukit. Waduh, nafas seperti mau putus.

Hal paling berat saat itu, kami kehilangan shalat Jumat, pertama kalinya dalam puluhan tahun belakangan ini. Martinus, sahabat yang juga memandu, tidak tahu lokasi masjid tepatnya di mana. Mungkin itulah satu di antara sedikit hal yang luput dari perhatian Martinus.

Dia bilang, "Mana orang Auckland perduli agama Pak! Lihat saja gereja hanya ada berapa biji di sini. Satu yang kita lihat tadi itu dipelihara dan dipertahankan lebih karena bangunannya bernilai sejarah, dibangun ratusan tahun lalu."

Saya terperangah. Lalu dari mana masyarakat memperoleh ajaran sampai perilakunya sehari-hari amat Pancasilais, jujur, adil, menghormati hak asasi manusia (HAM), yang merefleksikan masyarakat taat pada nilai-nilai agama, moral, dan kemanusia? Kepedulian pemerintah terhadap warganya juga amat tinggi.


Di negeri berdekatan dengan Kutub Selatan itu, jika ada penduduknya tidak memiliki pekerjaan atau penghasilannya kurang, maka per orang mendapat santunan 200 dolar Selandia Baru (New Zealand Dollar/NZD) per minggu. Bayangkan kalau saja anggota keluarganya lima orang seluruhnya, maka santunannya 200 NZD dikalikan lima pula.

Wanita yang baru melahirkan, dan karenanya dia terpaksa berhenti bekerja untuk memenuhi harapan mengurus anaknya secara baik, termasuk tentu supaya dapat menyusui bayinya selama dua tahun, dapat santunan dobel. Pertama, santunan karena tidak bekerja. Kedua, santunan (mungkin lebih tepat namanya imbalan) karena mengurus anaknya.

Kalau sampai nanti hidupnya masih payah, dan anaknya sudah berusia lima tahun, maka negara akan menjemput anak yang sudah usia sekolah itu untuk disekolahkan. Wajib sekolah yang puluhan tahun telah dicetuskan pemerintah Indonesia jika seperti itu praktiknya, maka niscaya dalam 30 tahun kita bisa menyelesaikan bengkalai bangsa Indonesia. Saya membatin, kayaknya bangsa Indonesia lebih butuh tinggal di Auckland dan pemerintah seperti itu deh.

Martinus Lay (51) memutuskan ke Auckland pada waktu tabungan dolarnya untuk sekolah anak menyusut akibat depresiasi rupiah pada tahun 1998. Ia pernah kuliah di kota ini, maka dia memiliki informasi lengkap.

Dia pun mengajukan tempat tinggal tetap (Permanent Residence/PR) melalui Internet. Tiga bulan kemudian permohonannya disetujui. Dua anaknya, satu usia sekolah menengah umum (SMU), satu lagi usia mahasiswa bisa mengenyam pendidikan gratis di sekolah negeri/pemerintah Selandia Baru.

Cerita Martinus, mula-mula anaknya berontak, minta pulang karena "nggak" betah tidak punya kawan. Tetapi, belakangan kedua anaknya berterima kasih, dan meminta maaf lantaran dulu mengira dibuang sama Bapaknya jauh ke negeri orang.

Anak-anaknya kini penuh percaya diri menjadi warga dunia, teman bergaulnya berbagai ras yang sering dijuluki unggul, yakni Inggris, Australia (Aussie), Jepang (Nippon) dan China. Mereka tidak mau lagi memanfaatkan waktu liburnya mudik ke tanah air.

Ketika makan malam bersama, saya memperhatikan mereka cas cis cus dengan dua anak saya, Ikang dan Nona. Mereka pergi ke berbagai sudut kampus Universitas Auckland membuktikan gembar-gembor mengenai keunggulan perguruan tinggi tersebut. Pulang-pulang saya juga yang repot, karena Nona --sang adik Ikang-- juga berharap tiga tahun mendatang bisa berkuliah juga di Aukland.

Martinus tinggal di Volt Apartement di pusat kota. Dia membeli apartemen tersebut dengan harga sangat murah untuk ukuran negeri tersebut. Apartemen itu waktu diluncurkan (lauching) pada 2006 harganya per unit untuk luas 45 meter persegi (m2) senilai 450 ribu NZD. Dia membeli pada waktu di Selandia Baru tengah terjadi resesi ekonomi beberapa tahun lalu, dengan harga tinggal 25 persen atau hitungannya tidak sampai Rp1 miliar.

Membeli apartemen di Selandia Baru seperti kita berasosiasi dalam koperasi. Pemilik apartemen setiap tahun mengembalikan kelebihan "hasil usaha" menjual listrik kepada penghuni. Namun dipastikan, hanya sekitar sepuluh sampai duapuluh persen saja yang mau menerima. Sisanya, dalam jumlah besar tidak mengambil.

Adakah itu berarti pemilik apartemen akan mengantongi hasil usaha tersebut? Ternyata, tidak. Mereka juga merasa tak pantas terlalu banyak mengantongi keuntungan. Maka, disalurkan lah sisa usaha itu ke lembaga sosial. Dari situlah tampaknya, antara lain sumber dana santunan yang disalurkan kepada warga yang tak mampu.

Saya kemarin mendatangi kantor pelayanan sosial yang dibawahi oleh Bagian Departemen Bina Sosial di Selandia Baru. Kantor itu tampang lengang, hanya sedikit orang yang datang ke situ. Menurut Martinus memang tidak sebanyak orang yang kita bayangkan memanfaatkan dana tersebut. Ada yang karena gengsi, tetapi tentu lebih banyak karena golongan tidak mampunya memang sedikit.

Padahal, iklan program itu disebar ke mana-mana, dicetak amat luks. Kayaknya nggak efektif ya? Maaf, lagi-lagi saya membatin, lembaga itu lebih tepat di Indonesia. Seluruh orang Indonesia pasti amat butuh negeri dan pemerintah seperti yang ada di Selandia Baru.

Saya di Auckland sampai Senin (11/10) untuk menuntaskan pengenalan terhadap kota ini. Beruntung saya dapat pesawat Airbus A-380-800 milik Emirates ke Sydney. Pesawat baru berbadan lebar dan bertubuh tambun ini saya juga pernah coba waktu ke Jepang dua tahun lalu. Menakjubkan, dengan tubuh sebesar apartemen Senayan City itu bisa terbang amat lembut, dan membuat kita serasa di dalam rumah saja tahu-tahu sampai di negeri orang.

Singapore Airlines (SQ) pengguna pertama pesawat itu. Waktu SQ melakukan penerbangan perdana ke Sydney, Australia, tiketnya dijual puluhan juta per kursi (seat). Peristiwa itu diberitakan luas oleh media massa dunia.

Harga tiket Auckland- Sydney, 260 NZD. Sekitar Rp1,6 juta. Hampir sama dengan harga tiket Jakarta- Makassar. Bahkan, lebih murah dari tiket Qantas dengan pesawat B737-800 seharga Rp2,2 juta. Apalagi, kalau dibandingkan dengan penerbangan Emirates dengan pesawat sama sehari sebelumnya, hari Minggu, jurusan yang sama, mencapai 990 NZD atau sekitar Rp6 juta.

Ini lagi, Pancasilais saya temui di negeri orang. Mungkin kita ingat Pancasila hanya dua kali, 1 Juni yang disebut hari lahirnya dan 1 Oktober hari kesaktiannya. Sedangkan, orang seperti di Auckland, Selandia Baru, kok malah menerapkannya setiap hari ya?

*) H. Ilham Bintang (ilhambintangmail@yahoo.co.id, ilhambintang@cekricek.co.id, twitter: @ilham_bintang) adalah Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Pemimpin Redaksi Tabloid Cek&Ricek (C&R).

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010