Jakarta (ANTARA News) - Staf Khusus Presiden RI untuk Perubahan Iklim Agus Purnomo menegaskan tidak ada kolonialisme ekologi atau eco colonialism di Indonesia terkait nota kesepahaman (MoU) Indonesia-Norwegia tentang perubahan iklim.

Hal tersebut diungkapkan Agus Purnomo menanggapi pernyataan Dosen Luar Biasa Universitas Lancang Kuning, Riau, Prof Dr Jonotoro, yang mengatakan kampanye penyelamatan lingkungan yang dibalut misi perdagangan karbon sarat kepentingan asing yang dikenal dengan eco colonialism.

"Istilah Neo Colonialism digunakan apabila kita melakukannya tanpa keinginan sendiri dan juga tidak untuk bermanfaat untuk kita, seperti tanam paksa di jaman Belanda yang hasilnya untuk Belanda," kata Agus Purnomo yang lebih akrab dipanggil Pungki.

Tetapi dalam konteks penyelamatan bumi terkait perubahan iklim, dia menjelaskan Indonesia merupakan negara yang sangat rentan terhadap masalah yang timbul akibat perubahan iklim, seperti rentan pangan dan makin banyaknya bencana alam.

"Jadi upaya penguranangan emisi karbon dilakukan untuk kita sendiri. Kita menjaga lahan gambut untuk kepentingan Indonesia," tegasnya.

Pungki menjelaskan lahan gambut apabila dimanfaatkan akan memakan biaya lebih tinggi dibandingkan memanfaatkan lahan kering.

"Kita akan cari lahan kering rusak yang jumlahnya 35 juta hektare untuk dijadikan lahyan produktif seperti untuk perkebunan kayu, perkebunan kelapa sawit dan sebagainya," ujarnya.

Ia menambahkan dalam waktu dekat Kementerian Kehutanan akan mengeluarkan peta yang berisi lahan kering dan rusak yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produktif.

Sebelumnya seorang pakar gambut berpendapat, maraknya kampanye penyelamatan lingkungan yang dibalut misi perdagangan karbon sarat kepentingan asing yang dikenal dengan eco colonialism.

"Perdagangan karbon yang terjadi saat ini merupakan bentuk penjajahan baru ekologi, atau yang disebut eco colonialism," ujar pakar gambut, Prof Dr Jonotoro, dalam diskusi peringatan 30 tahun Walhi, di Taman Kota Pekanbaru, Minggu (17/10).

Dosen luar biasa Universitas Lancang Kuning, Riau itu menjelaskan, negara maju telah berhasil menekan Indonesia melakukan penyelamatan hutan terutama hutan rawa gambut yang masih tersisa dengan iming-iming dana bantuan.

Dengan imbalan 1 miliar dolar AS, maka pemerintah Indonesia melakukan penandatanganan Letter of Intent dengan Norwegia, di Oslo, pada 26 Mei 2010 dan sepakat melakukan moratorium (penghentian) penebangan hutan.

Karena itu, lanjutnya, pemerintah Indonesia harus bersikap hati-hati dalam menyikapi berbagai bantuan baik dalam bentuk pinjaman atau hibah dana asing dalam perdagangan karbon.

(N006/D009/S026)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010