Kupang (ANTARA News) - Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni mengatakan dispersant yang disemprotkan ke Laut Timor oleh Otorita Keselamatan Maritim Australia (AMSA) untuk menenggelamkan tumpahan minyak Montara adalah jenis bubuk kimia yang paling berbahaya di dunia.

Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) mengemukakan hal ini di Kupang, Minggu, mengutip hasil sidang Senat Australia dengan AMSA (Australia Maritime Safety Authority) yang diselenggarakan di Canberra, pekan lalu.

L embaga swadaya masyarakat (LSM)yang dipimpin Tanoni ini merupakan satu-satunya LSM di Indonesia yang mengajukan gugatan ke komisi penyelidik independen Australia beberapa saat setelah sumur minyak Montara meledak di Blok Atlas Barat yang kemudian mencemari Laut Timor pada 21 Agustus 2009.

Ia menambahkan Senat Australia juga meminta YPTB untuk menyampaikan tanggapan atas penggunaan dispersant tersebut untuk disampaikan dalam sidang senat Australia dengan pihak AMSA.

Surat setebal 20 halaman untuk menyampaikan tanggapan itu diterimanya dari markas Partai Hijau Australia di Canberra .

"Kami langsung menanggapinya dengan melampirkan bukti-bukti penyemprotan dispersant di perairan Indonesia dan dikirim melalui surat elektronik pada hari Jumat (22/10) lalu ke markas Partai Hijau Australia di Canberra," katanya.

Ia menambahkan dalam sidang Senat Australia dengan pihak AMSA itu terungkap pula bahwa jenis dispersant yang digunakan AMSA telah dilarang oleh negara-negara lain di dunia, karena tingkat keracunannya sangat tinggi.

Mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia itu mengharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat menyampaikan persoalan ini kepada Perdana Menteri Australia Julia Gillard dalam kunjungannya ke Indonesia pada 1-2 November 2010.

Ia juga mengharapkan perlu segera dibentuk tim peneliti independen sebagaimana klaim yang telah disampaikan YPTB kepada PM Julia Gillard dan PTTEP Australasia, yang tembusannya juga telah disampaikan kepada Presiden SBY di Jakarta.

Tim peneliti independen dimaksud terdiri dari pemerintah Indonesia, Australia, PTTEP Australasia serta masyarakat NTT yang diwakili YPTB serta jaringan dan aliansinya.

"Ini persoalan kemanusiaan yang cukup serius, karena sejak AMSA menemgelamkan minyak dengan menyemprotkan dispersant jenis berbahaya itu, para pengkonsumsi ikan di Nusa Tenggara Timur yang bersumber dari Laut Timor sudah banyak yang keracunan dan ada pula yang meninggal dunia," katanya.

Berdasarkan catatan YPTB, korban yang tewas akibat mengkonsumsi ikan dasar laut setelah penyemprotan dispersant sebanyak delapan orang, sedang yang keracunan sekitar 30 orang.

Penulis buku "Skandal Laut Timor Sebuah Barter Ekonomi Politik antara Canberra-Jakarta" itu mengatakan jenis dispersant berbahaya itu terbukti dalam waktu 95 jam saja setelah penyemprotan, langsung membunuh ikan-ikan besar.

Menurut pengakuan AMSA dalam menjawab pertanyaan Senator Rachel Siewert dari Partai Hijau Australia di depan sidang Senat Australia di Canberra bahwa mereka menggunakan 184.113 liter bubuk kimia dispersant yang terdiri dari tujuh jenis yakni Tergo-R 40, Slickgone LTSW, Shell VDC, Corexit EC9500, Slickgone NS, Ardrox 6120 dan Corexit EC9527A.

Namun menurut para ahli lingkungan di Australia bubuk kimia yang disemprotkan tersebut sesungguhnya jauh lebih banyak dari apa yang diungkapkan oleh AMSA dalam sidangnya dengan Senat Australia.

Tanoni mengatakan yang paling menarik dari tumpahan minyak Montara dan penyemprotan bubuk kimia dispersant berbahaya ini, tidak membawa dampak buruk sedikitpun terhadap perairan dan pantai-pantai di Australia Barat dan Utara.

Hal ini terjadi karena pada saat terjadinya ledakan Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor, arus angin dan arus air bawah Laut Timor sedang kencang-kencang berputar dari arah selatan ke utara menuju perairan Indonesia.

Sehubungan dengan fakta-fakta yang terungkap ini Tanoni menyatakan bahwa tuntutan ganti rugi kompensasi sebesar Rp22 triliun dari pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Masnellyarti Hilman itu, belum tentu juga akan dibayar oleh operator ladang minyak Montara, PTTEP Australasia.

"Saya berpendapat, apa yang diklaim pemerintah Indonesia terkait dengan pencemaran minyak, sudah tidak relevan lagi dengan fakta sesungguhnya yang terjadi di Laut Timor. Rasanya, klaim yang diajukan itu sudah tidak relevan dan tidak penting lagi untuk dilanjutkan," kata Tanoni.

Hal ini terjadi karena masalah penyemprotan bubuk kimia dispersant yang sangat beracun di Laut Timor, tidak diprioritaskan oleh pemerintah Indonesia, melainkan masalah tumpahan minyak mentah, gas dan kondensat di perairan Indonesia di Laut Timor.

"Yang paling dibutuhkan saat ini adalah sebuah riset ilmiah yang harus didanai oleh Pemerintah Federal Australia dan PTTEP Australasia dengan membentuk sebuah tim bersama yang terdiri dari Pemerintah Australia, Indonesia, PTTEP Australasia serta masyarakat yang diwakili oleh YPTB dan jaringan serta aliansinya," kata Tanoni.

Tujuan dari riset ilmiah ini untuk mengukur secara ilmiah dampak tumpahan minyak mentah, gas dan kondensat serta bubuk kimia dispersant terhadap lingkungan, ekonomi dan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi ikan dan biota laut lainnya dari Laut Timor, Sabu, Flores dan Sumba.

Pengalaman telah menunjunjukkan bahwa penggunaan jenis dispersant yang sama digunakan di Laut Alaska pada tahun 1989 untuk menanggulangi tumpahan minyak Exxon Valdez berakibat fatal terhadap lingkungan dan makhluk hidup termasuk kesehatan manusia.

Hal ini dibuktikan dengan adanya laporan dari daerah Cordova pesisir Prince William Sound Laut Alaska bahwa sejak 7 hingga 20 tahun kemudian setelah penyemprotan dispersant telah menimbulkan berbagai macam penyakit mulai dari pusing-pusing,mual,lemah saraf akut hingga kanker dan usia rata-rata penduduk di sana berkurang dari 72 tahun menjadi hanya 52-55 tahun saja.

"Inilah yang harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia, karena dampaknya sangat besar bagi anak cucu rakyat Nusa Tenggara Timur yang mengkonsumsi ikan dari Laut Timor," demikian Ferdi Tanoni.
(T.ANT-084/L003/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010