Jakarta (ANTARA News) - Heboh bencana alam berskala besar yang menimpa Indonesia berbarengan dalam waktu yang sama. Semuanya di bulan Oktober 2010. Bermula dari banjir bandang di Wasior 4 Oktober akibat luapan Sungai Batang Salai yang membelah kota dan membuat luluh lantak ratusan rumah dan fasilitas umum. Ibukota Kabupaten Teluk Wondama, Wasior, di Provinsi Papua Barat, itu remuk.

Korban meninggal kurang lebih 87 orang, luka-luka 837, puluhan orang masih dicari. Kemudian letusan Gunung Merapi di Yogyakarta 26 Oktober yang menewaskan juru kuncinya Mbah Marijan dan puluhan warga penduduk.Memporak porandakan desa Kinahrejo,Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.

Bersamaan dengan itu terjadi tsunami di Mentawai, Sumatera Barat, yang berskala 7.2 Skala Richter (SR) menghantam Pagai Selatan. Menelan korban meninggal dunia  kurang lebih 400 orang hampir sama banyaknya yang hilang.

Membicarakan akibat yang ditinggalkan bencana alam, maka yang kita saksikan adalah kerusakan di mana-mana: lingkungan, infrastruktur, manusia, ternak, kehidupan  dan tumpukan pengungsi yang panik dan kacau balau. Ibarat teater tragis kemanusiaan sangat mengiris-iris  perasaan.

Di dalam situasi yang sangat memprihatinkan dan bersifat serentak itu, manusia secara alamiah menyatu dalam dua kutub pikiran: meminta pertolongan dan memberi pertolongan.

Ketika berbicara mengenai sisi pemberi pertolongan, sosok negara tampil sebagai sasaran utama. Keterampilan negara memang digugat. Timbunan kekecewaan atas penanganan korban dan lokasi bencana alam yang dinilai kurang sigap melebar ke media masa.

Opini terbentuk, pemerintah dinyatakan lamban. Padahal, dari sisi negara dikatakan segala daya upaya dan standar prosudur tetap sudah dijalankan.

Konflik citra terjadi. Kambing hitam bermunculan. Pembelaan diri oleh negara tetap tidak menentramkan masyarakat pembutuh pertolongan. Yang dipersoalkan adalah bukan hanya respons fisik dalam bentuk sejumlah mie instan, air mineral  dan alat berat.

Yang ditagih adalah rasa empati pejabat negara. Tumpukan kekecewaan  masyarakat menggunung menjadi headline sebuah koran nasional papan atas berjudul: Rakyat Lebih Gesit.
 
Empati

Di saat bangsa ini dilanda duka nestapa oleh rentetan bencana alam yang mengenaskan, ada kepala daerah dan sejumlah anggota DPR secara tenangnya berangkat studi banding ke lberbagai negara. Tindakan para wakil rakyat dirasakan sangat menusuk hati rakyat yang menderita. Alasan demi alasan dikemukakan wakil rakyat itu untuk menguatkan diri mereka. Namun, ketika dihadapkan kepada masalah empati dan etika peradaban, maka apapun alasannya memang sulit diterima.

Lantas ke mana saja perginya sang rasa yang bernama empati itu dari hati wakil rakyat? Bukankah sebagai pejabat negara, kebutuhan hidup mereka sudah terlayani dan sumbernya dari pajak rakyat.

Bisakah dikatakan bahwa seperangkat materi kenyamanan yang diberikan kepada wakil rakyat, justru membuat mereka malah tidak mengenali penderitaan rakyatnya. Malahan membuat hati nurani mereka buta tuli alias mati rasa. Suatu anomali yang serius. Mereka seperti tengah mengidap penyakit jiwa alias psychopat. Jenis  psikis ini dapat disebut sebagai bencana alam dalam bentuk lain.

Sebagai pejabat negara dan diperkuat dengan label wakil rakyat, tentu saja di dalamnya melekat amanat yang luhur dari rakyat, yang memerlukan perhatian dan pelayanan dari wakilnya yang telah digajinya.

Jika sikap wakil rakyat tidak memperlihatkan rasa empati, maka wajar jika timbul reaksi mengecam perilaku yang tidak pantas itu. Rakyat nyaris putus asa menyaksikan perilaku wakilnya jauh dari semestinya. Hujatan dan tekanan dari media dan para pengamat yang menganalogikan perilaku itu sebagai defisit etika, tetap tidak membuat wakil rakyat itu sadar diri. 
           
Tokoh panutan

Akibat sikap ketidakpedulian wakil rakyat membuat masyarakat mulai mencari perbandingan dari tokoh di sekitar masyarakat. Baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Ruang kosong inilah yang diisi oleh sikap dan perilaku almarhum Mbah Marijan. Konsistensi dan empatinya menjadi bahan pembicaraan.

Ketika manusia dilanda duka, apalagi bencana, jiwanya yang terguncang membutuhkan pegangan. Hidup yang semula tenang tenteram, tiba-tiba ambruk dan kehilangan kenyamanan baik jiwa maupun fisik. Perhatian, simpati dan uluran tangan yang konkret ditunggu.

Naluri kemanusiaan yang mengalir dari mata air empati yang dalam sangat dirindukan. Tentunya dari mereka yang dalam poisisi berkemampuan. Manejemen negara memang sudah memiliki program paket penanggulangan bencana. Akan tetapi perasaan trauma itu juga tidak kalah penting untuk dipulihkan.

Wakil rakyat seyogyanya hadir di tengah warga yang terkena bencana. Kehadirannya akan sangat mulia manakala pada saat bencana terjadi, maka selayaknya wakil rakyat menunjukkan jiwa kepemimpinannya dengan menunda perjalanan ke luar negeri.

Mengalihkan dana itu untuk korban bencana.Membuang waktunya yang berharga mendatangi dan tidur bersama pengungsi. Memimpin gerakan tanggap darurat di lokasi pengungsian.

Dengan empati itu, maka rakyat betul-betul merasakan arti penting keberadaan wakilnya. Wakil rakyat akan tercatat sebagai pemimpin yang rela mengorbankan  secara ikhlas kenyamanannya. Menyatu dengan korban membangun semangat yang ambruk.

Wakil rakyat seharusnya mempertontonkan hakekat orang pilihan yang sesungguhnya: wakil rakyat mendekap  rakyat yang sedang dalam kedukaan lahir dan batin.

Sikap dan perilaku yang mulia Itu sebenarnya yang sangat dibutuhkan. Wakil rakyat hendaknya menghayati bahwa, pelayanan kepada rakyat bukan semata-mata memperjoangkan dana aspirasi, membangun infrastruktur dan sekolahan di pedesaan. Akan tetapi, wakil rakyat juga harus bisa membangun infrastruktur bersifat rohaniah sebagai jembatan komunikasi batin, antara dirinya dengan rakyat.

Pertanyaannya, jika Mbah Marijan saja tanpa jabatan negara, tanpa seperangkat fasilitas, mampu membangun jembatan batin dan merebut tempat di hati siapa saja, mengapa wakil rakyat tidak bisa! Kita pun mulai was-was. Jangan-jangan adanya sikap keras kepala wakil rakyat, yang terkesan anti rakyat, memang benar-benar adalah bencana alam dalam bentuk lain. (*)
 
Zainal Bintang (bintang1246@yahoo.com) adalah Wartawan Senior, Penasehat Ahli Tabloid Cek&Ricek (C&R).

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010