Seoul (ANTARA News) - China berada di bawah tekanan internasional untuk melunakkan sekutunya Korea Utara setelah negara ini melancarkan serangan sepihak terhadap Korea Selatan, sementara Amerika Serikat berusaha mendinginkan suasana di kawasan yang secara ekonomi sangat kuat itu.

Amerika Serikat bahkan telah mengirimkan kapal induk bertenaga nuklir USS George Washington ke Semenanjung Korea. Kapal induk ini membawa 75 pesawat tempur dan berawak sekitar 6.000 orang.

Kapal induk ini telah meninggalkan pangkalannya di selatan Tokyo Rabu pagi tadi untuk bergabung dengan militer Korea Selatan dalam latihan militer bersama sampai Rabu pekan mendatang.

"Latihan ini sifatnya defensif...untuk menunjukkan kekuatan aliansi Republik Korea dan Amerika Serikat dan komitmen kami dalam menciptakan stabilitas kawasan melalui deterens (kekuatan pencegahan)," demikian militer AS di Korea Selatan seperti dikutip Reuters.

Serangan artileri kemarin ke sebuah pulau milik Korea Selatan ini telah menewaskan dua tentara, sekaligus memaksa sejumlah penduduk mengungsi dan mendorong aksi lepas saham di bursa efek Seoul dan mata uang won di perdagangan luar negeri.

Apa Yang Akan Terjadi?

Berondongan tembakan yang terjadi Selasa kemarin itu adalah bombardemen terdahsyat di Korea Selatan sejak Perang Korea berakhir tahun 1953.

Ketegangan terus memuncak di kawasan ini, namun itu jauh dari menandakan awal dari konflik yang meluas yang bisa memicu konfrontasi militer besar-besaran antar kedua Korea.

Selama beberapa dekade, Korea Utara menerapkan strategi mendapatkan konsesi dari komunitas internasional melalui provokasi berkala namun dengan hati-hati mengatur itu tidak sampai menaikkan ketegangan geopolitik tanpa menimbulkan perang skala luas.

Provokasi selama beberapa tahun terakhir adalah termasuk dua uji coba senjata nuklir, sejumlah uji peluru kendali, dan penenggelaman satu kapal perang Korea Selatan pada Maret lalu yang menewaskan 46 pelaut.

Serangan terakhir kemarin kemungkinan berkaitan dengan strategi menarik konsesi dari masyarakat internasional itu.

Alih-alih mengirimkan isyarat yang lebih agresif pada beberapa hari mendatang untuk menaikkan suhu geopolitis, konflik itu sepertinya akan dilanjutkan oleh periode yang relatif tenang atau bahkan munculnya prakarsa dari Pyongyang untuk lebih banyak lagi diadakan pembicaraan damai.

Korea Utara tidak bernafsu untuk masuk ke konflik besar. Kekuatan militer Korea Selatan dan Amerika Serikat jauh lebih lengkap dibandingkan angkatan bersenjata Korea Utara yang senjatanya tua-tua yang hanya punya sedikit bahan bakar untuk menerbangkan pesawat-pesawat tempurnya.

Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak bersumpah akan melancarkan serangan balasan yang keras, namun Seoul sebenarnya tidak berhasrat terjun ke konflik yang lebih serius.

Kendati Korea Utara pastinya akan kalah perang, negara ini mampu menciptakan bencana perang yang hebat ke Korea Selatan dengan kekuatan artilerinya yang unggul.

Respons Korea Selatan akan sangat terkendali seperti yang ditunjukkannya saat menghadapi penenggalaman kapal perang Cheonan.

Mengapa Sekarang?

Ada beberapa alasan mengapa militer Korea Utara melancarkan bombardeman artileri Selasa itu.

Korea Selatan menggelar latihan militer di kawasan itu dan mengklaim sedang melakukan uji coba tembakan.

Ini kemudian ditafsirkan oleh militer Korea Utara bahwa negaranya berada dalam ancaman serangan dan kemudian melancarkan serangan pemusnahan.

Pyongyang menganggap latihan militer Korea Selatan dengan amat gelisah karena takut manuver itu menjadi awal untuk sebuah serangan sungguhan. Beberapa tahun terakhir Korea Utara bereaksi dengan penuh angkara terhadap latihan-latihan militer yang digelar Korea Selatan, terutama manakala militer AS terlibat di dalamnya.

Peristiwa-peristiwa yang berlaku di pekan terakhir menunjukkan Korea Utara kembali mencoba memprovokasi komunitas internasional untuk mendapatkan konsesi-konsesi.

Korea Utara mengakui mencapai kemajuan besar dalam program pengayaan uraniumnya, yang memberi negeri itu sebuah tahap kedua untuk sampai membuat bom nuklir.

Keputusan Pyongyang mempertontonkan kemajuan teknologisnya ke para ilmuwan Barat dan berbarengan dengan serangan Selasa itu, kemungkinan merupakan strategi menakut-nakuti Korea Selatan dan sekutunya sehingga mereka memperlunak sanksi ke Korea Utara atau memulai lagi pembicaraan damai dan perlucutan senjata.

Faktor terakhir yang mungkin memainkan bagian dari insiden itu adalah bahwa Korea Utara telah memasuki satu priode transisi kepemimpinan.

Para pertemuan partai penguasa negeri itu September lalu, Kim Jong-il menunjuk putra termudanya untuk menempati posisi kunci, sebuah langkah yang dipandang bahwa Kim akan menjadi pemimpin Korea Selatan selanjutnya.

Kim diketahui luas menderita penyakit setelah diserang stroke pada 2008, dan ini yang membuatnya mempercepat suksesi kepemimpinan.

Namun anaknya, Kim Jong-un, terlalu muda dan tidak memiliki basis dukungan yang kuat, serta selalu ada risiko dari tokoh-tokoh kuat di militer dan pemerintahan untuk memutuskan inilah saatnya untuk mengambilalih kekuasaan.

Perekonomian Korea Utara bergerak dari buruk menjadi lebih buruk, yang adalah salah satu faktor yang membuat ketidakstabilan dan ketidakpuasan di dalam negeri.

Insiden Selasa kemarin dan serangan Cheonan March lalu kemungkinan adalah upaya untuk memperkokoh kesatuan di tubuh elite Korea Utara dengan memfokuskan perhatian pada musuh dari luar negeri atau bahkan jalan yang memuluskan langkah Kim Jong-un memimpin militer negeri itu.

Atau mungkin juga serangan itu dilancarkan oleh unsur-unsur garis keras dalam militer Korea Utara tanpa sepengetahuan dan persetujuan Kim Jong-il.

"Karena terus-terusan berada pada masa transisi kepemimpian di Korea Utara, ada rumor-rumor mengenai ketidakpuasan dalam tubuh militer, dan aksi terakhir lalu kemungkinan membuktikan ada miskomunikasi atau lebih buruk lagi dari itu, dalam struktur komando militer Korea Utara, atau ketidakkompakkan dalam kepemimpinan Korea Utara," kata perusahaan analisis risiko geopolitik Stratfor, dalam komentarnya, Selasa.

Reaksi Pasar

Harga saham di bursa Asia, Rabu ini jatuh, sementara euro mencatat nilai terendah dalam dua bulan terakhir terhadap dolar AS, dipicu oleh aksi lepas saham besar-besaran setelah insiden penembakan di Korea itu. Investor kini mengamankan modal dalam dolar AS.

Harga saham di bursa Korea Selatan dan pasar obligasi justru merangsek karena investor asing berusaha memburu aset lokal menyusul serangan artileri Korea Utara ke Korea Selatan yang menciptakan panik di pasar keuangan.

Mata uang won melemah sekitar 0,7 persen, sedangkan harga saham di Korea Selatan dan tetangganya Jepang, berada dalam kinerja buruk yang merefleksikan seriusnya serangan Korea Utara itu.

Indeks KOSPI yang ditutup beberapa saat sebelum serangan Korea Utara itu turun 0,7 persen namun masih jauh dari rekor terendahnya di perdagangan hari itu.

Saham-saham produk makanan dan perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan peralatan militer, tampak melempem.

Frekuensi alih saham naik lebih dari tiga jam untuk ditutup pada nilai kapitalisasi 4,7 triliun, hapir tigaperempat rata-rata alih saham per hari bulan lalu yang mencapai 6,5 triliun won.

Murahnya ekuitas Korea, industri yang tetap sangat kompetitif dan surplus perdagangan yang tinggi, membuat investor asing dan investor institusional memburu Korea, kata para analis.

Kendati di bawah ancaman kontrol modal yang ketat, asset-asset Korea amat diminati investor.

Di pasar kredit, obligasi Korea diperdagangkan naik di mana obligasi cds (credit default swaps) berjangka lima tahun yang secara mendasar dijamin dari default (gagal bayar), berada pada 97/99 basis poin dibandingkan dengan level yang lebih lebar pada Selasa di 107 selama perdagangan New York.

Pasar asset Korea Selatan menguat dipicu oleh provokasi Pyongyang. Pasar ini cenderung hanya sekali menderita kejatuhan sebagai respons dari serangan Korea Utara.

Todd Martin, analis dari Societe Generale, Hong Kong, mengatakan bahwa Korea adalah pasar Asia termenarik kedua setelah Jepang.

Namun kini risiko aksi lepas saham tidak bisa dihindarkan lagi. April lalu, ketika Seoul menyalahkan Korea Utara karena serangan Cheonan, para investor yang panik melepas asset-asset Korea.

Meski begitu, aksi investor kini masih berada di batas kewajaran, meskti di tengah ancaman munculnya konfrontasi luar Utara-Selatan.

Apa Risikonya?

Risiko terbesar adalah bahwa masa transisi kepemimpinan Korea Utara dan masalah ekonomi membuat kepemimpinan makin berisiko mengingat provokasi telah jauh berkembang dari sebelumnya, dan bisa menjadi di luar kendali.

Karena kondisi kesehatan Kim tidak menentu dan masa depan anaknya belum bisa dipastikan, ketegangan terselubung di Semenanjung Korea selama berdekade-dekade mungkin bisa diurai.

Meski kedua belah pihak tidak menginginkan perang, selalu ada risiko bahwa kesalahpahaman atau miskalkulasi akan mengantarkan kedua negara ke konflik yang tak terhindarkan.

Risiko besar lainnya yang dihadapi Korea Selatan adalah apa langkah selanjutnya jika rezim Korea Utara akhirnya tumbang.

Skenario ini ditakutkan oleh banyak pengambil kebijakan di kawasan Asia Timur karena ongkos ekonominya sangat besar sehingga bisa tiba-tiba menciptakan kekacauan dalam reunifikasi dua Korea di kawasan itu. (*)

Reuters/Jafar Sidik

Penerjemah: Jafar M Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010