Yogyakarta (ANTARA News) - Realokasi anggaran dari sejumlah kementerian dan lembaga untuk program padat karya guna memberikan tambahan penghasilan bagi warga masyarakat terdampak erupsi Gunung Merapi sebesar Rp551 miliar lebih.

"Untuk keperluan `cash for work` masyarakat terdampak letusan Merapi mencapai Rp551,769 miliar, dan mungkin masih akan terus bertambah," kata Ketua Tim Pemulihan Kegiatan Ekonomi Masyarakat di Lokasi Bencana Sujana Royat, di Posko Bencana Merapi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Yogyakarta, Jumat.

Ia mengatakan tujuan dari program `cash for work` atau semacam program padat karya ini adalah memberikan tambahan penghasilan kepada masyarakat terdampak letusan Gunung Merapi agar bisa dimanfaatkan sebagai modal kerja atau keperluan lainnya.

Menurut dia, seluruh kementerian dan lembaga harus turun tangan membantu program itu sesuai dengan arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada rapat kabinet beberapa waktu lalu.

Jenis kegiatan yang akan dilakukan untuk program "cash for work" tersebut, kata dia pada dasarnya ditentukan oleh kementerian atau lembaga terkait, namun tidak menutup kemungkinan berdasarkan usulan dan kebutuhan dari masyarakat yang terkena dampak letusan Merapi, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Berdasarkan data hingga Jumat siang, Kementerian Pendidikan Nasional telah merealokasikan dana sebesar Rp299,646 miliar, Kementerian Kelautan dan Perikanan sebesar Rp6,9 miliar, Kementerian Perumahan Rakyat menyiapkan dana Rp2,616 miliar untuk penanggulangan bencana, dan Rp177,4 miliar untuk keperluan perumahan.

Ia mencontohkan, Kementerian Pendidikan Nasional bisa melakukan program rehabilitasi sekolah yang rusak atau pembersihan sekolah dari abu vulkanik dengan melibatkan masyarakat.

Selain itu, sejumlah kementerian seperti Kementerian Pekerjaan Umum juga telah menyiapkan dana sebesar Rp12 miliar, Direktorat Jenderal Cipta Karya menyiapkan dana Rp20 miliar, Kementerian Sosial sebesar Rp15 miliar dan BNPB sebesar Rp9 miliar.

Selain bisa memberikan tambahan penghasilan kepada masyarakat terdampak letusan Gunung Merapi, melalui program tersebut juga akan bisa mengembalikan fungsi standar dari sarana dan prasarana umum sesuai sektor kerja dari kementerian dan lembaga.

Program "cash for work" tersebut, menurut dia mengadopsi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, termasuk dari sisi upah yang diberikan kepada masyarakat yang mengikuti program itu.

Upah yang diberikan kepada masyarakat yang mengikuti "cash for work" adalah Rp30.000 per hari untuk pekerja yang tidak memiliki keahlian dan Rp50.000 - Rp70.000 per hari untuk pekerja dengan keahlian.

Sujana mengatakan, upah tersebut harus dibayarkan setiap hari, karena belum tentu masyarakat terdampak letusan Gunung Merapi bisa mengikuti program tersebut secara terus menerus setiap hari.

Ia mengatakan, program `cash for work` tersebut akan dilakukan hingga 31 April 2011," katanya, dan menurut dia paling lambat program itu sudah dapat dilakukan pada 1 Desember 2010.

"Sebenarnya, sudah ada kementerian yang memulai program ini, yaitu menyelamatkan pohon salak dengan di Kecamatan Srumbung Magelang seluas 2.500 hektare," katanya.



Tambahan untuk tanggap darurat

Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta akan mendapat tambahan dana tanggap darurat bencana erupsi Gunung Merapi sebesar Rp28 miliar dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

"Dana tambahan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu akan digunakan untuk program penyelamatan dan pemulihan kegiatan hidup maupun ekonomi masyarakat pascaerupsi Merapi," kata Sekretaris Daerah (Sekda) DIY Tri Harjun Ismaji di Yogyakarta, Jumat.

Ia mengatakan, dana tambahan itu juga akan digunakan untuk mewujudkan infrastruktur pendukung yang banyak mengalami kerusakan.

Selain itu, menurut dia, juga akan digunakan untuk membangun "shelter" atau tempat hunian sementara, memotong batang tanaman salak yang rusak agar tidak busuk dan bisa diselamatkan, pemulihan lingkungan yang terkena dampak abu vulkanik, dan akses penyediaan air bersih.

"Dengan demikian, ketika warga korban bencana erupsi Gunung Merapi kembali dari pengungsian, daerahnya sudah dalam kondisi bersih dan sehat," katanya.

Ia mengatakan, pembangunan "shelter" untuk warga korban bencana erupsi Merapi saat ini masih dilakukan berdasarkan kebutuhan. Data yang ada menunjukkan akan dibangun 2.526 "shelter" di wilayah Sleman.

"Shelter" bagi warga korban bencana erupsi Merapi, menurut dia, akan dibangun sesuai dengan kebutuhan. Jumlah "shelter" nanti akan ditambah atau tidak itu tergantung hasil verifikasi yang tentunya membutuhkan waktu.

Ditanya mengenai total dana yang digunakan selama masa tanggap darurat awal, ia mengatakan belum dihitung karena banyak pihak yang terlibat memberikan bantuan dan banyak titik pengungsi yang tersebar.

"Kami belum selesai menghitung. Namun, masa tanggap darurat diperpanjang hingga 9 Desember 2010, sehingga kami tetap akan menggunakan dana tanggap darurat untuk menyiapkan kebutuhan ekonomi masyarakat," katanya.



Perikanan rugi Rp301 juta

Sementara itu, Dinas Kelautan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyatakan akibat letusan Merapi sektor perikanan budi daya di daerah ini rugi Rp301,024 juta.

"Paling sedikit ada 30 petani ikan yang terkena imbas letusan Gunung Merapi dengan luasan budi daya ikan mencapai 15 hektare," kata Kepala Dinas Kelautan Perikanan dan Kelautan (Kepenak) Kulon Progo Sabar Widodo, di Wates, Jumat.

Ia mengatakan budi daya ikan yang paling besar kerugiannya di wilayah bagian utara yakni Kecamatan Kalibawang, Samigaluh, sebagian Girimulyo dan sebagian Kecamatan Nanggulan.

"Kami saat ini terus melakukan pendataan jumlah kerugian dan luas budidaya ikan yang mengalami kerugian. Untuk semantara, total kerugian mencapai Rp301,024 juta," katanya.

Menurut dia, kerugian paling besar dialami budidaya ikan gurami yang mencapai Rp167,615 juta dan kemudian disusul dengan kerugian budidaya ikan lele sebesar Rp96,904 juta.

"Jumlah kerugian ini masih akan bertambah, karena masih banyak pembudiya yang belum lapor dan masuk dalam data," katanya.

Ia mengatakan abu vulkanik Merapi menyebabkan air kolam menjadi asam, dan menyebabkan insang ikan tertutup abu, sehingga mati. Akibatnya, banyak ikan yang siap panen atau baru saja dibudidayakan mati.

"Abu vulkanik berpengaruh pada keasaman air di kolam, dan lumpurnya menyumbat insang ikan, hingga akhirnya ikan mati," katanya.

Menurut dia, instansinya belum mengambil sikap atas kerugian pembudiya ikan, karena tidak adanya ketersediaan dana, meski demikian pihaknya akan melaporkan kejadian ini ke pemerintah provinsi dan pusat.

"Mengenai ganti rugi, tergantung kebijakan pemerintah pusat dan provinsi, kalau pemerintah Kabupaten Kulon Progo tidak bisa berbuat banyak selain membantu mengusulkan ganti rugi," katanya.



Pariwisata rugi Rp1,4 miliar

Kerugian sektor pariwisata di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, akibat erupsi Gunung Merapi diperkirakan mencapai Rp1,4 miliar per bulan.

"Kerugian sektor pariwisata tersebut dihitung dari kerusakan fasilitas serta hilangnya potensi pendapatan dari tiga wilayah kecamatan di Kabupaten Sleman yang merupakan kawasan wisata, yaitu Turi, Pakem dan Kecamatan Pakem," kata Kepala Bidang Pengembangan Pariwisata Dinas Kebudayaa dan Pariwisata Kabupaten Sleman Shavitri Nurmala Dewi, di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, objek wisata di tiga wilayah kecamatan yaitu Turi memiliki kebun agrowisata salak pondoh, di Pakem ada objek wisata Kaliurang, dan desa wisata yang rusak.

Begitu pula dengan di Kecamatan Cangkringan ada beberapa desa wisata yang rusak berat akibat awan panas Gunung Merapi," katanya.

Ia mengatakan di kawasan objek wisata Kaliurang yang rusak parah adalah hutan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang mencapai 75-80 persen.

Selain itu, usaha wisata di antaranya museum Ullen Sentalu, dan kawasan Telogo Putri.

Di Kaliurang ada sekitar 234 pondok wisata, sepuluh hotel berbintang, serta 120 warung dan restoran yang otomatis tidak menghasilkan akibat erupsi Merapi.

Sedangkan di Kepuharjo ada sejumlah desa wisata yang memiliki sekitar 60 pondok wisata yang dikelola warga desa setempat.

"Diperkirakan memerlukan waktu minimal enam bulan untuk mengidentifikasi dan membuat langkah ke depan untuk menghidupkan kembali sektor pariwisata di kawasan lereng Gununung Merapi," katanya.

Menurut dia, pemulihan pariwisata di kawasan lereng Merapi di antaranya harus melihat kemungkinan yaitu areal objek wisata di kawasan atas tidak rusak dan tidak bertentangan dengan kebijakan aparat kemananan mengenai zona bahaya Merapi.

"Sedangkan realisasi pemulihan pariwisata di kaki Merapi melalui tahapan yaitu status Merapi dinyatakan turun dulu, aktivitas aman untuk wisatawan, dan kawasan bisa dibenahi," katanya.

Ia mengatakan pihaknya perlu melakukan identifikasi kembali daerah-daerah yang layak untuk kawasan wisata.

Selain itu, pihaknya juga tidak serta merta menjadikan daerah yang terkena erupsi Merapi untuk objek wisata.

"Kami harus menimbang rasa dari warga setempat yang desanya hancur oleh erupsi Merapi. Jika nanti tetap menjadikan kawasan tersebut menjadi objek wisata, harus seizin warga setempat, sekaligus pengelolaannya bekerja sama dengan mereka," kata Shavitri.



"Shelter" mulai dibangun

Personel TNI Angkatan Darat Densibang Korem 072 Pamungkas Yogyakarta, Jumat mulai membersihkan untuk menyiapkan pembangunan "shelter" atau rumah hunian sementara korban bencana letusan Gunung Merapi di Dusun Punthuk, Kowang, Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.

"Rencananya di atas tanah kas Desa Argomulyo seluas 2,5 hektare ini akan dibangun 285 unit `shelter` untuk korban bencana letusan Gunung Merapi yang berasal dari Desa Argomulyo Kecamatan Cangkringan," kata Pelaksana Teknis Pembangunan "Shelter" Densibang Korem 072 Pamungkas, Sutarjan, Jumat.

Menurut dia, pada tahap pertama di lokasi tersebut akan dibangun 50 unit "shelter" dengan target waktu pengerjaan selama 15 hari yang dimulai pada Rabu (1/12).

"Hari ini hingga dengan 30 November pengerjaan baru meratakan tanah dengan alat berat, sedangkan pembangunan `shelter` baru akan dikerjakan mulai 1 Desember selama 15 hari. Saat ini bahan baku pembangunan `shelter` juga belum dikirim," katanya.

Ia mengatakan, nantinya "shelter" yang akan dibangun ukuran dan bahan bakunya disesuaikan dengan acuan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yakni seluas 36 meter persegi atau 6 meter x 6 meter dengan bahan baku utama bambu.

"Satu unit rumah akan dikerjakan lima personel TNI siang dan malam selama 15 hari," katanya. Sedangkan lokasi pembangunan "shelter" di dusun Punthuk Kowang merupakan areal persawahan tanah kas desa Argomulyo.

"Di lokasi tersebut dinilai memungkinkan didirikan rumah huniah sementara karena tidak jauh dari permukiman penduduk dan ketersediaan airnya cukup. Jarak dengan dengan Gunung Merapi juga dinilai aman sekitar 15 kilometer dari puncak Gunung Merapi," katanya.

Koordinator Alat Berat Mayor Agung mengatakan untuk meratakan tanah menggunakan dua alat berat yang didatangkan langsung dari Sipur (Seni Tempur) Banyubiru Ambarawa Jawa Tengah.

"Dua alat yakni `buldozer` untuk meratakan tanah dan satu alat lagi berfungsi mengangkat benda-benda berat," katanya.

Camat Cangkringan Samsul Bakri mengatakan 258 unit "shelter" berdasarkan jumlah kepala keluarga yang terkena bencana erupsi merapi yang berasal dari dusun Argomulyo seperti dari Dusun Bakalan, Gadingan, Suruh, Banaran, Bronggang dan lainnya yang masuk wilayah desa Argomulyo Cangkringan.

"Lokasi di Dusun Punthuk ini memang yang dipilih karena paling sesuai, jumlah `shelter` yang akan dibangun 258 unit yang didasarkan jumlah kepala keluarga yang butuh hunian sementara karena tempat tinggal mereka rusak parah akibat terkena lahar panas Merapi," katanya.



Dilengkapi sekolah darurat

Setiap lokasi pembangunan "shelter" atau hunian sementara warga yang kehilangan tempat tinggal akibat letusan Gunung Merapi akan dilengkapi dengan fasilitas sekolah darurat.

"Kami akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) agar setiap lokasi pembangunan `shelter` dilengkapi fasilitas sekolah sehingga kegiatan belajar mengajar tetap berjalan," kata Kepala Bidang Perencanaan dan Standarisasi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Baskara Aji, di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, fasilitas sekolah darurat tersebut akan ditujukan untuk jenjang taman kanak-kanak dan sekolah dasar.

"Di kawasan rawan bencana (KRB) III, tidak ada sekolah menengah pertama dan atas sehingga siswa masih bisa meneruskan kegiatan belajarnya di sekolah asal," kata Baskara.

BNPB berencana melakukan pembangunan "shelter" di enam lokasi, yaitu di Dusun Plosokerep Desa Umbulharjo, Dusun Pagerjurang di Desa Kepuharjo, Dusun Banjarsari di Desa Glagaharjo, Dusun Kowang di Desa Wukirsari, Dusun Gondang di Desa Argomulyo dan di Dusun Bimomartani Desa Sindumartani.

"Khusus untuk di Dusun Banjarsari, kemungkinan dibutuhkan dua sekolah darurat, karena jumlah siswa di lokasi tersebut kemungkinan cukup banyak, sedangkan di Desa Sindumartani kemungkinan tidak membutuhkan sekolah darurat karena jumlah siswanya sedikit sehingga masih bisa dititipkan di sekolah lain," ujarnya.

Di KRB III, kata dia, tercatat terdapat 28 sekolah dasar dan juga taman kanak-kanak yang mengalami kerusakan, sementara itu di KRB II terdapat 12 sekolah dasar dan taman kanak-kanak yang kotor karena tertutup pasir serta dua SMK di dekat alur sungai yaitu SMK Muhammadiyah Cangkringan dan SMK I Cangkringan.

Seperti halnya "shelter", lanjut Baskara, fasilitas sekolah bersifat sementara dan siswa bisa kembali ke sekolah asal saat rumah dan sekolah mereka yang rusak telah selesai dibangun.

"Guru-guru yang akan mengajar di sekolah darurat tersebut akan diambilkan dari guru-guru yang sekolahnya mengalami kerusakan, sehingga diharapkan kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung dalam kondisi yang tetap baik," katanya.

Baskara mengatakan untuk sekolah yang berada di luar radius bahaya yaitu 10 kilometer di sisi barat Kali Boyong dan 15 km di sisi timur Kali Boyong sudah kembali berjalan normal.

"Sekolah-sekolah tersebut biasanya hanya kotor karena terkena abu vulkanik, sehingga hanya perlu dibersihkan agar bisa kembali digunakan. Sekarang kegiatan belajar mengajar sudah normal," katanya.

Khusus untuk SMK I Cangkringan yang berada dekat dengan sungai, kegiatan belajar mengajar untuk sementara dipindahkan ke P4TK Seni Budaya.

"Siswa-siswa sekolah pun mendapatkan pendampingan psikologis agar bisa menghilangkan trauma yang mereka hadapi akibat bencana letusan Gunung Merapi," katanya.

Baskara mengatakan, saat ini memang masih ada siswa yang ikut belajar di sejumlah sekolah lain dan guru tetap diminta untuk memberikan perhatian lebih besar kepada siswa-siswa tersebut.

"Jika ada tindakan dari guru atau warga sekolah lain yang justru membuat siswa tersebut tersudutkan, sebaiknya langsung melaporkan ke kami agar bisa ditindaklanjuti," katanya.

Sementara itu, menanggapi keinginan dari orang tua siswa terkait keringanan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN), Baskara mengatakan bahwa pelaksanaan UN tidak perlu dirisaukan karena waktunya masih cukup lama dan dirasa cukup untuk melakukan persiapan.

"Pada pengalaman gempa bumi 2006 lalu, siswa masih bisa mengikuti UN dengan baik dan diharapkan hal itu juga bisa dilakukan oleh siswa-siswa di Sleman," katanya.

Berdasarkan data dari BNPB, jumlah pengungsi di DIY mencapai 47.217 yang berada di 237 lokasi pengungsian.



73 sekolah kemungkinan direlokaksi

Sebanyak 73 sekolah dari berbagai jenjang yang berada di Kabupaten Sleman direkomendasikan untuk direlokasi karena berada di kawasan rawan bahaya 0-10 kilometer dari puncak Gunung Merapi.

"Sejumlah sekolah di kawasan rawan bencana tersebut ada yang mengalami kerusakan cukup parah sehingga tidak mungkin untuk digunakan lagi. Bahkan ada sekolah yang sudah hilang tersapu lahar Merapi sehingga harus direlokasi," kata Koordinator Penanganan Bencana Merapi Bidang Pendidikan Wilayah DIY dari Kementerian Pendidikan Nasional Harmanto di Yogyakarta, Jumat.

Sekolah yang direkomendasikan untuk direlokasi sebagian besar adalah pada jenjang taman kanak-kanak sebanyak 30 sekolah dan sekolah dasar sebanyak 32 sekolah.

Sementara itu, sekolah menengah pertama yang direkomendasikan untuk direlokasi berjumlah tujuh sekolah, sekolah menengah atas satu sekolah, sekolah menengah kejuruan dua sekolah dan sekolah luar biasa satu sekolah.

"Namun demikian, kami belum bisa memberikan lokasi alternatif untuk pembangunan sekolah baru, nanti akan dikoordinasikan lebih lanjut," katanya.

Sebagai upaya untuk terus menjembatani terlaksananya kegiatan belajar mengajar untuk siswa yang menjadi korban letusan Gunung Merapi, lanjut dia, siswa untuk sementara masih dititipkan di sekolah-sekolah terdekat dari lokasi pengungsian.

Pascaerupsi besar Merapi pada 5 November, jumlah guru yang menjadi pengungsi mencapai 1.882 orang dengan jumlah siswa sebanyak 18.345 orang.

"Di setiap `shelter` juga akan dilengkapi dengan sekolah, khususnya TK dan SD, sedang untuk siswa SMP dan SMA akan diikutkan ke sekolah yang telah ditunjuk oleh pemerintah daerah setempat," katanya.

Selain merekomendasikan relokasi puluhan sekolah yang berada di kawasan rawan bahaya, Harmanto mengatakan, Kementerian Pendidikan Nasional juga telah menyiapkan dana sebesar Rp527,692 miliar untuk keperluan penanganan pendidikan pascaerupsi Gunung Merapi.

Namun, lanjut dia, pencairan dana tersebut masih membutuhkan payung hukum dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat.

"Dana sekitar setengah triliun rupiah tersebut berasal dari berbagai macam pos anggaran, namun belum tentu kebutuhan di lapangan sesuai dengan pos anggaran yang telah ditetapkan," katanya.

Oleh karena itu, kata Harmanto, diperlukan payung hukum dari dua kementerian tersebut agar dana tersebut dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan di lapangan, tidak terpaku pada pos anggaran yang ditetapkan.

Ia berharap, payung hukum tersebut dapat segera disahkan, sehingga seluruh kebutuhan untuk pendidikan dapat dilaksanakan dengan lebih cepat.



Kawasan rawan bencana

Pemerintah Kabupaten Sleman dan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menunggu keputusan pemerintah pusat mengenai penetapan kawasan rawan bencana pascaerupsi Gunung Merapi.

"Ancaman bahaya pascaerupsi Merapi tentu berubah. Jika sebelum Merapi meletus sudah ada peta kawasan rawan bencana, kini kondisinya tentu berbeda, sehingga perlu dipetakan ulang," kata Sekretaris Daerah (Sekda) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Tri Harjun Ismaji, di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, pemetaan ulang kawasan rawan bencana diperlukan sebagai pedoman daerah untuk menjalankan rehabilitasi dan rekontruksi pascaerupsi Gunung Merapi.

"Penetapan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) menjadi pedoman bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY untuk melakukan proses rehabilitasi dan rekonstruksi setelah masa tanggap darurat dinyatakan selesai," katanya.

Ia mengatakan, banyak perubahan di tingkat dusun di kawasan Merapi sebagai dampak erupsi Merapi yang cukup dahsyat. Hal itu harus dipetakan ulang.

"Peta hingga skala dusun diperlukan terutama untuk mengetahui kawasan mana saja yang boleh digunakan sebagai hunian, kawasan konservasi, pertanian atau lahan pekarangan dan daerah terlarang yang tidak boleh dihuni warga," katanya.

Menurut dia, untuk memetakan kawasan tersebut merupakan tugas pemerintah pusat. Pemkab Sleman dan Pemprov DIY masih menunggu penetapan kawasan tersebut.

"Jika pemerintah pusat sudah mengumumkan mana saja zona aman yang bisa ditempati lagi sebagai hunian, kami segera mensosialisasikan kepada warga," katanya.

Ia mengatakan Pemkab Sleman dan Pemprov DIY saat ini fokus menyiapkan rumah hunian sementara, sebelum nanti mengurus relokasi warga jika diperlukan atau hingga warga korban erupsi Merapi menempati kembali rumahnya setelah kondisi aman.

"Ada beberapa bidang yang menjadi fokus perhatian kami, di antaranya masalah sosial, infrastruktur, dan pemulihan perekonomian kawasan pascabencana erupsi Merapi," katanya. (E013*V001*B015*H008*ANT-159/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010