Magelang (ANTARA News) - Korban bencana banjir lahar dingin di sejumlah daerah aliran sungai yang berhulu di Gunung Merapi perlu mendapat pendampingan psikologis untuk memulihkan kondisi mereka.

Kepala Seksi Program dan Advokasi Sosial Panti Sosial Antasena Kementrian Sosial, Agung Suhartoyo di Magelang, Minggu, mengatakan, jenis trauma korban banjir lahar dingin hampir sama dengan korban erupsi Gunung Merapi.

Menurut dia, kemungkinan dampak bencana lahar dingin lebih besar, karena khusus di Magelang, banjir lahar dingin merupakan dampak terburuk yang merusak rumah dan menelan korban jiwa.

"Kondisi tersebut berdampak pada semakin tingginya kemungkinan gangguan psikologis warga. Beberapa warga, cenderung mengalami perubahan sikap, terutama pada anak-anak," katanya.

Ia mengatakan, pada malam hari saat anak-anak terlelap tidur, mereka dibangunkan dan diajak berlarian untuk menjauhi air bah yang datang.

Agung mengatakan, mereka butuh proses pendampingan serius. Jangan sampai trauma ini dipendam dan justru berdampak lebih besar di masa yang mendatang.

Bagi orang dewasa, katanya, mungkin akan mempengaruhi psikologis mereka dan bagi anak justru akan lebih berbahaya karena dapat mengganggu pertumbuhannya.

Ia mengatakan, untuk anak-anak harus mulai dijauhkan dari lingkungan yang dianggap tidak sehat bagi proses pertumbuhan mereka. Jangan dibiarkan mereka terlalu sering mengingat kejadian tersebut.

Beberapa warga yang ditemui di lokasi pengungsian mengaku masih trauma akibat banjir lahar dingin besar pada 9 Januari 2011 dan mereka tidak mau tinggal di kampungnya.

Seorang warga Dusun Sudisari yang rumahnya hanyut terbawa banjir lahar dingin, Munir, mengatakan, jika sudah memasuki musim kemarau dirinya akan tetap bertahan di rumah kakaknya di dusun lain.

"Saya tidak mau tinggal di sekitar lokasi banjir lahar dingin. Banjir lahar yang saya alami cukup menjadi pengalaman pertama dan terakhir," katanya.

Seorang warga Dusun Glagah, Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Salmidah, mengatakan, rumahnya hanya terendam pasir sekitar 1,5 meter, namun dia mengaku enggan kembali ke rumah karena trauma dengan kejadian banjir lahar yang melanda kampungnya.

Ia juga khawatir dengan pertumbuhan anak bungsunya, Santoso. Sejak banjir lahar dingin lalu, ke mana-mana anaknya selalu minta ditemani.(*)
(U.H018/S019/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011