Dumai (ANTARA News) - Sejumlah masyarakat Kota Dumai, Riau, mulai mengeluhkan kenakalan-kenakalan anak "punk" yang kerap memaksakan kehendak agar warga membayar aksi mengamen yang mereka lakukan.

"Kalau nggak diberi uang, terkadang mereka mengeluarkan kata-kata kasar," kata seorang warga Dumai, Riwanda, kepada ANTARA di Dumai, Minggu.

Seorang mahasiswa yang mengaku sering nongkrong di salah satu kafe Jalan Ombak ini mengatakan perilaku tidak menyenangkan oleh komunitas anak punk tersebut membuatnya dan beberapa teman kuliahnya kian jengkel.

"Terkadang karena begitu kasarnya kata-kata yang dilontarkan anak punk membuat kami emosi hingga beberapa kali kami hampir adu jotos," katanya.

Mengingat hal tersebut telah mengganggu ketenteraman dirinya dan teman-temannya, Riwanda meminta secepatnya pemerintah bertindak nyata.

"Ini sudah keterlaluan dan memancing kericuhan, kalau pemerintah tidak bertindak cepat maka bukan tidak mungkin akan timbul konflik kekerasan," urai Dion, seorang rekan Riwanda.

Di lain sisi, seorang ibu rumah tangga bernama Devi meresahkan ulah anak punk yang menurutnya kerap berpakaian setengah telanjang.

"Itu sama artinya pornoaksi. Karena kebanyakan anak punk terutama yang perempuan berpakaian "senonoh". Selain itu, mereka yang berpasangan juga terkadang saling berciuman di muka umum banyak tanpa memikirkan situasi dan kondisi," keluh Devi.

Sebelumnya, Kepala Dinas Sosial Kota Dumai, Pazwir, berencana akan menertibkan anak jalanan yang di dalamnya termasuk anak punk dengan cara memfasilitasi kehidupan mereka, yakni dengan memberikan mereka tempat tinggal, pendidikan, dan keahlian.

Pazwir meyakini dengan cara demikian perlahan tapi pasti permasalahan anak jalanan dan anak punk akan teratasi.

Dari penelusuran ANTARA, sejak rencana tersebut diuraikan oleh Pazwir pada pertengahan 2010 lalu, pihak Dinsos hanya mampu mendirikan rumah singgah yang baru dihuni oleh belasan anak jalanan.

Jumlah tersebut sangat kecil dibandingkan dengan jumlah anak jalanan atau anak punk yang masih berkeliaran di wilayah perkotaan yang kini telah mendatangkan keresahan masyarakat.

Berdasarkan data Dinas Sosial, lebih dari seratusan anak jalanan dan anak punk masih memilih untuk tidur di emperan kota dan mencari nafkah dengan berbagai kegiatan seperti mengamen dan meminta-minta.

Selain itu, rumah singgah yang merupakan bekas milik seorang anggota DPRD Kota Dumai tersebut sejauh ini juga belum dilengkapi dengan fasilitas lain seperti yang dijanjikan Pazwir sebelumnya.

Terkait hal ini, Pazwir yang dikonfirmasi beralasan minimnya anggaran adalah penyebabnya. "Agar rencana penanggulangan anak jalanan dan anak punk ini berjalan sesuai rencana, kita mengharapkan peran serta sejumlah perusahaan yang beroperasi di Kota Dumai. Kesertaan itu dapat berupa materi maupun barang," ringkasnya. (FZR/J006/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011