Jakarta (ANTARA News) - Membangun dan memberdayakan kawasan perbatasan adalah suatu keniscayaan apabila Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ingin tetap berdaulat dan eksis di atas kaki sendiri.

Bertumpuk pengalaman membuktikan bahwa abainya bangsa ini terhadap kawasan perbatasan telah berdampak pada raibnya wilayah negara berikut potensi sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Sipadan dan Ligitan yang telah lenyap dari peta NKRI menjadi satu contoh nyata.

Setali tiga uang dengan Sipadan-Ligitan, ternyata masih ada banyak pulau lain di wilayah terluar atau yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga yang terancam hilang dari peta NKRI.

Pulau Sebatik, yang jaraknya dengan Tawau, Malaysia, hanya 15 menit jika menyeberang dengan speed boat, sebagian besar masyarakatnya lebih sering berinteraksi sosial dan ekonomi dengan Tawau ketimbang dengan daerah-daerah lain di provinsi yang sama, seperti Nunukan, Tarakan atau bahkan Balikpapan dan Samarinda.

Sebatik merupakan salah satu pulau dengan nilai strategis karena langsung berbatasan dengan negeri jiran Malaysia, baik di darat maupun laut. Namun ironisnya, menurut tokoh masyarakat Sebatik, Haji Andang, berbagai potensi sumber daya yang ada di pulau itu seperti ikan, kakao, sawit dan berbagai hasil bumi lainnya semua "lari" ke Tawau.

Setiap bulan, sebanyak 1500 ton sawit, 800 ton rumput laut dan 1000 ton ikan hasil budi daya nelayan Sebatik dan sekitarnya masuk ke Tawau.

"Bahkan ketika pertama kali datang ke Sebatik ini pada tahun 1979, tidak ada rupiah disini. Rupiah justru ada di Tawau. Dan hingga sekarang pun di Sebatik ini, ada dua mata uang yang beredar, rupiah dan ringgit," ujar Haji Andang.

Untuk sekadar "mengimbangi" Tawau, maka Haji Andang berupaya membangun toko-toko yang menyediakan kebutuhan sehari-hari masyarakat setempat, dengan harapan masyarakat Sebatik tidak terlalu "Tawau sentris".

Upaya rintisan Haji Andang itu tentunya masih sangat jauh jika dimaksudkan untuk mengimbangi Tawau, apabila tidak ada upaya-upaya signifikan pemerintah melanjutkan pembangunan dan pemberdayaan kawasan perbatasan.

Perbedaan antara Tawau dengan Sebatik, ibarat langit dan bumi. Tawau di malam hari tampak gemerlap dengan lampu-lampu yang berpendar dari gedung-gedung bertingkat laiknya kota metropolitan serta riuh warganya yang menikmati wisata kuliner tepi pantai. Sementara Sebatik tampak sebagai bayangan hitam, tanpa kehidupan, dalam gelap gulita-nya malam.

Tawau sudah maju sejak 40 tahun silam. Menurut Presiden Majlis Perbandaran Tawau (Walikota), Ismail Mayakob, kemajuan kota Tawau tidak bisa dilepaskan dari adanya keleluasaan pemerintah setempat mengelola sendiri semua potensi yang ada disana untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

"100 persen penghasilan daerah dari pajak yang dipungut dikembalikan lagi untuk rakyat dan pembangunan Tawau," ujarnya.

Dengan otonominya itu, sejak 10 tahun silam, Tawau yang hanya kota kecil di bibir pantai itu telah memiliki bandara berkelas internasional. Sementara jika dibandingkan dengan Kaltim, untuk ibukota Samarinda hingga kini masih belum ada bandara berkelas internasional. Bagi masyarakat di Tarakan yang ingin ke Samarinda, mereka arus terlebih dahulu mampir ke Balikpapan.


Provinsi Kaltara

Sejak reformasi bergulir pada 1998, aspirasi memekarkan wilayah Kaltim bagian utara yang langsung berbatasan dengan sejumlah negara, yakni Malaysia dan Filipina, telah bergulir dengan derasnya. Motivasi utamanya adalah bagaimana pembangunan di wilayah-wilayah perbatasan antarnegara itu bisa lebih cepat dan konsisten dilaksanakan.

"Kita ingin membangun kawasan perbatasan secara total," ujar Ketua Umum Masyarakat Kaltara (Kalimantan Utara) Bersatu (MKB) Yusuf SK.

Setelah Kaltara terbentuk, menurut mantan walikota Tarakan dua periode itu, dalam tempo tiga tahun provinsi itu wajib memprioritaskan pembangunan di Kecamatan Krayan dan Sebatik, sebagai simpul perbatasan RI-Malaysia di darat dan laut.

Sebatik harus diperjuangkan menjadi kota administratif untuk percepatan proses pembangunan. Sementara untuk Krayan, akan dibangun melalui "special approach" dari Sabah, Serawak dan Brunei (yang memiliki hubungan kesejarahan yang kuat) dalam bentuk kerja sama yang saling menguntungkan.

Kerayan yang merupakan kawasan pegunungan dan langsung berbatasan dengan Malaysia, menyimpan potensi kandungan mineral yang sangat besar.

"Bayangkan saja di gunung seperti itu justru kita bisa menemukan garam dengan kualitas terbaik dan selama ini telah diekspor ke Eropa. Disana ada mutiara yang tidak terkelola dengan baik. Sayang sekali," ujar Yusuf SK.

Sementara untuk mencegah berbagai praktik pencurian ikan dari negara-negara lain serta pemanfaatan potensi perikanan di kawasan Ambalat, melalui status otonomi Kaltara, sangat dimungkinkan untuk membangun armada nelayan di Sebatik, Nunukan dan sekitarnya.

Artinya pula, Kaltara diharapkan mampu memberikan bantuan signifikan pada TNI dan Polri dalam mengatasi berbagai persoalan besar di kawasan perbatasan semisal pembalakan liar, pencurian ikan, trafficking, penyelundupan dan peredaran obat-obatan terlarang.

Di luar itu semua, adanya status pemerintahan level provinsi itu akan memungkinkan terbangunnya kerjasama "regional to regional" antara Kaltara dengan Sabah dan Filipina Selatan untuk bidang perdagangan dan jasa hingga terbentuknya "segi tiga emas" ekonomi dan perdagangan Nunukan-Tawau-Tarakan.

"Nunukan, kalau tidak ada otonomi, mungkin hanya kampung kecil yang tidak berarti. Demikian juga dengan Tarakan. Jadi tidak ada solusi lain mempercepat pembangunan di kawasan-kawasan perbatasan itu selain memekarkan wilayah Kaltara," ujar Yusuf lagi.

Dengan memaksimalkan pembangunan kawasan perbatasan itu, maka target zero eksodus warga negara Indonesia ke negeri-negeri jirannya juga bisa segera terwujud.

Bahkan terhadap 78 ribu anak Indonesia yang ada di Sabah dan tidak bisa bersekolah di negeri Jiran itu, MKB mempunyai visi ingin membangun "boarding school" dengan konsep asrama di Sebatik. Semua anak TKI yang tidak bisa bersekolah di negara bagian Sabah, Malaysia, berkesempatan menimba ilmu di Sebatik dan tinggal di asrama-asrama yang ada.

Intinya, Sebatik harus dibangun dengan infrastruktur yang lengkap, seperti gelanggang olah raga dan "center of excellent " lainnya yang mampu mengimbangi Tawau atau Malaysia secara umum.

Tapi, mimpi-mimpi masyarakat Kaltara itu hingga kini masih terganjal di Jakarta kendati berbagai persyaratan pemekaran wilayah semisal, studi kelayakan dan persetujuan gubernur serta DPRD Kaltim sebagai provinsi induk telah dikantongi. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam satu kesempatan meninjau perbatasan di Ambalat juga telah memberikan restunya bagi penguatan kawasan perbatasan melalui pembentukan provinsi baru Kaltara atau Kalimantan Utara .

Dengan berbagai alasan, RUU Provinsi Kaltara belum juga disahkan DPR . Dalam RUU itu, Provinsi Kaltara nantinya akan terdiri atas Kabupaten Bulongan, Malinau, Nunukan, Tana Tidung, Sebatik dan Kota Tarakan. Ibukota provinsi baru itu akan bertempat di Tanjung Selor yang kini merupakan ibukota kabupaten Bulongan.

"Sebenarnya tidak masuk akal jika masih ada penolakan untuk peningkatan status pemerintahan dan otonomi bagi daerah-daerah perbatasan ini," ujar Haji Andang, tokoh masyarakat Sebatik.

Mengingat sedemikian penting dan strategisnya kondisi geografis, geostrategis, geoekonomi dan geopolitik Kaltara, maka sudah selayaknya apabila DPR segera mengetuk palu pengesahan RUU Provinsi Kaltara menjadi UU sebagai dasar hukum terbentuknya provinsi baru tersebut.(*)

(T.D011/A011)

Oleh Junaedi Suswanto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011