Jakarta (ANTARA) - Jim O`Neill, seorang ekonom dari Goldman Sachs, adalah orang yang pertama kali melontarkan istilah BRIC untuk merangkai empat negara besar --Brasil, Rusia, India dan China-- pada 2001.

Gabungan ekonomi empat negara besar itu pada tahun 2050, dalam prediksi ekonom bank investasi tersebut akan mampu mengalahkan ekonomi negara-negara makmur saat ini yang tergabung dalam G-7 (AS, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Kanada dan Jepang).

Prediksi O`Neill tersebut dianggap biasa saat itu karena masih lama dan gagasan itu hanyalah torehan di atas kertas saja.

Namun dalam realita, ide O`Neill ini menjadi semacam inspirasi negara BRIC untuk bangkit. Terlebih di tengah kondisi krisis keuangan global, ternyata negara industri maju mengalami kegoncangan karenanya dan menderita resesi ekonomi, sementara BRIC mampu sintas dari badai finansial.

Dua negara, China dan India, di tengah krisis yang berlangsung sejak kuartal akhir 2008 itu menunjukkan tetap tumbuh positif perekonomiannya, sementara Rusia dan Brasil sempat terkena kontraksi, namun cepat pulih.

Realita tersebut semakin mematangkan para pemimpin empat negara untuk mewujudkan ide BRIC dalam kebersamaan mendesakkan perubahan tata ekonomi dunia baru terus intens dan bersuara lantang.

Dimulai dari pertemuan tingkat menteri selama sepekan, akhirnya terwujud pertemuan puncak BRIC di Yekaterinburg, Rusia, pada 16 Juni 2009.

Meski hanya beberapa jam saja, empat negara BRIC mulai meletakkan batu fondasi pertamanya sebagai kelompok atau blok, meski belum dalam bentuk formal.

Dengan dihadiri para pemimpin negerinya, Luiz Inacio Lula da Silva (Presiden Brasil), Dmitry Medvedev (Presiden Rusia), Manmohan Singh (PM India), dan Hu Jintao (Presiden China), pertemuan resmi pertama kali itu menyerukan perubahan sistem keuangan global, di antaranya standar mata uang perdagangan dunia yang saat ini dipegang dolar AS, reformasi IMF termasuk keranjang mata uangnya (Special Drawing Rrights, SDR), dan perluasan negara dalam pengambilan keputusan ekonomi global yang tidak hanya G-7.

"Empat negara ini sangat berpengaruh dalam pembangunan ekonomi internasional. Karena itu jika BRIC mengangkat beberapa usulan dan inisiatif, hal itu masuk akal," kata Wu Hailong, pejabat Deplu China.

Hal senada juga dikemukakan Penasihat Ekonomi Presiden Rusia Dmitry Medvedev, Arkady Dvorkovich, bahwa Rusia mengusulkan perlunya saat ini adanya perubahan pada sistem keuangan dunia dan secara khusus perubahan mata uang transaksi global dolar AS.

Kekuatan BRIC

Negara-negara BRIC semakin diperhitungkan di panggung internasional, bahkan dalam membahas solusi krisis ekonomi dunia, negara industri G-7 yang biasa mendominasi dalam keputusan ekonomi global, kini tidak bisa meninggalkan mereka.

Pada akhirnya G-7 memperluas kelompoknya menjadi G-20 pada akhir tahun 2008, termasuk di dalamnya BRIC, untuk membuat kebijakan ekonomi multilateral untuk bisa keluar dari krisis ekonomi yang dikhawatirkan berkepanjangan ini.

Sebenarnya yang menjadi kekuatan BRIC, tidak sekedar populasi yang besar (40 persen populasi dunia) dan wilayah yang luas (sekitar 25 persen wilayah dunia), namun peningkatan perekonomian negara masing-masing yang berkembang pesat dan kekokohan perekonomiannya dalam lalu lintas perdagangan dunia.

Dari empat negara itu kalau digabungkan, nilai produk domestik bruto (PDB) yang dimilikinya mencapai 15 persen dari PDB dunia dan pangsa cadangan devisanya mencapai 42 persen dunia.

Secara rinci, China yang terunggul dari tiga negara lainnya, yang tercatat PDB tahun 2008 menduduki tempat ketiga setelah AS dan Jepang. Bahkan China diprediksi dalam beberapa tahun akan bisa melampaui Jepang.

Sementara PDB 2008 Rusia menduduki peringkat ke-8, Brasil peringkat ke-10 dan India peringkat ke-12 .

Cadangan devisa yang dimiliki BRIC hampir tiga triliun dolar AS, yang merupakan cadangan devisa paling besar di dunia. China sendiri merupakan negara pemilik cadangan devisa terbesar di dunia dengan hampir dua triliun dolar AS.

Namun kepemilikan cadangan devisa yang besar itu belum memberi keamanan perekonomian negaranya, karena selama ini devisa itu dipegang dalam denominasi dolar AS, yang pamornya kian merosot seiring perekonomian AS yang suram.

Oleh karena itu upaya perubahan denominasi dolar AS yang kini mudah goncang itu menjadi suatu yang mendesak. Menurut pejabat Deplu China Wu Hailong, usulan beberapa negara untuk mengembangkan alat tukar baru internasional bertujuan memastikan keamanan devisa masing-masing negara agar tidak melemah nilainya karena depresiasi.

Tidak hanya masalah mata uang internasional, negara-negara BRIC mendesak agar komposisi pemegang suara di lembaga keuangan multilateral, IMF (Dana Moneter Internasional) sudah selayaknya diubah, yang saat ini didominasi AS, Jepang dan negara-negara Eropa.

Apalagi pada saat IMF yang kondisinya tengah limbung, malah tiga negara (Brasil, Rusia dan China) yang siap sedia membantu masalah keuangan IMF melalui pembelian obligasi IMF totalnya 70 miliar dolar AS. Total dana suntikan itu berasal dari China sekitar 50 miliar dolar, Brasil dan Rusia masing-masing 10 miliar dolar AS.

Tentunya dengan bantuan suntikan dana bisa memberikan tekanan untuk mereformasi struktur IMF secara adil. Sementara kepemilikan suara BRIC di tubuh IMF saat ini masih kecil, tercatat suara China hanya menguasai 3,7 persen, Rusia 2,7 persen, Brasil 1,4 persen, dan India 1,9 persen suara, bandingkan dengan Belgia yang perekonomiannya sepertiga Brasil malah memiliki 2,09 persen suara.

Masih terkait dengan IMF, BRIC menyerukan mata uang IMF berupa SDR (Special Drawing Rights) yang selama ini bergantung pada keranjang mata uang AS, euro, yen dan pounsterling, harus diubah.

Perubahan itu, menurut pejabat Rusia, diusulkan memasukkan mata uang rubel Rusia dan yuan China.

"Pada dasarnya pertemuan puncak BRIC ingin menciptakan kondisi tata ekonomi dunia yang lebih adil dan atmosfir yang lebih baik guna menyelamatkan tugas global yang mendesak," kata Medvedev.

Menuju blok ekonomi baru?

Pada awalnya ekonom Goldman Sachs tidak pernah menyangka BRIC akan mengorganisasi diri menjadi blok bersama ekonomi. Namun situasi ekonomi dunia yang tidak menguntungkan negara industri maju telah membuat negara berkembang, terutama BRIC, harus maju lebih ke depan untuk dapat mengambil peran lebih besar.

"Krisis ekonomi telah mendorong mereka untuk bersama," kata Thomas Renard, seorang periset di Egmont Royal Institute for International Relations di Brussels, Belgia.

Namun Renard tetap pada pendapatnya, BRIC yang melakukan pertemuan puncak belum lama ini masih akan jauh dari blok politik atau ekonomi formal.

Mereka lebih sebagai kelompok informal dalam forum internasional yang bertemu kadang-kadang untuk bertukar sejumlah pandangan dan ketika menemukan kesamaan dilakukan perjanjian bersama mempertahankan posisi bersama mereka.

Sementara untuk membentuk blok formal, perbedaan struktur ekonomi yang ada di antara empat negara itu masih harus diatasi melalui waktu panjang.

Dalam pendapat Ian Bremmer, Presiden Eurasia Group, perusahaan konsultan risiko, BRIC memiliki kesamaan hanya sebagai negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi spektakular beberapa tahun terakhir ini dan disatukan utamanya atas kehendak menentang dominasi AS dan sekutunya di panggung perekonomian dunia.

"Mereka disatukan karena mereka sama-sama bukan negara industri makmur yang telah menciptakan atau memimpin lembaga internasional yang memberi keputusan atas geoekonomi," kata Bremmer,"Mereka disatukan dengan menentang dominasi AS dan sekutunya."

Namun intensitas tentangan tersebut masih terasa bertingkat di antara empat negara BRIC itu, seperti halnya desakan penggantian mata uang dolar AS sebagai mata uang internasional.

Pada komunike resminya tidak disebutkan secara eksplisit, namun komunike bersama secara halus hanya menyebutkan,"kami juga meyakini tentang kebutuhan yang kuat terhadap sistem moneter internasional yang stabil dan dapat diprediksi dan lebih diversifikasi."

Tampaknya masih ada perbedaan kepentingan di antara empat negara itu. Kemungkinan China harus berhitung cermat dahulu karena masih memiliki banyak perdagangan dengan AS dan kepemilikan dalam nilai besar atas obligasi AS.

Namun BRIC sebagai blok penekan (pressure group) informal untuk realisasi tata ekonomi dunia baru pada masa mendatang tidak tertutup peluang terus mengkristal, apabila tidak ada respon dari negara hegemoni perekonomian dunia saat ini. Peta perekonomian sudah mulai berubah dan BRIC sepantasnya tidak dipandang sebagai ancaman kepentingan AS dan sekutunya.

"Tren dunia saat ini bukan lagi unipolar tetap berubah menjadi multipolar. Dunia saat ini terjadi saling ketergantungan atau interdependensi. Bahkan China sendiri tidak dapat berpikir tentang keuntungan individual, namun upaya negara-negara tersebut selayaknya ditempatkan lebih kepada upaya memperkecil kerusakan atas derita yang dialami semua," kata Renard. (*)

Oleh Oleh Zaenal Abidin
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009