Jakarta (ANTARA News) - Agustus adalah momen mengobarkan nasionalisme, untuk itu sebuah film digarap lewat kolaborasi sineas Amerika dan domestik. Film bertema perang kemerdekaan dengan judul "Merah Putih" yang dibuat dengan aroma film-film laga khas karya sineas Hollywood itu segera diputar di sejumlah gedung bioskop di Tanah Air sebelum HUT Proklamasi Kemerdekaan 2009.

Layaknya film Hollywood yang mengandalkan efek dramatik, yang dihasilkan dari rekayasa teknologi digital, "Merah Putih" siap menyihir penonton dengan atraksi perang yang mengharubiru rasa kemanusiaan.

Adegan pembantaian ditampilkan dengan gambar-gambar yang bisa membuat penonton menghela nafas panjang. Beberapa di antara adegan itu agak melodramatik dan terkesan kurang alami.

"Merah Putih" dibuka dengan pesan klasik: kolonialisme melahirkan kepedihan. Satu keluarga di sebuah pedesaan Sulawesi Utara dibantai oleh pasukan sekutu. Empat anggota keluarga itu jatuh bergelimpangan saling memeluk begitu serdadu bersenjata api laras panjang memberondongkan bedil.

Pembantaian itu disorot dengan memperlihatkan kepala dan punggung yang memuncratkan darah tertembus peluru lewat penembakan jarak dekat.

Dalam kemelut berdarah itu, salah seorang anak dari keluarga yang dibantai selamat. Dialah Tomas, yang dimainkan Donny Alamsyah. Tomas berlari, meloloskan diri, membawa dendam kesumat dalam dada. Dia datang ke Jawa, bergabung dalam sekolah kadet, bersama pemuda lain.

Di sekolah inilah Tomas yang Manado bertemu Marius, pemuda ningrat Jawa yang diperankan Darius Sinathrya. Kedua pemuda itu selalu diliputi perasaan saling membenci, semata karena prasangka etnis. Tapi keduanya akhirnya menjadi karib setelah pasukan nasionalis banyak yang bergelimpangan dibantai musuh.

Berkat kepemimpinan Letnan Amir, yang dimainkan Lukman Sardi dengan penghayatan yang prima, Tomas dan Marius menyadari bahwa kebencian sukuisme hanya menguntungkan pasukan musuh.

Hadirnya sosok Letnan Amir cukup memberi bobot cerita pada "Merah Putih". Amir yang seorang guru desa memutuskan berjuang di medan tempur setelah menyaksikan bagaimana bengisnya tentara sekutu membantai rakyat sipil.

Intervensi Rob Trenton, sineas Hollywood yang menggarap efek visual dalam "Merah Putih", secara efektif menyajikan gambar-gambar korban pembantaian yang dramatik.

Masalahnya, apakah gambar-gambar itu bisa mendukung pesan utama pembuatan film, yang tak lain adalah untuk mengobarkan kembali semangat anak muda di bulan kemerdekaan ini?

Rasa-rasanya, apa yang ingin disampaikan kepada penonton film generasi ABG (anak baru gede) itu bisa ditanggapi secara lain dari perkiraan atau niat pembuat film.

Ketika tayangan perdana disajikan pada ratusan anak muda, justru penonton sering cekikian karena adegan-adegan konyol yang muncul dari gerakan-gerakan kocak kadet bertubuh gendut.

Karya seni yang terlalu dibebani pesan moral maupun politik sering mengabaikan estetika. Untungnya "Merah Putih" masih menghadirkan estetika sinematografi, meskipun itu khas film Hollywood yang sarat teknologi.

"Film ini bagian pertama dari trilogi kisah kemerdekaan di Indonesia, yang bercerita tentang sekelompok gerilyawan revolusioner pada 1947 selama masa revolusi fisik," kata Rob Allyn, produser "Merah Putih".

Allyn yang dikenal sebagai penulis The New York Times itu juga menulis skenario "Merah Putih" bersama Connor Allyn.

Allyn mengatakan, drama perang gerilya bergaya Hollywood itu diharapkan dapat mengingatkan pemuda masa kini tentang pengorbanan dan nasionalisme bapak bangsa Indonesia.

"Film ini bertujuan mendidik kaum muda, memperbaruhi semangat nasional dan meningkatkan citra Indonesia di mata dunia," kata Allyn.

Film yang disutradarai Yadi Sugandi itu selain menghadirkan bintang-bintang seperti Lukman Sardi, Darius Sinathrya, Donny Alamsyah, juga menampilkan Zumi Zola, Rifnu Wikana, dan dua artis pendatang baru Astri Nurdin dan Rahayu Saraswati.

"Merah Putih" berlatar sejarah otentik tentang perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan pada 1947 saat terjadi agresi militer Belanda pimpinan Van Mook yang menyerang jantung republik di Jawa Tengah.

Film ini juga berkisah tentang multikulturalisme saat pemuda asal Bali, Manado, Jawa bersatu melawan kolonialisme.

Direncanakan masih ada dua episode lagi yang akan menjadikan film bertema perang kemerdekaan ini menjadi film trilogi yang monumental, kata Jeremi Stewart, sineas Hollywood yang bersama pengusaha Hasjim Djojohadikusumo turut mendanai film "Merah Putih".(*)

Pewarta: oleh Mulyo Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009