Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik Islam dari Universitas Indonesia (UI) Dr Yon Machmudi menyatakan bahwa jaringan teroris di Indonesia sudah sangat rapuh sehingga yang mereka lakukan adalah mencoba menciptakan berita untuk menarik perhatian publik.

"Salah satu caranya adalah dengan mengalihkan sasaran terorisme kepada kepala negara," kata Dosen Gerakan Islam Modern Program Studi Arab Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI itu di Jakarta, Jumat.

Karena jaringannya sudah rapuh, kata Yon, seharusnya kelompok teroris di Indonesia itu dapat segera dilumpuhkan.

Menurut dia, hal itu bisa dilakukan apabila ada sinergi yang baik antara Desk Antiterorisme Kementerian Koordinator Bidang Polkam, Densus 88 Antiteror Polri dan Badan Intelijen Negara.

"Jangan sampai upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak berwenang justru membesarkan eksistensi para teroris yang sudah terjepit," kata penyandang gelar PhD (doktor) dari The Australian National University (ANU) itu.

Yon menjelaskan, secara umum pelaku terorisme, termasuk pelaku bom bunuh diri, berdasarkan motivasi dapat dibedakan dalam empat kategori.

Kategori pertama, berkaitan dengan idologi dan keyakinan, yakni kelompok teroris yang dimotivasi oleh ajaran agama biasanya dididik dalam lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dalam waktu yang lama dan dipersiapkan untuk aktifitas terorisme.

"Kelompok ini biasanya memiliki ciri-ciri keagamaan tertentu. Melihat trend pengeboman di Indonesia pada dasawarsa terakhir ini dapat disimpulkan bahwa terorisme dengan motivasi ajaran agama secara murni hampir dipastikan telah hilang," katanya.

Hal itu, lanjutnya, karena komunitas agama di Indonesia tidak menolerir segala bentuk aksi terorisme. Bahkan kelompok-kelompok yang dianggap keras sekalipun, seperti Ustaz Abu Bakar Baasyir dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), secara tegas menolak cara-cara yang dilakukan kelompok Noordin M Top.

Kategori kedua, kelompok yang tereksploitasi. Kelompok inilah yang mendominasi aksi-aksi terorisme di Indonesia.

Walaupun pelaku mendapatkan indoktrinasi dan sekaligus proyeknya dari anggota dalam jaringan teroris di Indonesia, tetapi sebagian besar tidak mengenal dengan baik orang telah mencuci otaknya (brainwashing), kata Yon.

Yon yang juga Koordinator Bidang Kajian, Publikasi, dan Penelitian Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia itu mengatakan, mereka yang dapat dieksploitasi menjadi suicide bombers (pelaku bom bunuh diri) adalah yang memiliki perasaan bersalah atau merasa hidupnya tak bermakna.

Sebagian besar dari mereka berasal dari segmen pemuda yang bermasalah secara psikologis dan sosial, serta bukan berasal dari kelompok religius.

"Ciri-cirinya pun berbeda dengan kategori pertama. Mereka tidak direkrut di masjid tetapi di jalan. Tentu mengeksploitasi segmen masyarakat seperti ini sangat mudah dan inilah yang menjadi fenomena terorisme di Indonesia," ujarnya.

Kategori ketiga, dimotivasi oleh balas dendam atas kekerasan oleh rezim Orde Baru terhadap anggota keluarga mereka. "Kelompok ini dapat berasal dari keluarga Darul Islam (DI). Hanya saja untuk saat ini tentu sangat susah mendapatkan keluarga DI yang masih mengalami trauma kekerasan yang diterima oleh keluarga mereka," katanya.

Sedangkan kategori keempat adalah kelompok separatis yang berkembang di Indonesia.

Pada kenyataannya, kata Yon, kelompok itu telah melakukan transformasi kepada gerakan politik dan berdamai dengan pemerintah Indonesia.

"Karena itu, yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah bagaimana memutus hubungan antara teroris dan segmen yang mudah dieksploitasi itu," kata Yon Machmudi.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009