Denpasar (ANTARA News) - Hari Tumpek Wariga atau lebih dikenal dengan Tumpek Uduh merupakan salah satu perayaan umat Hindu Dharma di Bali sebagai persembahan suci yang khusus ditujukan untuk menghormati semua jenis tumbuh-tumbuhan.

Kegiatan ritual menggunakan kelengkapan sarana banten, rangkaian janur kombinasi bunga dan buah-buahan, dengan kekhususan "bubuh sumsum", yakni bubur dari tepung ketan yang diberi warna hijau alami dari daun kayu sugih, ditaburi dengan parutan kelapa dan diberi gula merah.

Masyarakat menggelar kegiatan ritual itu Sabtu (20/9) yang berlangsung sejak pagi hingga sore hari di ladang, sawah dan pekarangan masing-masing.

Ketua Program Studi Pemandu wisata Institut Hindu Dharma Indonesia (IHDN) Denpasar Drs I Ketut Sumadi M.Par menjelaskan, Tumpek Uduh dirayakan umat Hindu setiap hari Sabtu uku Wariga yang jatuh setiap 210 hari sekali.

Kegiatan ritual itu dapat dijadikan sebagai momentum yang strategis dalam revitalisasi membangkitkan sektor pertanian mengimbangi kemajuan bidang pariwisata di Pulau Dewata.

Hal itu sangat penting mengingat alam dan potensi Bali dimanfaatkan sebagai pendukung kehidupan masyarakat Pulau Dewata secara turun temurun.

Sumber daya alam, manusia dan budaya Bali merupakan satu-kesatuan yang saling terkait dan ketergantungan satu sama lainnya.

Upaya pelestarian, revitalisasi sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) termasuk budaya akan terjamin, jika seluruh komponen berada dalam hubungan yang harmonis sesuai konsep Tri Hita Karana.

Sebaliknya jika aktivitas pembangunan tidak terkendali menyebabkan kerusakan SDA, sehingga berpengaruh terhadap daya dukung yang pada akhirnya mempengaruhi eksistensi manusia dan budayanya, tutur Gurubesar Univesitas Udayana Prof Dr Ir Dewa Ngurah Suprapta.

Alumnus S-3 "Graduate School for Agricultural Sciences" Kagoshima University Jepang menjelaskan, berbagai potensi alam Bali selama ini telah mampu memberikan kesejukan, rileksasi, ketentraman dan kenyamanan, sehingga mendapat berbagai macam julukan, didasarkan atas kesan wisatawan yang berliburan ke Bali.

Aktivitas petani berjalan secara alami. Hamparan sawah hijau ditata secara apik oleh petani. Saluran irigasi dengan air yang mengalir jernih, di kiri-kanannya membentang areal persawahan dengan berbagai aktivitas petani.

Kegiatan petani antara lain membajak sawah menggunakan tenaga petani, namun sejak tahun 1980 mulai berkurang, bahkan sekarang lebih banyak menggunakan tenaga traktor untuk mengolah lahan pertanian.

Perkumpulan (sekaa) cangkul di sawah maupun sekaa panen padi kini hampir tidak ada lagi, padahal itu sebenarnya merupakan salah satu daya tarik wisatawan berkunjung ke Bali, disamping panorama alam dan seni budaya.

Dewa Suprapta yang juga Kepala Laboratorium Biopestisida Fakultas Pertanian Universitas Udayana menilai, konsekwensi dari semakin banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Bali menuntut adanya hotel, restoran dan prasarana pendukung pariwisata lainnya.

Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya persaingan yang cukup ketat dalam penggunaan lahan dan sumber daya air untuk kepentingan pariwisata maupun bidang pertanian.

Luas lahan pertanian menyusut setiap tahunnya berkisar 700-800 hektar. Pantai yang tadinya secara bebas bisa dimanfaatkan masyarakat sebagai mata pencaharian kini dikapling menjadi "private beach" oleh berbagai hotel.

Banyak manfaat

Aktivitas pertanian di Bali tetap mempunyai fungsi strategis, selain memenuhi kebutuhan pangan, menyediakan bahan baku industri dan obat-obatan, juga aktivitas pelestarian terhadap sumber daya alam dan budaya.

Petani memelihara tumbuhan, merawatnya sampai tumbuhan bisa memberikan manfaat berupa bahan pangan, sandang dan papan. Bahan yang paling pokok dihasilkan berupa padi, umbi-umbian dan jenis tanaman pangan lainnya.

Orang Bali sebagai salah satu bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap semua jenis tumbuh-tumbuhan menggelar kegiatan ritual yang bertepatan dengan "Tumpek Wariga atau Tumpuk Uduh" yang jatuh pada hari Sabtu, 19 September 2009.

Kegiatan ritual yang jatuh setiap 210 hari sekali itu, khusus dipersembahkan untuk tumbuh-tumbuhan, yang selama ini telah mampu memberikan manfaat dan memudahkan bagi kehidupan umat manusia maupun aneka jenis satwa lainnya.

Tumpek Uduh, bukan hari untuk menyembah tumbuh-tumbuhan, namun hari untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar melalui tumbuh-tumbuhan umat manusia bisa diberikan kemakmuran dan keselamatan terhindar dari berbagai bencana.

Tumbuh-tumbuhan dengan sistem perakaran yang ada, memegang partikel tanah dan menutupi permukaan tanah, sehingga saat musim hujan permukaan tanah terhindar erosi.

"Bisa dibayangkan bagaimana parahnya erosi dan longsor, jika seluruh permukaan tanah tidak ditutupi oleh tumbuh-tumbuhan. Dalam satu musim hujan saja, bagian tanah atas yang subur akan tergerus oleh aliran air," ujar Dewa Suprapta.

Namun dengan adanya perakaran tumbuhan yang masuk jauh ke dalam tanah memungkinkan sebagian air di saat musim hujan masuk dan tersimpan di dalam tanah. Air yang tersimpan dalam tanah itu akan dilepaskan secara bertahap di saat musim kemarau, sehingga ketersediaan air berkesinambungan sepanjang tahun.

Keberadaan tumbuh-tumbuhan dalam satu kawasan tertentu sangat membantu mencegah erosi dan banjir pada musim hujan dan mencegah kekeringan di musim kemarau.

Dengan demikian keberadaan tumbuh-tumbuhan di alam, tidak hanya memberi hidup dan manfaat bagi umat manusia, namun juga memberikan kehidupan terhadap berbagai jenis mahluk hidup lainnya.

Berbagai jenis burung, serangga, kupu-kupu dan hewan lainnya sangat tergantung pada keberadaan tumbuh-tumbuhan.

Tumbuh-tumbuhan sangat bermakna bagi kehidupan di alam, selain memberikan kehidupan dan manfaat kepada umat manusia, juga kepada berbagai jenis makluk hidup lainnya di alam ini, ujar Dewa Suprapta.(*)

Oleh I Ketut Sutika
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009