Jakarta (ANTARA News) - Realisasi kawasan pasar bebas di perhimpunan bangsa Asia Tenggara (Asean Free Trade Area/AFTA) sejak 2003 menjadi fokus rancangan para elite dan tokoh bisnis untuk menuju pada visi yang lebih matang, yakni komunitas ekonomi ASEAN (Asean Economic Community/AEC) mulai 2015.

AEC arahnya bukan hanya di pusat pemerintahan negara, tetapi hingga ke daerah-daerah yang berbatasan dengan negara tetangga, sebut saja Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam. Jauh-jauh hari inilah yang perlu “rencana dan program” dari Indonesia menuju AEC.

Idealnya, jaringan kerja produksi ASEAN dengan masing masing pelaku dari negara ASEAN diarahkan secara khusus dengan potensi lokal, namun membawa "merek ASEAN". Jadi bukan menjadi pasar/konsumen dalam komunitas melulu. Soalnya, hingga kini di Indonesia sangat terlihat kecenderungan awalnya diserbu produk-produk Jepang untuk segmen menengah (middle-up end) dan disusul oleh segmen menengah ke bawah China, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan India. Serbuan ini akan terus berlangsung.

Pertemuan tahunan Association South East Asia Nation (Asean) sejak dicetuskannya AFTA pada 1993   terbatas dihadiri para elite dalam arus utama (mainstream) dan beberapa tokoh bisnis dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia diupayakan menjiwai wilayah perdagangan bebas AFTA. Tentunya para tokoh Kadin menjabarkan ke Kadin Daerah (Kadinda)  

Namun, kawasan ASEAN tidak dapat disangkal merupakan mesin kompetisi (engines of competition) dan tetap banyak mengalami hambatan-hambatan non tariff.  

Eksekutif dan manajer Indonesia, apalagi yang baru mencoba memasuki kawasan ASEAN, kini makin ditantang berkompetisi dalam era AFTA, terutama kalau mereka itu biasanya beroperasi dalam wilayah pasar yang skalanya terbatas.

Para pengamat di luar arus utama terlihat cemas lantaran banyak eksekutif dan manajer Indonesia belum cukup professional dalam berinteraksi memasuki era persaingan total, artinya mereka memasuki suatu era dimana "menang" akan lebih sulit kalau mentalitas eksklutif dan manajer kita sudah terbiasa fokus ke dalam negeri.

Misalnya, sampai sekarang ini lahan permainan tidak didefinisikan secara jelas dan karena belum adanya  kebijaksanaan persaingan yang  menetapkan secara transparan dan masuk akal aturan permainan, terutama bagi perusahaan-perusahaan besar kita dalam beraliansi dengan pihak usaha menengah-kecil (UMKM).

Persaingan berarti menumbuhkan gagasan/ide baru, produk baru, teknologi baru, bentuk organisasi dan pemasaran yang lebih baik. Tegasnya, persaingan berarti keterbukaan pada inovasi dan perubahan dalam ekonomi dan masyarakat. Persaingan juga bukanlah tujuan (not an end in itself). Perusahaan dalam berbagai sektor manufaktur, perbankan, jasa transportasi dan periwisata akan makin ditantang untuk menelaah ulang (review) strateginya. Dalam masa mendatang kita akan menyaksikan bahwa suatu kawasan pasar yang makin canggih.  
 

Hendaknya para elite birokrasi dan pemangku kepentingan (stakeholders) terus menyadari bahwa  kapasitas dan kompetensi ini perlu terus digerakkan oleh sumber daya manusia dan pengetahuan didukung serta teknologi termasuk teknologi informasi.

Ke masa depan, dalam AEC, tantangan strategis membentuk jaringan produksi (production network) yang secara  gradual menggerakkan UMKM memasuki kerja sama antar-pelaku ASEAN. Jadi, bukan sekadar mengekspor bahan-baku mentah melulu dengan harga murah, dan menjadi mahal dan sulit terbeli lagi manakala muncul di pasar dalam bentuk produk jadi.

Jenis aset manusia yang nantinya dibutuhkan adalah sumber daya manusia yang memiliki daya ketahanan (staying power), cepat memberi respons, yang berarti tingkat inisiatif yang lebih tinggi.  

Untuk menumbuhkan tingkat lebih tinggi terhadap aset manusia, maka banyak perusahaan harus merancang kembali arti perumusan "misi dan visi perusahaan" dengan menyadari pentingnya modal sumber daya manusianya (human capital) yang terkait dengan stakeholders yang makin berpengetahuan, makin memiliki tuntutan yang lebih canggih. Mereka itu terhitung para pemegang saham, pemerintah setempat, karyawan dan pelanggan. Yang terakhir ini yang tidak kelihatan (invisible) adalah pelanggan sebagai pasar ASEAN.   

Dengan makin terdidiknya dan makmurnya mereka sebagai pelaku maupun konsumen, maka memasuki era AEC ke depan ada format usaha patungan, aliansi strategis antara perusahaan dari negara yang dalam ASEAN akan dapat menjadi model di Asia yang dominan. Keterkaitan demikian itu, dimana saja, dapat menangkap komplementaritas dan menumbuhkan sinergi. Ada beberapa patokan yang perlu perhatian para pemain dalam usaha patungan.  

Mengakui ketidaktahuan merupakan langkah pertama untuk menemukan pengetahuan. Daripada menutupi ketidaktahuan dengan marah marah atau menyalahkan orang lain, kita harus sebaiknya menyalurkan energi itu untuk belajar. Belajar bernegosiasi termasuk dalam bahasa Inggris itu haruslah menjadi nilai sentral bagi budaya perusahaan. Kalau sampai terjadi bahwa manajer tidak mau belajar atau berpengetahuan, maka gejala ini perlu ditelaah dan kalaupun ketidakmauan itu sengaja, maka atasan atau dirinya sendiri perlu memilih antara "belajar atau mengundurkan diri sementara untuk merenungkan sikap keras kepalanya itu".

Bagi perusahaan yang berskala menengah terutama di daerah sudah tiba waktunya untuk menentukan sikap mau belajar melalui pelatihan dan peningkatan kemampuan secara internal (in-house training and ugrading) secara berkesinambungan dengan fokusnya kerja sama elit birokrasi yang berpengetahuan, dunia perbankan dan pengamat yang memiliki pengetahuan dan spesialisasi untuk bisnsis internasional.  

Fokus itu berarti memiliki misi dan visi yang jelas dan ketegasan apakah pencapaian tujuan itu melalui aliansi strategik demi efisiensi atau jalan sendiri. Inilah tantangan riil yang perlu ditanggapi dengan "rencana dan program" oleh pelaku yang ingin memasuki era AEC.

*) Bob Widyahartono, MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi dan studi pembangunan Asia, khususnya Asia Timur; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) di Jakarta.

Oleh Oleh Bob Widyahartono, MA *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010