Jakarta (ANTARA News) - Mengapa mencetak uang ke luar negeri? Apakah Perum Peruri (Perusahaan Pencetakan Uang Republik Indonesia) tidak mampu memenuhi kecukupan uang dalam negeri sehingga Bank Indonesia (BI) harus ke Australia?

Apalagi pencetakan uang pecahan Rp100 ribu sebanyak 500 juta bilyet oleh Securency International and Note Printing Australia, pada 1999, justru menimbulkan masalah karena ada dugaan suap kepada dua pejabat BI berinisial "S" dan "M" senilai 1,3 juta dolar AS atau sekitar Rp12 miliar.

Deputi Gubernur BI S Budi Rochadi mengatakan pencetakan uang ke luar negeri ini merupakan kasus lama. Pencetakan itu dilakukan BI, karena BI membutuhkan cadangan uang hingga enam kali lipat menghadapi millenium bugs (menjelang pergantian tahun 1999 ke 2000).

Menurut Budi, Millenium bugs atau dikenal juga "Y2K" adalah kekhawatiran masalah komputer akan membutuhkan uang yang cukup banyak untuk belanja sistem komputer, sehingga perlu cadangan uang yang signifikan.

Hal sama diungkapkan oleh Herman Yoseph Susmanto yang pada 1999 menjabat sebagai Direktur Peredaran Uang BI.

Susmanto menjelaskan bahwa pencetakan uang ke luar negeri dilakukan BI karena terpaksa karena periode 1998-1999 BI mengalami shortage (kelangkaan) uang pascakrisis ekonomi Asia.

Kelangkaan uang pascakrisis ini menyebabkan BI melakukan pencetakan uang tidak hanya di Australia, tetapi juga di Singapura.

"BI mengalami shortage uang kartal sehingga memesan uang kertas di luar Peruri yang telah mengalami over kapasitas produksi, yakni De La Rue Singapore untuk pecahan Rp50 ribu seri Soeharto," kata Susmanto.

Namun, lanjutnya, di masyarakat berkembang sentimen menolak uang kertas seri Soeharto, sehingga BI harus mengantisipasi kemungkinan yang lebih buruk terhadap potensi shortage yang lebih parah.

Aksi penolakan masyarakat terhadap uang pecahan Rp50 ribu seri Soeharto dan kekhawatiran "Y2K" membuat pimpinan BI saat itu memutuskan untuk menerbitkan pertama kali pecahan Rp100 ribu dengan gambar Soekarno-Hatta yang sangat akseptabel bagi masyarakat.

Susmanto mengatakan bahwa pimpinan BI memilih antara dua alternatif menggunakan katun (kertas) atau polymer (plastik) sebagai bahan uang pecahan baru tersebut.

BI memutuskan memakai polymer karena pertimbangan harga katun yang meningkat, banyaknya pemalsuan uang kertas berbahan katun, sementara bahan polymer sulit dipalsukan, usia edar polymer empat kali dibanding yang berbahan katun.

"Cetak uang berbahan polimer ke Australia karena hanya mereka yang saat itu di dunia yang mampu," tegas Susmanto.

Keputusan BI cetak uang pecahan Rp100 ribu berbahan polimer ke Australia ini juga diakui oleh Sekretaris Perusahaan Perum Peruri Tony Pandelaki.

"Pada 1999 memang kami belum mampu cetak uang berbahan polimer, tapi kalau saat ini mampu setelah mendatangkan alat baru," kata Tony.

Tony juga mengungkapkan bahwa sebelum BI melakukan cetak uang ke luar negeri pihak Peruri juga ditawari sebelumnya.

"Sebelumnya BI telah menawari Peruri, tapi pada saat itu kami sudah over kapasitas sehingga otoritas moneter memutuskan untuk melakukan tender internasional," kata Tony Pandelaki kepada ANTARA melalui telepon selulernya.

Bahkan sekretaris perusahaan Peruri ini mengungkapkan bahwa kemampuan maksimal cetak uang Peruri pada 1999 masih sekitar 4,4 miliar bilyet uang dan itu sama dengan permintaan BI di awal tahun.

"Ketika BI memutuskan menambah stok uang hingga enam kali lipat menghadapi millenium bugs kami saat itu mengakui tidak mampu," kata Tony.

Terbesar keempat

Peruri mampu mencetak uang sebanyak 7,2 miliar bilyet per tahun sesuai permintaan dari BI saat ini.

"Dengan alat baru yang kami miliki saat ini kapasitas produksi kami mencapai 7,1 miliar bilyet uang, dengan order BI 2010 sebanyak 7,2 miliyar bilyet kami mampu memproduksinya," kata Tony.

Tony menjelaskan bahwa produksi normal Peruri per minggu adalah 5 hari kerja untuk mencapai produksi 7,1 miliar bilyet tersebut, sedangkan 1 juta miliar bilyet dapat dikerjakan jam tambahan Sabtu-Minggu.

Dengan kemampuan cetak uang hingga 7 miliar bilyet ini, kata Tony, Peruri merupakan pencetak uang terbesar keempat di dunia.

"Saat ini kami hanya kalah dari China, India dan AS saja. Kemampuan cetak uang tersebut didasarkan pada jumlah penduduk setiap negara, karena jumlah penduduk Indonesia besar maka kapasitas cetak uang kami juga besar," katanya.

Bahkan Peruri saat ini juga mampu mencetak pesanan dari luar negeri, seperti seperti Singapura, Malaysia, Nepal dan Mauritius. Khusus untuk Nepal sejumlah 100 juta bilyet dan Mauritius sebanyak 32 juta keping uang logam.

Untuk dalam negeri, BI telah memesan 6,6 miliar bilyet dan sisa dari tahun lalu masih sebanyak 600 juta bilyet. Sedangkan untuk uang logam untuk produksi domestik sebanyak 1,6 miliar keping uang logam.

Tony menjelaskan bahwa BI melakukan pesanan cetak uang dilakukan setiap awal tahun. "Kami tiap awal tahun dapat perintah cetak dari BI, setelah itu dirapatkan desain, jumlah dan termin pengirimannya.

"Setiap bulan kami harus memenuhi kewajiban pengiriman uang kepada BI. JIka kewajiban bulan ini tak terpenuhi bisa dipenuhi pada bulan selanjutnya, yang penting kami harus memenuhi kewajiban dalam setahun harus terpenuhi," jelasnya.

Tentang desain dan pecahan baru, kata Budi Rochadi, tidak tiap tahun berubah. "Untuk pecahan dan desain baru ditentukan berdasarkan kebutuhan. Jika perlu desain baru yang akan dilakukan studi, jadi tidak tiap tahun," kata Budi Rochadi.

Dia juga menjelaskan bahwa uang yang dicetak Peruri atau dari perusahaan pencetak uang lainnya itu baru calon uang dan belum bisa dijadikan alat tukar.

"Setelah dikirim ke BI dan diberi nomor seri maka uang itu baru bisa menjadi alat tukar," katanya.

Siap Diaudit

Tentang dugaan isu suap kepada pejabat BI, Budi Rochadi menegaskan bahwa pihaknya akan terbuka apabila ada pihak yang akan melakukan audit isu suap tender pencetakan uang pecahan Rp100 ribu pada 1999.

"Kalau KPK, Jaksa Agung mau mengaudit, kami terbuka saja. Untuk sementara kami melihat tidak ada pengecualian apa-apa (atas tender pencetakan uang)," kata S. Budi Rochadi saat menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Selasa.

Ia menjelaskan bahwa pihak yang berwenang untuk melakukan investigasi apakah ada pelanggaran atau tidak. "Ya, biar aja kalau terbukti dan kemudian mau memeriksa BI," katanya.

Budi Rochadi menjelaskan bahwa isu suap ini muncul setelah adanya korespondensi Christanto melalui faksimile yang dilansir dari harian The Age, Selasa (25/5), Christanto menerima komisi dari Securency International and Note Printing Australia senilai 3,65 juta dolar AS melalui rekening di bank Singapura sesaat setelah dia membantu memenangkan kontrak dari BI pada tahun 1999.

Menanggapi itu, empat pejabat BI, yakni mantan Direktur Peredaran Uang BI Herman Yoseph Susmanto, mantan Deputi Direktur Peredaran Uang BI Mardiyo, mantan Deputi Direktur Peredaran Uang BI Christian Sudirdjo dan mantan Kepala Bagian Perencanaan Peredaran Uang BI I Made Sudana tidak merasa berhubungan dengan Christanto, yang mengaku sebagai perwakilan dari Securency International and Note Printing Australia di Indonesia.

Susmanto yang mewakili ketiga rekannya yang disebut dalam fax pejabat BI inisial "S" dan "M", bahwa kontrak pencetakan uang ke Australia dilakukan tanpa perantara sama sekali.

Dia mengungkapkan bahwa proses pencetakan uang awalnya diadakan pertemuan antara BI dan Securency International and Note Printing Australia pada 17 Mei 1999.

Dalam pertemuan tersebut dari pihak BI diwakili oleh Gubernur BI Syahril Sabirin, Deputi Gubernur bidang Peredaran Uang Dono Iskandar Djojosubroto, Direktur Peredaran Uang BI Herman Yoseph Susmanto, Deputi Direktur Peredaran Uang BI Christian Sudirdjo dan Kepala Bagian Perencanaan Peredaran Uang BI I Made Sudana.

Sedangkan dari pihak Securency International and Note Printing Australia terdiri dari Direktur Utama Myles Curtis dan didampingi oleh Hugh Brown dan Neil E Burnham.

Dia menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah berhubungan dengan Radius dalam hubungan BI dengan Securency International and Note Printing Australia terkait pencetakan uang polymer tersebut.

Bahkan Susmanto menegaskan masalah kontrak antara BI dan Securency International and Note Printing Australia itu sudah selesai pada 1 Juni 1999.

"Jadi tentang fax yang tertanggal 1 Juli 1999 itu sudah kesiangan," jelasnya. (*)

J008/T010

Oleh Joko Susilo
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010