Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah aktivis Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP) menyarankan keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjumlah sembilan orang dengan komposisi tiga wakil dari masing-masing unsur parpol, birokrat dan independen.

"Alasannya karena Komisi II memutuskan jumlah Dewan Kehormatan sebanyak sembilan orang. Jadi kurang tepat kalau anggota KPU tujuh orang saja," ujar Fernita Darwis, Ketua Bidang Politik GPSP saat beraudiensi dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR di Gedung DPR Jakarta, Kamis.

GPSP juga mengusulkan agar sembilan orang anggota KPU itu terdiri dari tiga orang wakil parpol, tiga mewakili birokrat atau pemerintah dan tiga lainnya dari unsur independen/akademisi/organisasi massa.

"Komposisi seperti ini penting agar terjadi keseimbangan dalam KPU sekaligus menciptakan suasana yang saling mengawasi antara unsur parpol, pemerintah dan pakar atau ormas," ujarnya.

Usulan GSPS itu didasarkan pada pengalaman sejarah penyelenggaraan pemilu sejak 1955-2009. Pada 1955, pemilu dipimpin oleh parpol, lalu pemilu 1971-1997 dipimpin pemerintah atau birokrat.

Kemudian pada pemilu 1999 penyelenggara gabungan parpol dan pemerintah serta pemilu 2004-2009 penyelenggaranya adalah non parpol (akademisi/ormas).

Menurut Fernita, pihaknya mengusulkan tiga dari sembilan anggota KPU tersebut adalah perempuan. Mereka terdiri atas seorang perempuan dari unsur anggota parpol, seorang perempuan dari pemerintah dan seorang perempuan dari unsur akademisi/ormas/independen.

"Jadi kami tidak anti anggota KPU itu dari kalangan parpol atau harus independen. Kami mengusulkan agar keanggotaan KPU itu terdiri dari tiga unsur yang mewakili semuanya," ujar Fernita.

GPSP mengusulkan panitia seleksi anggota KPU juga terdiri dari tiga unsur, yakni DPR, pakar/ormas dan pemerintah. Hal itu penting agar dalam panitia seleksi KPU juga bisa terjadi keseimbangan.

Mengenai posisi badan Pengawas Pemillu (Bawaslu), organisasi GPSP memandang perlunya menempatkan Bawaslu pada porsi yang lebih pas untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat pencari kepastian dan keadilan dalam pemilu.

Bawaslu sebaiknya ditempatkan sebagai penyelidik sekaligus penyidik yang dilakukan bersama-sama kepolisian. Dengan demikian hasil penyelidikan dan penyidikan Bawaslu itu bisa langsung dilimpahkan ke kejaksaan dan pengadilan.

"Ini penting mengingat pada pemilu 2009 terjadi dinamika antara bawaslu dan kepolisian yang merugikan pemilih dan calon," ujarnya.

Menanggapi sejumlah usulan GPSP itu, Wakil Ketua Baleg DPR Sunardi Ayub menjanjikan akan menyampaikan aspirasi masyarakat itu dalam rapat pembahasan RUU tentang Penyelenggara Pemilu yang saat ini sudah sampai tahap panitia kerja (Panja).

"Kita akan bawa aspirasi ini dalam rapat panja RUU itu dan kita lihat saja bagaimana hasilnya nanti," ujarnya.

Mengenai tim seleksi anggota KPU, Sunardi yang juga Ketua Fraksi Partai Hanura DPR itu menjelaskan bahwa hal tersebut diserahkan sepenuhnya kepada Presiden untuk menentukan.

Jika tim seleksi diserahkan lagi kepada DPR, maka yang akan terjadi adalah tarik menarik yang semakin panjang sehingga persoalan tidak akan selesai.

"Jadi biarkan saja Presiden yang menentukan siapa-siapa saja yang menjadi tim seleksi anggota KPU itu," ujarnya. (*)
(T.D011/B/S019/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010