Jakarta (ANTARA News) - Kalangan pengamat menilai Rancangan Instruksi Presiden (Rinpres) tentang Penundaan Pelayanan dan Penerbitan Izin Baru pada Hutan Primer dan Sekunder serta Lahan Gambut pada Kawasan Hutan dan Area Penggunaan Lain (APL), telah mengesampingkan kepentingan nasional dan berpotensi merugikan usaha kehutanan Indonesia.

Direktur Eksekutif Biro Kajian Hukum dan Kebijakan Kehutanan Sadino, Senin, mengatakan Rinpres yang dipersiapkan Satgas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus) itu melenceng dari isi Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia dengan memasukkan hutan sekunder dan area penggunaan lain (APL).

"Satgas REDD+ tidak paham tentang hutan Indonesia dan lebih mengikuti pesanan perusahaan serta LSM asing," katanya.

Padahal di dalam LoI disepakati bahwa moratorium hanya mencakup hutan primer dan kawasan hutan gambut.

Menurut dia, sejak awal, LoI banyak menuai kritik karena ketika kebijakan pemerintah untuk mengatur Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) hutan Indonesia saja belum tuntas, sudah muncul Rinpres yang semakin membuat keadaan menjadi tidak menentu.

"Rinpres moratorium itu menciptakan keadaan yang semakin tidak menentu. Tidak jelas pelaksanaannya.Satgas itu sebagai apa? Bagaimana lembaga dan kekuatan hukumnya?," kritik Sadino.

Ia menengarai pengaruh asing terlalu besar dalam Rinpres moratorium hutan tersebut dan ini terlihat dari lemahnya pemahaman Satgas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ yang justru mengaburkan LoI sendiri.

Dia menilai jika inpres tersebut dikeluarkan, maka pasti akan merusak tatanan hukum yang ada, mengganggu stabilitas ekonomi nasional, dan menimbulkan konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

"Akan muncul konflik antara pemerintah pusat dan daerah. Setiap orang atau kelompok yang merasa dirugikan atas kebijakan tersebut juga bisa menggugat pemerintah, baik pusat maupun daerah, atas kepemilikan lahannya maupun atas Hak Pengelolaan Hutan (HPH)," ujarnya.

=Sementara itu Lektor Kepala Bagian Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB Dodik Ridho Nurrochmat menyatakan, LoI harus disesuaikan dengan kepentingan nasional dan lebih mengakomodasi kepentingan rakyat.

"LoI jangan sampai mengintimidasi kepentingan nasional. Inpres juga seharusnya tidak menghentikan semua izin hutan, karena ada alokasi untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi rakyat di dalamnya," katanya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi menduga Bank Dunia telah mengarahkan pemerintah Indonesia dengan tidak memberikan izin baru untuk pemanfaatan areal hutan sekunder dan primer melalui paket regulasi moratorium izin.

"Jika substansinya hanya mengekor pada kepentingan asing, sehingga tidak sejalan dengan Undang-undang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN) dan undang-undang lainnya, maka rinpres moratorium tersebut berpotensi besar diujimaterikan oleh para pihak terkait," katanya. (*)
S025/S004/

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011