Akhirnya sebuah model budaya yang irasional hadir melalui program televisi, memasuki ruang-ruang suci keluarga Indonesia, meracuni sendi-sendi pemahaman anak-anak bangsa. Dan kita merayakan dengan gegap gempita
Surabaya (ANTARA News) - Pegiat "New Media Art" dari Surabaya, Benny Wicaksono, mengajak anak-anak muda Indonesia untuk melakukan pemberontakan pada kapitalisme global dengan cara yang cerdas, intelek, kritis, dan rasional.

Ia mengemukakan hal itu dalam panggung orasi bertajuk "Satu-7-an" yang digelar DBUKU Bibliopolis pada setiap tanggal 17 setiap bulan di Royal Plaza, Surabaya, Kamis.

"Forum-forum seperti ini sangat langka di kota industri seperti Surabaya. Perbincangan yang sifatnya kebudayaan sudah terabaikan, apalagi anak-anak muda cenderung gemar ke mal dengan menghabiskan waktu, uang, dan peluang," tuturnya.

Benny memuji langkah Dbuku Bibliopolis yang hadir sebagai sebuah perpustakaan di mal menjadi sebuah tawaran alternatif dari hal-hal yang sifatnya pragmatis, konsumtif, dan mendorong pemberontakan kebudayaan.

"Ini model pemberontakan anak muda yang meskipun dalam diam, namun sesungguhnya menyajikan sebuah pemberontakan. Ini adalah model suatu agenda sejarah yang memberikan tawaran wilayah alternatif dari kesesakan hal-hal yang sifatnya pragmatis," paparnya.

Menurut dia, gerakan seperti itu penting dilakukan oleh anak muda, karena anak muda di Indonesia kurang memahami nilai dasar dari budaya yang mereka gandrungi saat ini.

"Mereka kurang mengerti bahwa budaya dari luar negeri yang mereka serap sesungguhnya memiliki semangat pemberontakan revolusioner terhadap kondisi sosial di negeri asalnya. Bukan sekedar gaya yang dianggap modern dan keren seperti yang mereka rayakan," ujarnya.

Semestinya, menurut dia, anak-anak muda menyediakan sedikit waktu untuk belajar bagaimana counter culture itu muncul sebagai sebuah bentuk protes yang sangat cerdas dan intelektual.

"Bukan sekedar perayaan dari ungkapan yang sinis. Protes itu pada sejarahnya adalah suatu bentuk perlawanan terhadap tekanan dari pihak-pihak yang berkuasa," katanya, menegaskan.

Ia mencontohkan budaya hip hop yang lahir di Inggris itu berasal dari kaum yang meneriakkan segala caci maki dari tekanan hidup dan perayaan kemiskinan di tengah kemakmuran negeri yang maju.

"Hip-hop kemudian menjadi suatu model pemberontakan yang mendunia. Sebuah budaya perlawanan yang alamiah," katanya.

Dalam pandangannya, bisa jadi budaya "Metal" (melayu total) yang merajalela secara sendu dan mendayu-dayu dalam bentuk penampilan sangar, gahar, penuh anting, dan simbol-simbol pemberontakan tapi melagukan lagu cengeng, mengiba, merupakan pemberontakan model budaya ala Melayu.

"Tapi, pemberontakan semacam itu tanpa melakukan suatu semangat, tanpa membangun suatu apresiasi, hanya larut, tidak cerdas, tidak intelek, tidak kritis, dan tidak rasional," katanya.

Bahkan, model pemberontakan yang tidak rasional itu akhirnya muncul dalam budaya televisi yang hanya bicara soal rating.

"Akhirnya sebuah model budaya yang irasional hadir melalui program televisi, memasuki ruang-ruang suci keluarga Indonesia, meracuni sendi-sendi pemahaman anak-anak bangsa. Dan kita merayakan dengan gegap gempita," katanya.

Ia menegaskan bahwa kondisi itu merupakan konsekuensi dari kapitalisme global yang menyerang dengan teknologi dan  mencaplok sisi-sisi kecerdasan anak muda yang seharusnya diberi informasi yang membangun kepribadian, kecakapan, dan nilai-nilai moral.

"Tidak bisa tidak yang bisa kita lakukan adalah membangun cara berpikir pemberontakan kebudayaan. Membangun model dari cara berpikir alternatif, cerdas, rasional, yang sanggup memberi satu pemahaman baru kepada generasi muda Indonesia. Kita bisa belajar kepada alam dan lingkungan sekitar kita, salah satunya adalah membaca buku," tuturnya.
(E011/C004)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011