Jika pemerintah memiliki kelemahan kemudian pers mengkritisi, maka tidak bisa kemudian dianggap menyerang.."
Surabaya (ANTARA News) - Ketika menghadiri peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2011 di Kupang, NTT, awal Februari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuliskan pesan dengan tinta emas pada batu marmer (prasasti) berwarna hijau.

"Para Insan Pers Indonesia, Teruslah Berjuang Untuk Mencerdaskan Bangsa dan Mengembangkan Kehidupan Demokrasi Kita".

Selama empat hari di NTT, presiden menghadiri kegiatan para "kuli disket" itu. Tampaknya tidak ada masalah antara presiden dan pers. Keduanya malah satu sama lain menganggap mitra.

Lain presiden, lain pembantunya. Yang disebut terakhir ini kadang memandang pers bukan mitra.

Menkominfo Tifatul Sembiring misalnya, meminta pers seimbang memberitakan hal positif dan negatif karena menurutnya banyak prestasi bangsa yang perlu disiarkan media.

Dia mencontohkan hasil pertanian yang kerap luput dari pemberitaan, sementara kerusuhan mendapat porsi besar yang acap ditayangkan dan diulas berulang-ulang.

"Kebebasan pers oke, tetapi harus bertanggungjawab. Pers bertanggungjawab kepada siapa?" kata Menkominfo pada Konvensi Media Massa, masih dalam rangkaian HPN 2011.

Ia meminta pers logis dalam berberita, tidak sekadar provokasi atau mengejar rating. Pers mempunyai tanggung jawab sosial, mencerdaskan masyarakat, dan harus bermoral.

"Kami rindu berita investigasi yang mendalam, mana khasanah budaya kita. Itu semua jangan dilupakan oleh kalangan pers," kritiknya.

Tifatul juga menyayangkan pengunaan media sosial seperti Facebook dan Twitter yang sering untuk mencaci-maki, fitnah atau menyebarkan kebohongan dengan menyamarkan akun.

Tifatul menyatakan, komitmen pemerintah kepada kebebasan pers tetap dihormati, namun ia mengusulkan kebebasan pers itu harus berkarakter.

Dia lalu menyebut enam ciri kebebasan pers yang disebutnya berkarakter, yaitu bermoral, etika sesuai kode etik jurnalistik, kejujuran dan bertanggungjawab, antikorupsi, peduli terhadap masyarakat bawah, dan profesional dalam berusaha dan menjalankan tugas jurnalistiknya.

"Ya namanya juga usul, boleh dipakai atau tidak. Kami menyadari bahwa menjalankannya tidak mudah, manakala berhadapan dengan pemilik modal dan menjadi alat politik," kata Menkominfo.

Tak hanya Menkominfo, Sekretaris Kabinet Dipo Alam yang kini sedang berseteru dengan pers bahkan melontarkan "ancaman" boikot terhadap media tertentu.

Dipo menyebut Metro TV, TV One dan Media Indonesia sebagai media tendensius, tidak berimbang dan kerapkali menjelek-jelekkan pemerintah.

Ia menambahkan, pemberitaan yang berlebihan malah serih membuat citra Indonesia di mata asing memburuk sehingga merugikan bangsa dan negara.

Berlebihan

Dipo menceritakan, dua duta besar negara sahabat yang warga negaranya memiliki investasi besar di Indonesia menanyakan apakah di Indonesia terjadi kekacauan dan Presiden akan dimakzulkan. Asosiasi-asosiasi luar negeri juga menanyakan hal yang sama, tambah Dipo.

"Ini membuat kita sebagai bangsa dan negara dirugikan, seolah-olah Indonesia kacau. Mereka takut, padahal kita butuh investasi untuk pembangunan, untuk menyediakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan rakyat," katanya.

Ia menilai media massa juga perlu dikritik, sebagaimana kritik terhadap para humas pemerintah yang lemah dalam nenginformasikan kemajuan yang diraih pemerintah.

Soal boikot itu, Dipo bercerita, awalanya dari pertemuan internalnya dengan Direktur Jenderal dan Humas Pemerintah agar dana negara jangan hanya digunakan untuk iklan besar, baliho, apalagi untuk media yang menjelek-jelekkan pemerintah.

Lebih baik, katanya, dana itu diintensifkan untuk memperbaiki komunikasi dalam menginformasikan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai atau sedang dijalankan. "Jangan hanya foto menteri besar-besar di baliho," sindirnya.

Tapi pertemuan itu dibocorkan. Seorang wartawan kemudian mengonfirmasikan soal ini kepadanya dan Dipo menjawab jujur.

"Jadi, intinya sebenarnya kita ingin agar dana-dana tersebut dipakai lebih efektif untuk menginformasikan pembangunan daripada untuk media-media yang menjelek-jelekkan pemerintah," paparnya.

Pendapat Dipo ini berbalikkan dengan pandangan Ketua Dewan Pers Bagir Manan yang menyebut pers di era sekarang sudah berada di jalan yang benar (on teh track), kendati di sana sini masih memerlukan perbaikan.

Kebebasan pers baru dilihat pada demokrasi kekuasaan dan fenomena politik, padahal demokrasi adalah juga masalah sosial ekonomi.

"Demokrasi semestinya kita lihat sebagai konsep kesejahteraan, bukan hanya kekuasaan. Misi sosialnya membangun kesejahteraan umum," kata Bagir.

Para tokoh pers menyayangkan pernyataan Dipo Alam itu dan menilainya berlebihan serta tidak tepat. "Dia boleh saja bicara tidak suka dengan ini, tetapi tidak memberi vonis. Boikot itu telah memberi vonis dan itu menganggu kebebasan pers," kata wartawan senior Fikri Jufri.

Ia berharap pernyataan Dipo itu hanya salah lidah. "Semoga itu hanya slip of the tongue karena saya kenal Dipo Alam itu aktivis Dewan Mahasiswa UI dulu," tuturnya.

Sementara wartawan senior Rosihan Anwar menolak pernyataan Dipo Alam yang menyebutkan pers pemangku kekuasaan.

"Pers itu bukan kekuasaan, karena kekuasaan itu identik dengan politik, politik dalam kekuasaan itu kemampuan untuk menguasai pemerintah, bisa memaksakan kehendak, bisa mengerahkan polisi, pers tidak begitu," katanya dalam diskusi liputan konflik dan traumatik di Jakarta.

Rosihan menandaskan, pers tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendak karena pers hanya mencari informasi dan menyiarkannya kepada masyarakat.

Budayawan Arswendo Atmowiloto sependapat dengan Rosihan. "Pers seringkali disebut lebah tanpa sengat," tukasnya.

Bisa bersinerji

Kalangan akademisi berbeda pandangan dalam menyikapi perseteruan Dipo dan pers ini.

Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi, Semarang, Gunawan Witjaksana berpendapat pers dan pemerintah seharusnya bersinergi karena sama-sama melayani masyarakat.

"Jika pemerintah memiliki kelemahan kemudian pers mengkritisi, maka tidak bisa kemudian dianggap menyerang karena pemiliknya menjadi lawan politik," paparnya.

Pers adalah pilar demokrasi sehingga tidak perlu diboikot. Lawanlah pemberitaan yang dianggap merugikan dengan opini tandingan.

Gunawan mengkritik ancaman boikot Dipo yang dianggapnya tidak tepat dilontarkan di era kebebasan pers seperti sekarang.

Pernyataan Dipo, katanya, menentang semangat kebebasan pers dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Penyiaran, dan UU Keterbukaan Informasi Publik.

"Regulasi jelas menyebutkan bahwa jika tidak puas, maka ada hak jawab, bisa melalui dewan pers, ke komisi penyiaran Indonesia, tidak dengan mencedererai kebebasan pers," ucapnya.

Tapi, sosiolog dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr Musni Umar justru memahami sikap Dipo Alam yang tegas membela Presiden yang banyak dikritik ini.

"Sikap politik dan langkah yang diambil Dipo Alam itu harus dihargai dan dihormati sebagaimana halnya kita menghargai dan menghormati mereka yang mengeritik, mengecam dan tidak setuju kepemimpinan Presiden SBY," kata Musni.

Dalam demokrasinya sendiri, kata dia, perbedaan pendapat dan sikap politik sangat dihargai. Bahkan dalam Islam, perbedaan pendapat itu rahmat.

Lalu mengapa sikap Dipo mendapat reaksi keras? Musni mengajukan tiga alasan, yaitu perbedaan kepentingan, terganggu kepentingan, dan tidak terbiasa menerima kritik.

Media sendiri tak bisa disebut selalu benar. "Media dikendalikan pemodal dan dijalankan oleh wartawan. Mereka itu bukan malaikat, bisa salah dan bisa pula benar," kata Musni.

Dan karena keduanya memiliki kepentingan, maka keduanya bisa bersatu dan bisa pula berseberangan. (*)

Oleh Chandra HN Ichwani
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011