Padang (ANTARA News) - Rumah Gadang yang merupakan rumah adat Minangkabau di Sumatera Barat, kini banyak yang sudah ditinggalkan penghuninya dan terkesan kurang terawat.

Salah satu penyebab banyaknya Rumah Gadang ditinggalkan penghuninya yakni masyarakat Minang kini cenderung ingin memiliki rumah sendiri yang terpisah dari rumah kaumnya, kata Dr Eko Alvares, pakar ilmu arsitektur dari Fakultas Teknik Arsitektur Universitan Bung Hatta Padang, Sabtu.

Menurut dia, Rumah Gadang merupakan salah satu pengikat kaum adat masyarakat Minangkabau, namun perkembangan zaman menyebabkan bangunan khas budaya ini sudah banyak ditinggalkan.

Ia menyebabkan, banyak masyarakat ingin memiliki rumah sendiri terlepas dari rumah kaumnya karena Rumah Gadang dinilai sudah tidak mampu lagi menampung sejumlah aktifitas masing-masing anggota keluarga penghuni.

Selain itu, kurangnya kemampuan materi kaum pemilik Rumah Gadang untuk memperbaiki atau membangun rumah sejenis yang baru, tambahnya.

Ia mengatakan, kondisi ini cukup disayangkan apalagi, arsitektur Minangkabau dalam bangunan Rumah Gadang mengadopsi teknik bangunan tahan gempa. "Para pakar arsitektur selama ini mengenal Rumah Gadang merupakan salah satu bangunan dengan konstruksi tahan gempa", ucap Dr Eko Alvares.

Tahan gempa ini karena arsitektur Rumah Gadang memiliki keunikan bentuk pada atap yang menyerupai tanduk kerbau dibuat dari bahan ijuk. Bentuk badan rumah segi empat dan membesar ke atas (trapesium terbalik).

Ia menambahkan, atap Rumah Gadang melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau yang sisinya melengkung ke dalam, sedangkan bagian tengahnya rendah seperti perahu dan secara estetika merupakan komposisi yang dinamis.

Desain bangunan seperti ini menurut para ahli arsitektur merupakan kontruksi bangunan tahan gempa, katanya.

Menurut dia, disebut Rumah Gadang (rumah besar), bukan hanya karena bentuk fisiknya yang besar, melainkan karena fungsi dari bangunan adat budaya Minangkabau ini.

Rumah Gadang, disamping sebagai tempat tinggal, juga digunakan sebagai tempat musyawarah keluarga, tempat mengadakan upacara-upacara, pewarisan nilai-nilai adat, dan reprsentasi budaya matrilineal.

Sebagai tempat tinggal, Rumah Gadang memiliki tata aturan yang unik, dimana perempuan yang telah bersuami mendapat jatah satu kamar dan perempuan yang paling muda mendapat kamar yang paling ujung dan akan pindah ke tengah jika ada perempuan lain atau adiknya yang bersuami.

Sedangkan perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur dan gadis remaja memperoleh kamar bersama pada ujung yang lain.

Untuk laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau (tempat ibadah suku, red) milik kaumnya masing-masing.

Rumah Gadang juga merupakan tempat bermusyawarah untuk mencari kata mufakat antaranggota keluarga dan tempat untuk membicarakan semua masalah serta dicarikan jalan keluarnya.

Dengan pembagian ruangan ini, maka keselarasan dan keharmonisan antaranggota keluarga dibangun, tambahnya.

Ia mengatakan, dengan fungsi-fungsi dimilikinya maka tidak heran jika Rumah Gadang sangat dimuliakan, bahkan dipandang suci oleh masyarakat Minangkabau.

Menurut dia, status Rumah Gadang begitu tinggi telah melahirkan beragam tata aturan, seperti setiap orang yang hendak naik ke rumah ini terlebih dahulu harus mencuci kaki di bawah tangga.

Ia mengatakan, sebagai milik bersama sebuah kaum (keluarga besar) maka pembangunan Rumah Gadang dibangun di atas tanah kaum ini dilakukan secara bergotong-royong.

Namun yang bertanggungjawab dalam proses pembangunannya adalah tukang ahli yang dapat memanfaatkan setiap bahan yang tersedia menurut kondisinya, dimana setiap kayu ada manfaatnya dan dapat digunakan secara tepat jika tukangnya ahli. (H014/M019/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011