Jakarta (ANTARA News) - Angelina Sondakh, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat mengatakan, bagaimana pun Indonesia tetap membutuhkan film impor sebagai referensi dan pembangkit motivasi bagi sineas Indonesia untuk memproduksi film-film bermutu tinggi.

"Tetapi yang utama sekarang, ialah, potensi perfilman nasional tersebutlah yang harus lebih digali dan diaktualisasikan secara optimal, agar dapat menjadi solusi bagi permasalahan perfilman saat ini," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan itu, masih terkait dengan isu pajak atas film impor, sehingga sempat diprotes oleh asosiasi produsen film Amerika Serikat beberapa waktu lalu, yang mengakibatkan banyak bioskop di tanah air tak lagi punya stok film dari luar negeri.

"Saya pikir perlu ada solusi segera untuk menjaga keseimbangan peredaran film di seluruh bioskop di tanah air. Dan seperti saya tegaskan tadi, kita tetap membutuhkan film impor sebagai referensi dan pembangkit motivasi sineas Indonesia," ujarnya.

Namun, menurutnya, kita tetap perlu membuat penyesuaian bagi tercapainya rasa keadilan dalam soal pengenaan pajak atas film impor dan film nasional, sehingga kasus hilangnya stok film luar negeri beberapa waktu lalu, tidak terjadi lagi.

"Yang lebih penting lagi, ialah, segera melakukan reaktualisasi terhadap potensi perfilman kita," tegas mantan Putri Indonesia yang juga sempat bermain film dan menjadi bintang iklan ini.


Perangi Monopoli Distribusi

Angelina Sondakh kemudian mengungkapkan kesepakatan yang dicapai dalam rapat kerja antara Komisi X DPR RI dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, belum lama berselang.

"Dalam rapat tersebut dihasilkan rencana dan langkah-langkah bagi reaktualisasi potensi perfilman nasional yang dapat dimulai dengan dukungan Peraturan Pemerintah dan berlanjut pada penerapan pajak nol persen bagi bahan baku mentah pembuatan film" ungkapnya.

Selanjutnya, katanya, membentuk `genre` film yang bervariasi sesuai segmentasi pasar.

"Selain itu, mengupayakan pendidikan film melalui pengembangan SDM perfilman yang dididik secara khusus dalam fakultas atau akademi film, diberlakukannya subsidi film oleh pemerintah dan diterbitkannya beasiswa film," jelasnya.

Rapat kerja (Raker) itu, menurutnya, juga merekomendasi dikembangkannya laboratorium film pada jenjang pendidikan, membatasi peredaran sinetron di televisi dan menggantinya dengan Film Televisi (FTV) untuk lebih memacu karya film.

"Raker pun sepakat melahirkan kesimpulan tentang pentingnya kepedulian atas hak cipta film nasional, mengupayakan diangkatnya potensi pariwisata Indonesia dalam film yang dikerjakan melalui kerja sama dengan pihak asing seperti yang pernah terjadi dalam film `Eat Pray Love` yang mengambil syuting di Bali," kata Angelina Sondakh.

Selanjutnya, Raker merekomendasikan pula upaya meningkatkan pengiriman film Indonesia ke festival dan bursa film internasional di luar negeri.

"Tetapi yang tidak kalah pentingnya, ialah, memastikan kuota film import agar peredarannya dapat berimbang dengan film nasional, menurunkan pajak film lokal yang selama ini 10 persen dan menghapus monopoli distributor film yang telah dikuasai oleh grup bioskop 21 dan XXI," tandasnya.

Khusus untuk masalah `perang atas monopoli distribusi film` ini, menurut Angelina Sondakh, dilakukan dengan mendorong pengembangan bioskop daerah guna memperluas ruang publik dalam mengkonsumsi film nasional dan meningkatkan peran pertunjukan film keliling indonesia (Perfiki) demi mengatasi keterbatasan gedung bioskop maupun layar.(*)

(ANT/M036)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011