Sanaa (ANTARA News/AFP) - Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh mengumumkan keadaan darurat Jumat setelah petugas medis mengatakan bahwa 41 orang tewas ketika pendukung rejim dan polisi melepaskan tembakan ke arah pemrotes di Sanaa.

"Dewan keamanan nasional mengumumkan keadaan darurat di Yaman," kata Saleh kepada wartawan.

Beberapa saksi mengatakan, pendukung Saleh melepaskan tembakan ke pemrotes dari atap-atap rumah di dekat lapangan di Universitas Sanaa, dimana demonstran yang menuntut pengunduran diri presiden berkemah sejak 21 Februari.

Seorang koresponden AFP juga melihat polisi menembaki pemrotes.

Menurut para saksi itu, lebih dari 200 orang juga cedera dalam penembakan tersebut.

Presiden AS Barack Obama mengutuk kekerasan itu dan mendesak Saleh, sekutu utamanya dalam perang melawan terorisme, memenuhi janji mengizinkan protes damai berlangsung dan melakukan dialog dengan oposisi.

Dengan korban-korban tewas terakhir itu, jumlah kematian menjadi lebih dari 70 sejak meletusnya demonstrasi yang menuntut pengunduran diri Saleh pada akhir Januari setelah berkuasa selama 32 tahun.

Seorang dokter mengatakan kepada AFP, "Sebagian besar korban terkena tembakan di kepala, leher dan dada."

Saleh mengungkapkan penyesalan atas pertumpahan darah itu dan menyebut korban sebagai "syuhada demokrasi" dan menuduh mereka yang bertanggung jawab berusaha mengganggu prakarsa perdamaian yang didukung Arab Saudi.

Selain menghadapi protes anti-pemerintah, Saleh, yang negaranya dihimpit kemiskinan, saat ini berusaha menumpas Al-Qaeda, meredam gerakan separatisme di selatan dan menjaga gencatan senjata yang rapuh dengan pemberontak Syiah di wilayah utara.

Saleh mengamati kerusuhan yang meluas di dunia Arab dan telah mengisyaratkan bahwa ia akan berhenti setelah masa tugasnya berakhir pada 2013. Ia sebelumnya memangkas pajak dan menjanjikan kenaikan gaji bagi pegawai negeri dan tentara.

Diilhami oleh pemberontakan yang menggulingkan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari dan protes anti-pemerintah di Mesir yang akhirnya menggulingkan Presiden Hosni Mubarak pada Februari, demonstran Yaman juga menuntut pengunduran diri Saleh dalam beberapa waktu terakhir.

Yaman hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.

Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.

Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al-Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP).

Para komandan militer AS telah mengusulkan anggaran 1,2 milyar dolar dalam lima tahun untuk pasukan keamanan Yaman, yang mencerminkan kekhawatiran yang meningkat atas keberadaan Al-Qaeda di kawasan tersebut, kata The Wall Street Journal bulan September.

Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaeda memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.

Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaeda AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal.

AQAP menyatakan pada akhir Desember 2009, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan.

Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaeda. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia.

Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini. (M014/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011