Denpasar (ANTARA News) - Maria Dominique, penulis buku "Tanpa Tutup-Boleh Nakal Tapi Nggak Boleh Bejat" adalah salah seorang dari sedikit penulis buku berlatar belakang artis dan wartawan.

Kepada ANTARA hari Minggu lalu (20/3), wanita kelahiran Jakarta, 14 Februari itu mengisahkan saat-saat menjadi wartawan di Jakarta dan mendapat tugas mewawancarai artis.

"Saat itu tiba-tiba yang muncul justru naluri keartisan saya. Bukan naluri kewartawanan," kata ibu seorang putri bernama Puella Maria de Lourdes Djogo, yang biasa disapa Mardom itu.

Tapi itu bukan sekadar seloroh. Mardom sempat menjadi artis sinetron antara 1995-1998, diantaranya Ali Topan Anak Jalanan, Kalau Bulan Bisa Ngomong dan Gerhana.

Dia lupa, karakter apa saja yang diperaninya dalam sejumlah sinetron tersebut. "Yang saya ingat peran sebagai penjahat bertopeng di sinetron Gerhana," ucapnya.

Meski lupa peran lainnya, tetapi dia mengaku selalu ingat honor pertama yang diterimanya, yaitu sekitar Rp250.000 per episode. "Honor itu lumayan besar untuk anak kuliahan di masa-masa sebelum krismon," ungkapnya.

Lalu mengapa dia berhenti menjadi pemain sinetron?

"Sebenarnya tidak pernah ingin berhenti main sinetron. Namun nasiblah yang membuat saya memupus harapan menjadi artis terkenal," katanya.

Seminggu sebelum tanda tangan kontrak sebagai pemeran utama di sinetron Cinta Anak Kost yang diproduksi Haris Jauhari, tiba-tiba ada pengumuman pemotongan jam siaran televisi, menyusul krisis moneter 1998.  "Jadi gagal ngetop sebagai artis," kenang penulis yang suka mengenakan sepatu boots ini.

Pensiun dari artis, Mardon kembali ke bangku kuliah. "Ya, karena pihak kampus tempat saya kuliah sudah memberi peringatan DO (drop out). Hahaha?," terangnya ringan.

Karier sebagai wartawan yang digeluti sejak kuliah tingkat II di IISIP Jakarta kembali dijalaninya setelah karirnya di sinetron meredup.

Bila di awal karier jurnalistiknya berperan sebagai reporter lepas di kelompok media Suara Pembaruan, maka setelah menyandang predikat "artis gagal" justru karier profesional kewartawanannya makin bersinar.

Sayang, setelah lima tahun berkiprah sebagai reporter politik, karier Mardom terpaksa berhenti sementara, karena terancam DO.

Dia memilih segera menyelesaikan skripsi di dua perguruan tinggi dalam waktu bersamaan. Setelah menyelesaikan kuliah jurnalistik dan filsafat di dua kampus berbeda, dia kembali menggeluti dunia kewartawanan.

Beragam desk ia jalani. Mulai redaktur politik selama tiga tahun di dua media, pindah ke desk ekonomi di harian ekonomi Moneter Indonesia, lalu mulai masuk ke jajaran media gaya hidup di Femina Group pada 2002.

Empat tahun kemudian menjadi editor senior majalah Health Today.  Kemudian, beberapa bulan bekerja untuk majalah Muscle Indonesia. Sejak 2007 hingga awal 2010, dia menduduki posisi senior editor majalah Clara.

Di sepanjang waktu itu, dia meraih banyak penghargaan jurnalistik, diantaranya yang belakangan diraih juara pertama wartawan kesehatan terbaik versi Mega Life Sciences (2007), Juara II wartawan ekonomi terbaik versi Anugerah Adiwarta Sampoerna (2008), dan Juara II Guinness Writing Competition (2009).

"Pensiun"

Tahun 2010, Mardom mengaku sempat "diramal" teman-temannya akan mencapai puncak karier kewartawanan karena setiap tahun menuai prestasi wartawan terbaik dan dikenal supel bergaul.

Benarkah tahun 2010 karier kewartawanan Mardom semakin melejit?

"Tidak! Justru sejak awal 2010, saya memutuskan untuk pensiun sebagai wartawan karier. Meski hingga kini saya masih berkiprah di media pariwisata di Bali," ucap Mardom.

Orang-orang dekatnya menganggap Mardon nekat. "Aku mau jadi somebody," kilahnya.

Mengapa dia mengundurkan diri, padahal bidang yang digelutinya itu tidak mengenal istilah pensiun, ia menjawab ringan, "Gara-gara pakai tato, jadi aku nggak boleh berangkat meliput perang ke Gaza".

Lalu, pada 23 April 2010, Mardom yang sudah menyiapkan sejumlah tulisan, meluncurkan buku pertamanya berjudul "Tanpa Tutup-Boleh Nakal tapi Nggak Boleh Bejat" di By the Beach Restaurant.

Setelah sukses merilis buku pertamanya, hari-hari penyuka sup kepala ikan ini diisi oleh berbagai acara bedah buku. Jakarta, Bandung, dan Denpasar adalah tiga kota pertama yang dirambahnya.

Nyaris setiap hari Sabtu dan Minggu, ia menggelar acara "BBS Bersama Maria Dominique" di toko-toko buku, radio, dan berbagai kafe di kota-kota besar.

"Maksudnya Bincang-Bincang Sore," katanya.

Di antara bintang tamu yang diajaknya BBS adalah mantan gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, sutradara Rudi Soedjarwo, aktor Tio Pakusadewo, Achmad Charris Zubair yang dosen filsafat UGM, dan Erman Suparno yang mantan menteri tenaga kerja.

Dia juga kerap mengakrabi anak muda.

"Saya ingin mengajak orang muda Indonesia untuk jiwa bebas. Ini memang salah satu ajakan saya untuk membangkitkan semangat orang muda Indonesia, agar tidak takut untuk `out of the box'. Supaya nggak menjadi katak dalam tempurung," katanya bersemangat.

Dia mengajak kaum muda mencintai negerinya sendiri dan tidak tergilas arus globalisasi.

Terbelenggu tabu

Lalu apa yang ingin disampaikan Maria dari buku "Tanpa Tutup"?

Pertama, tentang wanita Indonesia yang masih berpola pikir terbelenggu tabu. Misalnya problema kalau sudah jadi istri, lebih baik jadi ibu rumah tangga biasa dan kehilangan minat untuk mengaktualisasi diri atau cenderung bertahan di "kotak nyaman".

"Ini yang sedang saya bahas dalam buku berjudul `Kasta`, mudah-mudahan bisa segera terbit juga," harapnya.

Kedua, banyaknya wanita Indonesia yang ingin cepat kaya, dan beranggapan bahwa setelah kaya semua urusan selesai. Untuk tujuan ini wanita-wanita ini nekad menempuh berbagai cara, baik yang halal maupun yang tidak pantas, haram. Harga diri dibuang jauh-jauh.

Ketiga, mengajak para wanita untuk berpikir dan bersemangat bebas.

Antikah Anda pada kekayaan? "Hahaha, Tidak, sebenarnya saya tidak anti dan tidak iri. Saya tidak setuju sistem kapitalis, tapi saya juga antikomunis," tuturnya.

Dia hanya kesal melihat orang-orang ingin kaya secara instan, sehingga rela menempuh cara-cara yang seringkali tidak sesuai ajaran agama. Misalnya, menjadi istri simpanan orang kaya, melacurkan diri demi uang dan harta.

Boleh kaya, tapi dengan usaha yang halal, katanya. "Kalau saya pribadi sih, jika boleh memilih ya ingin hidup seperti Gandhi yang sederhana dan humanis," sambungnya.

Lalu apa artinya "it free thinker dan free spirit?"

"Free thinker itu sebutan saya untuk pola pikir saya sendiri, sedangkan free spirit sebutan bagi orang-orang yang berjiwa bebas," jawabnya.

Maksudnya, bebas dari penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki, berpikir negatif, curiga, berprasangka buruk, culas, penakut, was-was, khianat, dan lainnya.

Dan manusia berjiwa bebas sebaiknya bebas dari kungkungan empat pilar hasrat, yaitu harta, tahta, seks, dan popularitas.

"Ingin menikah atau menikah lagi dan lagi? Silakan, asal mampu dan tidak menyambar rumput tetangga. Ingin populer? Monggo, asalkan setelah populer siap menjadi tauladan, memberi contoh yang baik buat orang lain," demikian Mardom.(*)

T007/Z002

Oleh Tunggul Susilo
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011