Medan (ANTARA News) - Revisi Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi yang kini tengah disiapkan pemerintah dinilai langkah mundur bagi penegakan hukum di Indonesia karena melemahkan upaya luar biasa dalam pemberantasan korupsi.

"Itu (revisi) langkah mundur karena melemahkan pemberantasan korupsi," ujar anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara Taufik Hidayat ketika menjawab ANTARA di Medan, Senin.

Menurut dia, dengan Undang-Undang (UU) yang sudah ada saja dan mengandung ancaman hukuman mati, praktik korupsi masih sedemikian maraknya, apalagi jika upaya penegakan hukum dan pemberantasannya diperlemah seperti yang tertuang dalam revisi.

"Dengan UU yang sudah ada saja korupsi sudah begitu ganas dan masifnya, apalagi jika UU-nya direvisi," kata Taufik Hidayat yang politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Indonesia Corruption Watch (ICW) sebelumnya juga telah menyatakan menolak revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang disiapkan pemerintah.

"Ada sembilan kelemahan mendasar dan prinsip dalam RUU Tipikor yang diajukan pemerintah," kata peneliti hukum ICW Donal Fariz dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Surabaya, Minggu (27/3).

Di antara kesembilan kelemahan mendasar itu adalah menghilangkan ancaman hukuman mati yang sebelumnya diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) UU 31/1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

Kemudian, juga hilangnya ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal, padahal ketentuan tentang ancaman hukuman minimal merupakan salah satu ciri dari sifat "extraordinary" (luar biasa) korupsi di Indonesia.

Juga ada penurunan ancaman hukuman minimal menjadi hanya satu tahun, yang dikhawatirkan dapat menjadi pintu masuk untuk memberikan hukuman percobaan bagi koruptor.

"Kemudian juga melemahnya sanksi terhadap mafia hukum seperti suap untuk aparat penegak hukum. Dalam UU 31/1999 jo UU 20/2001 suap untuk penegak hukum seperti hakim dapat diancam hukuman minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun, sedangkan di RUU Tipikor ancaman minimal hanya satu tahun dan maksimal tujuh tahun saja," kata Donal Fariz.

Sependapat dengan ICW, Taufik Hidayat menilai revisi terhadap UU Tipikor merupakan sebuah langkah mundur dan sangat disayangkan.

"Jika benar direvisi seperti itu, maka semangat mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih akan semakin jauh dari harapan, termasuk di Sumut ini yang sudah terlanjur mendapat predikat sebagai daerah terkorup nomor satu di Indonesia," katanya.

Menurut dia, seharusnya revisi terhadap UU Tipikor membuat ancaman hukuman bagi koruptor bertambah berat, bukannya semakin ringan.

Pada kesempatan terpisah, anggota DPRD Sumut Mustofawiyah Sitompul berpendapat, penghapusan hukuman mati dalam RUU Tipikor lebih karena Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) memang menganjurkan penghapusan hukuman mati.

"Dalam ICCPR itu tidak ada hukuman mati, kecuali untuk kejahatan yang paling serius seperti dalam kasus narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 3. Bertitik tolak dari konvensi itu, kita harus terima (penghapusan hukuman mati untuk koruptor), meski jika melihat dampak korupsi itu sendiri sesungguhnya kita tidak sependapat dihapus," katanya.

Karenanya, politikus Partai Demokrat itu berharap pembahasan soal revisi benar-benar dilakukan dengan matang.

"Revisi seyogyanya bertujuan untuk semakin menekan angka korupsi, bukan justru membuka peluang untuk setiap perilaku dan tindakan koruptif," kata Mustofawiyah Sitompul.

(R014/I007/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011