Surabaya (ANTARA News) - Masyarakat China di Surabaya dinilai semakin meninggalkan konsep kesakralan rumah karena mereka lebih memilih untuk memadukan atau memadankan tiap ruang di huniannya dengan fungsi kekinian.

"Konsep pembangunan rumah masyarakat China tempo dulu biasa menempatkan altar leluhur di bagian belakang rumah tetapi kini justru diletakkan di bagian depan rumah," kata Pakar Arsitektur Tradisional China, Ir. Lukito Kartono, dalam Diskusi "Center for Chinese Indonesian Studies" di Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya.

Menurut dia, penataan altar leluhur merupakan salah satu bagian dari lima fokus penting arsitektur rumah masyarakat China yakni mewujudkan hirarki ruang. Pada umumnya, atmosfer kesakralan itu bisa dirasakan ketika memasuki semakin ke belakang rumah masyarakat China.

"Kini, masyarakat China memodifikasi konsep sakral itu sehingga banyak dijumpai altar leluhur berada di bagian depan rumah. Akibatnya, hirarki ruang berubah dan orang tertua di keluarga justru menempati kamar terdepan," ujarnya.

Padahal, ungkap dia, sesuai konsep tata ruang masyarakat China tempo dulu justru kebalikannya atau mereka yang dituakan menempati kamar di bagian belakang rumah dan berdekatan dengan altar leluhur. Penyebab lain perubahan hirarki ruang juga dipicu sekarang masyarakat lebih beranggapan bahwa bagian belakang rumah difungsikan bukan ruang utama.

"Semisal, untuk kamar pembantu, gudang,dan kamar mandi," katanya.

Terkait konsep ideal penataan rumah China, ia merinci, seperti ketersediaan sumur udara di bagian tengah rumah untuk pergantian udara. Ada pula bagian rumah yang disebut sumbu keseimbangan di sisi kanan-kiri rumah.

"Bagian lain berupa gerbang sebagai pintu masuk tamu. Ketika mereka (tamu) memasuki gerbang itu berarti telah datang di daerah teritorial yang berbeda," katanya.

Selain itu, tambah dia, masyarakat China pada masa dulu biasa mensyaratkan agar penataan kamar didesain berderet baik sisi kanan maupun kiri, namun mereka bebas untuk menentukan berapa kamar yang dibangun di masing - masing sisi rumahnya.

Tidak hanya itu, masyarakat China zaman dulu juga tidak mensyaratkan berapa besaran gerbang, kamar, atau ruangan lain yang akan didirikan.

"Akan tetapi, lima konsep tata ruang seperti sumur udara, sumbu keseimbangan, gerbang, hirarki ruang, tatanan kamar berderet wajib diberlakukan," katanya.

Konsep tatanan rumah China dengan lima syarat itu muncul dengan sejarah tersendiri, namun khusus untuk deretan kamar, sampai sekarang masyarakat China di Indonesia, terutama Surabaya, tetap menerapkannya.

"Sebelum tahun 1900, imigran China gelombang pertama yang datang ke Indonesia tanpa membawa keluarga, mengadopsi rumah dengan pola lokal mengingat mereka menikah dengan orang di Tanah Air dan menghasilkan generasi peranakan," katanya.

Setelah tahun 1900, datang imigran gelombang kedua di Indonesia. Namun, mereka membawa sejumlah keluarga sehingga memunculkan revitalisasi budaya. Bahkan, mereka sempat mendirikan sekolah dan koran berbasis China di Indonesia (1920). Pada era tersebut rumah China di Indonesia berkiblat ke nenek moyangnya di China.

"Tapi, sejak tahun 2000-an masyarakat China di Tanah Air kehilangan identitasnya seperti di Surabaya Utara kini rumah beraksen China hanya tersisa 10 - 15 persen dari total yang ada," katanya.(*)

(L.KR-DYT*E011)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011