Kami biasa menerima pesanan sampai sepuluh juta sehari"
Jakarta (ANTARA News)- I Gusti Ayu Oka hanya mampu tersipu dan sesekali membuang muka karena malu begitu beberapa ibu dari Jakarta dengan mata berbinar menyerbu tokonya satu pekan lalu. Mereka menawar satu demi satu kain tenun Bali yang ia jual. 

Tampaknya dia bukan pedagang tulen.  Dulu pun dia hanyalah satu dari banyak pengrajin kain tenun di Desa Sidemen, Karangasem, Bali.

Dalam toko di lantai tiga rumahnya itu, perempuan paruh baya tersebut menjajakan dua jenis kain tenun tradisional Bali, Songket dan Endek. 

Endek bisa dia dijual antara Rp150.000 sampai Rp600.000, sedangkan Songket yang berbahankan katun dan sutra bisa dihargai 12 juta rupiah per lembar.  

"Kami biasa menerima pesanan sampai sepuluh juta sehari," kata Oka, tanpa sedikit berniat membanggakan diri.

Ibu Oka, demikian ia akrab disapa, sebelumnya hanya pengrajin kain tenun biasa di desanya, yang kira-kira 1,5 jam dari Denpasar.  Sebelum ini dia menenun di rumah, lalu menjualnya sendiri di pasar terdekat. 

"Sehari paling dapat lima juta dan itu pun kalau ada yang laku," kata Oka, kali ini sedikit bangga.

Peruntungan Oka berubah manakala Okke Hatta Rajasa, Ketua Cita Tenun Indonesia (CTI), menemuinya di sebuah pameran pada 2008. 

Okke dan CTI pula yang kemudian membantu Oka dan sejumlah perajin lain di desanya dalam mengembangkan kerajinan tenun.

CTI, didukung Garuda Indonesia, mulai membantu pengrajin tenun di Sidemen pada 2009.

Hasil campur tangan mereka memang luar biasa.  Sejak itu usaha mereka tumbuh pesat.  Rumah lantai tiga di pinggir jalan raya Desa Sidemen yang sekaligus menjadi tempatnya berjualan pun dibangun dari hasil berjualan kain tenun Bali itu. 

Masih ada 32 penenun lain yang dibantu kelompok yang didirikan Okke sekitar 2,5 tahun lalu itu.  Sidemen sendiri adalah satu dari beberapa pusat kain tenun yang telah dibantu CTI.  Di Bali, CTI juga membantu penenun di Klungkung, Jineng Dalem dan Seraya Timur. 

Sebelum itu CTI telah ikut menyokong para pengrajin kain tenun di Palembang, Badui dan Sambas, Kalimantan Barat.

Tak Main-Main  

Menurut Sjamsidar Isa, "project officer" CTI di Bali, dalam membantu para pengrajin tenun, CTI bermitra dengan tenaga-tenaga ahli yang mumpuni di bidangnya. 

"Dalam pembinaan penenun kami selalu menyiapkan satu tim yang terdiri dari tiga desainer yakni desainer fesyen, desainer tekstil, dan desainer produk," kata perempuan yang akrab dipanggil Chamy itu. 

Desainer fesyen bertugas menularkan wawasan mengenai produk busana seperti apa yang edang disukai pasar, sementara desainer tekstil akan menerjemahkan keinginan desainer fesyen dengan mengajarkan penenun membuat kain lewat struktur berbeda yang lebih lentur dan lembut. 

Lalu, desainer produk mengajari para penenun dalam membuat tidak saja tenunan kain tetapi juga tenunan untuk tas, dompet, atau bahkan bingkai foto. 

Dalam program di Sidemen misalnya, CTI memboyong Ratna Panggabean, seorang desainer tekstil jebolan Institut Teknologi Bandung, desainer fesyen terkenal dari Jakarta Priyo Oktaviano dan Koes Rono, pakar desain interior.

Tak cukup dengan itu, CTI juga melibatkan para pakar pewarnaan baik sintetis maupun alami.  Mereka ini memberikan pengetahuan pewarnaan yang memadukan sumber warna alami dan sintetis sehingga kain tenun terkesan alami dan tidak mudah luntur.

Isa menjelaskan, untuk membina para penenun, CTI dan para mitranya biasa menghabiskan waktu satu tahun.  Dalam jangka waktu selama ini, tim akan mengunjungi desa binaan lima kali dan setiap kunjungan akan menghabiskan waktu lima hari.

"Pertama-tama setelah mengumpulkan data kami akan melakukan survey, dalam kunjungan kedua kami mulai dengan melatih teknik pewarnaan benang, ketiga kami mulai mengajari mereka teknik dan motif tenunan baru, kemudian memberi mereka PR (pekerjaan rumah)."

Pada kunjungan kelima, demikian Isa, "kami melakukan evaluasi di mana para mitra harus telah bisa menampilkan hasil kerjanya bersama para pengrajin."

Dampingan CTI tak berhenti sampai di situ.  Mereka juga turut membantu memasarkan hasil tenun para pengrajin, diantaranya dengan membeli hasil kerja para pengrajin, lalu menjualnya di Galeri CTI di Jakarta, di Jalan Tirtayasa III Nomor 15, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Ternyata masih ada lagi. CTI juga selalu menyertakan para perancang mode terkemuka dalam setiap program CTI untuk merangsang masyarakat mode Indonesia untuk kian mengenal busana berbahankan kain tenun.

"Kami sengaja mengundang perancang busana terkemuka seperti Priyo atau Oscar Lawalata misalnya untuk bermitra bersama CTI, agar mereka semakin terdorong membelinya," tambah Isa.

Go International

Salah satu cara pemasaran yang giat dilakukan CTI adalah mengajak penenun berpameran, baik di dalam maupun di luar negeri. 

Okke berasumsi, pameran adalah salah satu cara terefektif untuk menjualkan hasil tenun pengrajin.

"Baru-baru ini saja 40 lembar kain songket dari Sidemen, yang senilai 12 juta per helai laris diborong pelanggan dalam pameran yang diselenggarakan CTI," kata Okke bangga.

Hebatnya lagi, tak saja dalam pameran dalam negeri, kain tenun juga mengundang ketertarikan internasional.  CTI telah beberapa kali membawa hasil tenun Indonesia melanglang buana ke beberapa pusat busana dunia.

"Kami juga bermain di kancah Internasional dengan mengikuti pameran internasional seperti di Paris, London dan Washington," ujar Okke. 

Bahkan busana-busana dari kain tenun rancangan desainer terkemuka Indonesia sempat dua kali diboyong CTI dalam pagelaran busana terkemuka di Paris, "Pret A Poter".

"Pada 18 April mendatang kami juga akan membawa hasil tenun Indonesia dalam sebuah pameran di London," kata Okke.

CTI seperti tidak pernah kehabisan ide membawa kain tenun ke pusat perhatian dunia, bahkan tengah berjuang mendaftarkan kain tenun ke UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia dari Indonesia.

"Kami sudah menyurati komite nasional UNESCO, kementerian luar negeri, kementerian budaya dan pariwisata, kementerian pendidikan, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk segera mengajukan kain tenun sebagai salah satu warisan budaya dunia dari Indonesia," papar Okke mantap. 

UESCO, aku Okke, menanggapi positif usul itu.  Bersama CTI, UNESCO akan segera duduk bersama membicarakan soal ini. 

"Kami akan kambali duduk bersama lagi bersama Komite Nasional UNESCO pada 12 Juni untuk kembali berbicara tentang apa saja yang diperlukan agar kain tenun Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai warisan budaya dunia," tambahnya.

Meskipun begitu, Okke mengakui masih butuh dukungan solid masyarakat guna memperjuangkan tenun Indonesia itu.

"Berbeda dengan batik, masyarakat tenun Indonesia belum solid terbentuk, tetapi kami berharap bisa menjadi awal dari dukungan nasional terhadap kain tenun Indonesia," ia berharap.  (*)

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011